20 RASA BAKSO PAK BOWO

tuhu
Chapter #9

8 - BAKSO RASA MAS DODOK

“Jadi. Kita semua harus tetap hati-hati dan waspada.” Begitu ucapan yang keluar dari mulut Sudibyo, kepala desa yang sudah menjabat lima tahun. 

Lusi dan Wibowo yang sedari tadi mendengarkan omongan Sudibyo hanya mengangguk-angguk disertai wajah serius. 

Sudibyo bercerita kalau dua hari lalu ia menghadiri pertemuan seluruh kepala desa di kantor kecamatan. Di sela pertemuan, ada penyuluhan dari Polresta terkait maraknya pencurian sepeda motor. 

“Polisi sudah tahu identitas sindikat maling motornya, Pak?” tanya Wibowo dengan rasa penasaran. 

“Baru satu. Dodok nama panggilannya. Nama aslinya Handoko. Kata polisi, dia buronan lama,” balas Sudibyo sambil menyalakan rokok. Mulutnya yang sedari tadi bergulat mengunyah mie ayam bakso jumbo, kini berganti menyesap rokok. Kepulan asapnya membumbung tinggi lantas tersapu oleh kipas angin.

“Buronan lama kok belum ketangkep juga, Pak. Malah bikin resah warga saja,” ujar Lusi. Nada suaranya terdengar jengkel. 

“Ya, itu. Aku juga heran,” balas Sudibyo sambil menggelengkan kepala. “Kemarin mau tanya ke Kapolrestanya juga sungkan.” Sudibyo menghela nafas lumayan panjang lantas menghembuskannya bersama gumpalan asap rokok. 

“Wah. Kalau keadaanya seperti itu, kita harus nyewa tukang parkir buat jaga motor di halaman depan, Bu,” ungkap Wibowo. Ia tampak khawatir.

“Iya, Pak. Nanti sore coba kita temui Mbah Mangun,” imbuh Lusi. 

“Nah, langkah bagus itu, Mas Bowo. Biar pembeli kalian merasa aman kalau parkir. Makan pun jadi tenang.” Sudibyo menguatkan ide Wibowo. Hisapan rokoknya semakin mantap.

“Benar, Pak Dibyo. Kepuasan dan keamanan pelanggan adalah yang utama,” seloroh Wibowo.

“Kalau bisa, pasang CCTV sekalian. Lebih bagus,” saran Sudibyo. Ia tampak bangga melontarkan idenya. “Siapa tahu bisa membantu kepolisian kalau maling yang namanya Dodok itu makan di sini.”

“Setuju, Pak. Coba nanti kami cari info penyedia layanan CCTV,” balas Wibowo. 

Sebelum beranjak pulang Sudibyo pesan mie ayam bakso dibungkus. “Baksonya enak. Jadi pengen nambah lagi.” Lusi dan Wibowo tersenyum sumringah mendengar pujian dari kepala desa itu.


***


“Sekarang aku sudah tahu. Nama aslimu ternyata Handoko alias Dodok,” tutur Wibowo sambil memegang potongan kepala Dodok. Wibowo memandangi potongan kepala itu sembari tertawa puas. 

Wibowo kembali meletakkan kepala Dodok di atas nampan. Dengan pisau berukuran sedang, Wibowo mencongkel mata kanan dan mata kiri Dodok lantas memasukkan ke dalam gelas blender yang sudah berisi potongan tomat, es batu, sedikit susu, dan gula jawa. 

Begitu blender dinyalakan, dua bola mata Dodok langsung berputar-putar dan tergiling. Suara mesinnya berdengung lembut. Wibowo takjub dengan mesin blender barunya. Yang ia punya sebelumnya suaranya sangat berisik dan mengerikan seperti gergaji mesin. Membuat Wibowo emosi setiap kali hendak membuat jus.

Hasil gilingannya pun sempurna. Kedua mata Dodok larut dalam merahnya jus tomat. Tidak ada sisa sekecil apapun.

“Nggak sia-sia beli blender mahal,” ungkap Wibowo. Ia memandang kagum mesin blender yang baru kemarin ia beli.

Setelah dirasa sudah halus, Wibowo langsung menuangkan jus ke dalam gelas berukuran besar. Lantas ia minum dengan penuh kenikmatan.

“Ah. Segar,” seru Wibowo. Suaranya terdengar mantap. “Matamu enak banget, Dok. JUS TOMAT RASA MATA DODOK.” Wibowo tertawa.

Sedang asyik menikmati jus tomat rasa mata Dodok, Lusi menghampirinya dengan wajah bingung.

“Pak. Motornya Dodok yang ada di garasi itu mau kita apakan?”

Wibowo meletakkan gelas minumnya. Ia terdiam sejenak. 

Lihat selengkapnya