Sekujur tubuhnya terlalu ringkih untuk di gerakan, hanya terbaring di ranjang sepanjang waktu tidak kenal siang-malam. Terkadang ingin menangis saja selalu tertahan dua kelopak mata yang lingkarannya sudah menghitam, tandanya sekian banyak waktu tidurnya juga selalu jauh dari mimpi indah. Bantal empuk selalu setia menopang kepalanya, selimut tebal selalu setia untuk mengusir semilir angin terasa dingin seraya tidak peduli mengusik sendi-sendi pori-pori kulit mengeriputnya.
Wajahnya saja sudah tidak terlihat cantik, secantik saat masih muda. Kini wajahnya sudah mengeriput tua, rambut sudah memutih tidak lagi hitam seindah dulu, namun masih tergerai rapi. Walau di antara celah-celah kecil sisir terdapat banyak helai rambutnya yang terbawa saat di sisir, namun tidak membuat wanita tua itu merasa bersedih hatinya kehilangan banyak helai rambut.
Hiburan kecil yang bisa membuatnya tersenyum sepanjang hari, hanya menatap foto kenangan dirinya bersama Ayah dan Ibunya, waktu wanita tua itu masih terlihat gadis dan masih cantik. Foto itu jelas terpampang pada dinding tembok kamar di samping kiri ranjang, hampir setiap waktu wajahnya selalu menoleh menatap foto itu. Foto dimana dirinya masih gadis dengan terapit seorang Ayah yang mengenakan seragam aparat dengan beratribut lengkap jendral bintang dua, serta seorang Ibu yang berwajah ayu lengkap dengan berkebaya.
Dua matanya seakan tidak kuasa lagi menahan tetesan airmata. Seraya hatinya terguncang kesedihan yang membawa ingatannya saat menatap foto itu. Sepertinya foto itu menyimpan sejuta kenangan yang tidak mudah untuk hilang dalam ingatan dari dalam benak wanita tua itu.
"Bu, sebentar lagi Pak Atmo dan Team Gabungan Pencari Fakta segera datang," kata gadis cantik, wajahnya bersimpul senyum sudah berdiri membelakangi foto yang terpampang pada dinding tembok kamar.
Wanita tua itu tidak lagi bisa menatap foto dirinya saat masih gadis karena sudah terhalang gadis cantik mengenakan blazer hitam lengkap dengan sepatu hitam berhak pendek.
"Apa Ibu masih mau untuk menceritakan masa kelam, saat Mei 98? Jika Ibu merasa keberatan untuk tidak menceritakan masa kelam itu, dengan apa yang sudah telah terjadi di surabaya saat Mei 98. Nanti, saya bisa kasih tahu Pak Atmo. Biar Pak Atmo dan Team Gabungan Pencari Fakta tidak jadi datang kesini," Gadis itu menarik kursi kayu, lalu ia terduduk berhadapan dengan wanita tua itu masih terbaring di ranjang.
Satupun kata tidak terucap dari bibir wanita tua itu, mungkin pandangannya kini bisa kembali lebih leluasa untuk menoleh dan kembali menatap foto itu lagi. Dua matanya makin berbinar berkaca-kaca, tetesan demi tetesan airmata seraya tidak kuat untuk tertahan dalam kantung mata. Tetesan airmata bebas mengalir pada wajahnya yang keriput tirus itu, sekali ia menghela napas untuk menenangkan dan membisikan deguban jantungnya agar tenang.
"Tadi juga Dilman sebelum berangkat kekantor berpesan pada saya. Jika Ibu tidak berkeberatan, kami berdua ingin mengajak Ibu ke villa. Ya, sekedar untuk menenangkan hati dan perasaan Ibu. Kami berdua selalu prihatin dengan keadaan Ibu," lagi-lagi wanita itu tidak menjawab saat gadis cantik berusaha merajuk kembali.
Gadis cantik itu beranjak bangun, setengah badannya membungkuk dan dua tangannya menarik selimut untuk menutup setengah bagian tubuh wanita tua itu mulai merasakan kedinginan.
"Beruntung sekali kamu, Arsi mendapatkan suami seperti Dilman. Ibu yakin, Dilman itu suami yang baik. Ibu dan Ayahnya Dilman juga baik." sahut wanita itu sedikit tersenyum, namun dahinya berkerinyit seraya benaknya teringat akan sesuatu.