20 RASA BAKSO PAK BOWO

tuhu
Chapter #14

13 - BAKSO RASA PAK MARWAN

Sesampainya di halaman gedung bioskop, Wibowo dan Lusi terhenyak kaget lantaran banyak orang sudah berjejal memenuhi ruang utama bioskop. 

“Yang mau nonton banyak juga ya, Pak.”

“Iya, Bu. Di Sosmed saja pada ramai bahas film ini.”

“Aku kira pada nggak suka sama film jenis psychological thriller. Penonton kita, kan, sukanya film horor. Dua film yang barusan tembus empat juta penonton saja film horor semua.” 

“Penonton kita, kan, suka ditakut-takuti sama dikagetin, Bu.”

“Padahal hidup di negara ini saja sudah horor banget, masih cari tontonan horor.” 

Wibowo melirik ke arah istrinya dengan tatapan heran usai mendengar ucapannya.

“Jangan ngomong aneh-aneh, Bu. Ayo kita masuk.” Wibowo lekas menggandeng tangan istrinya. Mereka berdua berjalan dengan langkah serasi beriringan. Lebih romantis dibanding pasangan anak muda.

Setelah mencetak tiket, Wibowo dan Lusi segera menuju ke Studio 2. Begitu masuk ke dalam, mereka berdua tampak senang dan antusias lantaran semua kursi hampir terisi penuh. Terakhir Wibowo dan Lusi nonton film di bioskop hanya diisi tujuh orang, itu sudah termasuk mereka berdua. Kata Lusi waktu itu kayak nonton layar tancep di tengah-tengah kuburan. Padahal film yang diputar ratingnya tinggi, dibuat oleh sutradara Hollywood terkenal, dan menang banyak penghargaan festival film.

Salah satu yang membuat Wibowo dan Lusi langgeng sebagai pasangan suami istri ialah punya hobi nonton film di bioskop. Dulu waktu masih kerja di ibu kota, mereka berdua kerap meluangkan waktu ke bioskop. Seminggu minimal sekali. Ketika mereka berdua balik ke kota ini, kebiasaan itu terus berlanjut. Meskipun sudah sibuk mengurus usaha mie ayam bakso yang terus dibanjiri pembeli, mereka berdua masih menyempatkan waktu ke bioskop. Beruntungnya, jarak bioskop dari warung mie ayam bakso tidak terlalu jauh. Seringnya mereka berdua berangkat ke bioskop dari warung.

 Apapun genre filmnya, selama ada di layar bioskop bakal mereka berdua tonton. Mulai dari genre romantis bikin nangis sampai thriller sadis brutal berdarah-darah, akan dilahap sampai selesai. Mereka berdua tidak pernah keluar studio di tengah-tengah pemutaran film. Haram hukumnya.  

Bagi Wibowo dan Lusi, menonton film di bioskop tidak hanya mencari hiburan atau tempat melepas penat dan lelah setelah bekerja, lebih dari itu, mereka berdua mendapat banyak inspirasi dari setiap adegan di film. Beberapa inspirasi akan mereka praktekkan untuk menangkap daging buruan.  

Wibowo dan Lusi dapat kursi nomer D9 dan D8, sangat strategis dan nyaman.

“Kemarin aku baca di Sosmed, katanya ada adegan yang dipotong, Bu,” bisik Wibowo sambil mengunyah pop corn. 

“Serius, Pak? Pasti yang adegan sex, ya?” Lusi tampak kecewa. Wibowo mengangguk tiga kali. “Padahal sudah dicantumkan 17 plus. Masih saja ada sensor. Apa gunanya keterangan itu. Ah, Payah.” Lusi melampiaskan kekesalannya dengan melahap pop corn.

Film dibuka dengan adegan yang tidak diduga oleh penonton termasuk Wibowo dan Lusi. Layar menampilkan lukisan tangan yang indah berwarna cerah diiringi alunan musik bertempo tenang. Lusi sedikit takjub dengan lukisan matahari yang tersenyum lebar.

Adegan setelahnya membuat penonton sedikit kaget. Pemandangan alam bersalju tebal dan langit putih pucat memenuhi layar. Kali ini yang mengiringi adalah suara perempuan menyanyikan penggalan lagu khas Nordik. 

Perasaan Wibowo dan Lusi perlahan menjadi terusik dan tidak nyaman. Terlebih saat menyaksikan adegan seorang perempuan bunuh diri dengan memplester mulutnya dengan selang panjang yang ditancapkan ke knalpot mobil yang menyala. Yang bikin ngeri, perempuan muda itu memilih mati dengan mengajak kedua orang tuanya. Mereka dibunuh dengan asap knalpot mobil yang menyesaki seluruh kamar setelah mereka berdua diberi obat tidur. 

“Kayaknya menarik itu, Pak,” bisik Lusi. Itulah kesan pertama yang terucap dari mulut Lusi setelah menyaksikan adegan itu. Wibowo tersenyum tipis mendengarnya. Ia enggan untuk membalas. Kedua matanya tidak mau lepas dari layar.

Sepanjang pemutaran film, psikologi para penonton diaduk-aduk, dibuat kacau balau tidak karuan. Kadang sedih melihat tokoh utamanya menangis sesenggukan lantaran duka kehilangan; takjub menyaksikan pemandangan alam yang indah penuh warna warni; curiga dan bingung dengan rangkain ritual serta makanan yang disajikan; merasa nyaman dan tenang seperti di kampung halaman melihat orang-orang hidup dalam kebersamaan gotong royong; marah dan jengkel dengan kebodohan serta kecerobohan salah satu tokoh; merinding takut saat memandang wajah buruk rupa seorang tokoh; menjerit histeris tatkala menyaksikan orang tua jatuh dari atas jurang lantas ke hantam palu besar; menangis sedih melihat kekasih si tokoh utama dimasukkan ke dalam sebuah bangunan bercat kuning lantas dibakar hidup-hidup.

Hampir dua jam lebih bola mata para penonton tidak berkedip memelototi film itu. Wibowo dan Lusi takjub mendapati tidak ada satu pun penonton yang kabur di tengah-tengan pemutaran film. Degup jantung mereka berdua sampai terengah-engah tidak beraturan. 

Keluar dari studio, raut wajah Wibowo dan Lusi masih mengerut tegang. Sepanjang perjalanan pulang, mereka berdua masih asyik membicarakan setiap adegan film itu.

“Pak. Gimana kalau kita tangkap daging buruan. Sebelum disembelih kita buat ritual-ritual kayak di film itu. Baru kita bunuh seperti adegan bunuh diri di adegan awal film.” Lusi melontarkan ide dengan antusias dan penuh semangat. 

“Boleh. Boleh. Aku juga nggak sabar mau nyoba eksekusi pakai asap knalpot mobil.”

“Siapa daging buruan kita selanjutnya?” tanya Lusi. 

Wibowo termenung sejenak. Dahinya mengerut, kedua ujung alisnya nyaris bersentuhan. Seketika senyum lebar terlukis di wajah Wibowo. 

“Aku tahu, Bu.”



Lihat selengkapnya