20 RASA BAKSO PAK BOWO

tuhu
Chapter #13

12 - BAKSO RASA USTAZ JALAL

Hamdi dan Rasyid berjalan cepat menuju parkiran masjid. Mereka melihat Ustaz Jalal masih berbincang dengan tiga orang jamaah masjid. Hamdi hendak menghampiri Ustaz Jalal namun dicegat oleh Rasyid. 

“Nanti dulu. Tunggu sampai Ustaz Jalal selesai ngobrol.” Hamdi mengangguk mendengar usulan Rasyid. Mereka berdua pun menunggu Ustaz Jalal yang baru setengah jam lalu selesai mengisi pengajian rutin malam jumat.

Begitu Ustaz Jalal selesai berbincang serta jamaah berjalan pergi, barulah Hamdi dan Rasyid dengan gegas menghampiri.

“Ustaz Jalal,” ucap Hamdi.

“Iya, Ham?”

“Lebih baik kami antar Ustaz pulang. Sudah larut malam. Takut hujan juga.”

“Benar, Ustaz. Kami antar pakai mobil yayasan.”

Ustaz Jalal melempar senyum pada dua takmir masjid itu. 

“Terimakasih, Hamdi, Rasyid. Tapi, aku bisa pulang sendiri pakai motor. Insha Allah tidak hujan. Aku nggak mau merepotkan kalian.”

Hamdi dan Rasyid masih memasang raut cemas dan khawatir. 

“Tidak merepotkan, Ustaz. Kami malah senang kalau mengantar Ustaz Jalal,” ungkap Rasyid. 

“Biasanya, kan, Ustaz diantar jemput supir pakai mobil. Kalau sekarang bawa motor sendiri takutnya Ustaz kelelahan.” Hamdi menambahi.

Ustaz Jalal tertawa kecil mendengar kecemasan Hamdi. 

“Tidak jauh, Ham. Cuma beda kecamatan saja. Kalau capek dikit dah biasa. Dulu waktu kuliah biasa mengisi pengajian sampai pelosok desa pakai motor.” Ustaz Jalal mencoba menenangkan Hamdi dan Rasyid. “Sudah. Nggak papa.”

“Baik, Ustaz. Hati-hati di jalan,” ucap Hamdi. Ia menjabat tangan dan memeluk Ustaz Jalal.

“Kalau ada apa-apa di jalan hubungi kami, Ustaz. Kami siap siaga.” 

“Iya. Terimakasih. Kalian pengertian banget,” balas Ustaz Jalal. “Ya, sudah kalau begitu. Aku pulang dulu. Assalamu’alaikum.”

“Wa'alaikumsalam,” balas Hamdi dan Rasyid dengan serentak. 

Ustaz Jalal pergi meninggalkan halaman masjid dengan motornya. Hamdi dan Rasyid tetap berdiri memandangi sampai sosok Ustaz Jalal hilang ditelan pekatnya malam.


***


Di tengah sunyinya malam serta lampu jalan yang berpendar remang, Ustaz Jalal memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Ia hendak menyesap dingin dan sejuknya udara malam. Selama ini, ia terlalu sering terpapar AC mobil ketika bepergian. 

Meskipun memakai jaket lumayan tebal, Ustaz Jalal tidak bisa berbohong kalau tubuhnya sangat kedinginan diterpa angin malam. Sebenarnya ia sudah dinasehati istrinya supaya pakai taxi online karena mobil yang biasa dipakai Ustaz Jalal dipinjam adiknya. Ia berdalih hendak menikmati perjalanan malam dengan sepeda motor. Dan kini, Ustaz Jalal sedikit menyesal. Ia tidak menyangka kalau sengatan udara malam begitu kuat, membuat kedua tangan dan kakinya ngilu.

“Apa mampir ke angkringan dulu, ya?” ujar Ustaz Jalal. Kedua bibirnya sampai mengerut. Ia pun memutuskan untuk mengubah arah menuju angkringan yang pernah ia datangi. 

Kedua mata Ustaz Jalal berbinar tatkala melihat sebuah angkringan cukup besar masih buka. Ia lekas memarkirkan motornya dekat gerobak; lantas berjalan cepat menuju angkringan.

“Kopi panas satu, ya, Pak,” pinta Ustaz Jalal pada penjual paruh baya.

“Siap, Pak. Tunggu sebentar, ya.” Dengan sigap si penjual membuatkan pesanan.

Ustaz Jalal melihat berbagai jajanan khas angkringan masih lumayan banyak. Perutnya pun meronta-ronta, padahal tadi ia sudah makan cemilan di masjid. Ustaz Jalal mengambil dua bungkus nasi teri, satu kepala ayam, satu bakwan goreng, dan dua tahu goreng. Dengan lahap ia langsung menyantapnya. 

Sembari mengunyah tahu goreng, Ustaz Jalal mengedarkan pandangan matanya ke sekitar gerobak angkringan. Ia baru tersadar, satu-satunya orang yang beli hanya dirinya. Sepi sekali. Padahal saat pertama kali makan di sini cukup ramai meskipun sudah larut malam.

“Kopinya, Pak.” Si bapak penjual meletakkan gelas kopi tepat di hadapan Ustaz Jalal. Aroma kopi langsung menguar, menyesaki hidung Ustaz Jalal. Rasa hangat menjalari tubuhnya meskipun belum menyesap kopi. 

“Makasih, Pak.” Dengan gegas Ustaz Jalal menyeruput kopi hitam pahit. Ia tidak peduli mulutnya masih mengunyah gumpalan nasi dan tahu goreng.

“Pelan-pelan, Pak. Masih panas.” Si penjual angkringan memperingatkan. Terlambat, Ustaz Jalal kadung kedinginan, sudah tidak peduli dirinya menyerup kopi panas. Kedua bibirnya sampai tidak mempan terkena sengatan kopi panas.

“Maaf, Pak. Butuh yang panas-panas. Dingin banget,” tutur Ustaz Jalal. Si penjual angkringan tersenyum melihatnya. 

“Iya, Pak. Malam ini memang dingin banget. Aku pakai dua jaket saja masih dingin.”

“Ini memang lagi sepi, ya, Pak? Apa karena dingin?” tanya Ustaz Jalal. Mendengar pertanyaan itu, si penjual angkringan sedikit berubah raut wajahnya. Ia menggeser tempat duduknya, dekat dengan Ustaz Jalal.

“Sudah tiga hari ini sepi, Pak. Sedikit banget yang beli. Malam ini saja cuma lima orang pembelinya. Termasuk bapak.” Si penjual angkringan berucap dengan suara lirih dan serius. Ustaz Jalal terhenyak kaget. Ia merasakan ada keganjilan dari cerita si penjual angkringan. Dahi Ustaz Jalal sampai mengerut tegang.

“Memangnya kenapa, Pak?”

Si penjual angkringan mencondongkan tubuhnya. Ustaz Jalal melakukan hal yang sama. Kedua telinganya sudah bersiap mendengar penjelasan si penjual angkringan.

“Tiga hari kemarin ada orang hilang, Pak. Pemuda sini. Namanya Wandi. Sampai sekarang belum ketemu. Masyarakat sini masih mencari sampai sekarang.”

“Pemuda? Memangnya umur Wandi itu berapa, Pak?”

“Sekitar dua puluh tujuh.”

“Sudah dewasa itu. Kok bisa hilang?”

“Nah, itu. Masyarakat juga bingung. Padahal dia itu mandor perumahan. Orangnya kuat dan sehat. Sering main bola sama voli.” Si penjual angkringan bertutur dengan mata membulat tajam seperti orang mau menerkam. “Hilangnya malah di tempat dia kerja. Pas lagi lembur malam. Memang aneh. Nggak masuk akal.” 

Ustaz Jalal sampai bengong sambil menggeleng-gelengkan kepala. Bakwan goreng di tangannya tidak jadi ia gigit.

“Itu yang bikin masyarakat takut keluar malam, Pak?” tanya Ustaz Jalal. Si penjual angkringan membalas dengan menganggukkan kepala. 

Untuk beberapa saat terjadi keheningan. Ustaz Jalal masih meresapi dan mencerna cerita yang baru saja menjejali pikirannya. Ia lantas menyeruput kopi hitam pahit. Kini rasanya hambar. 

“Sebenarnya, yang hilang di daerah sini itu sudah tiga orang, Pak. Si Wandi itu yang ketiga,” ungkap si penjual angkringan. Seketika Ustaz Jalal terperangah. Gurat wajahnya mengerut kaku. 

“Astaga. Tiga orang hilang?” suara Ustaz Jalal meninggi lantaran kaget. 

Lihat selengkapnya