20 RASA BAKSO PAK BOWO

tuhu
Chapter #19

18 - BAKSO RASA MBAK DYAH

Ruang utama stasiun tampak sepi seiring malam merangkak gulita serta udara dingin menyesaki setiap sudut. 

Ketika sebuah kereta perlahan berhenti, hanya beberapa orang keluar dari gerbong kereta dalam keadaan lesu. Berjalan tersaruk-saruk seperti zombie. Nyaris tidak ada yang masuk ke dalam gerbong.

Para pedagang makanan dan minuman tampak terkantuk-kantuk. Mata mereka memerah menahan lelah. Tubuh mereka menggigil terkena sengatan udara dingin. Harapan mereka mendapat pembeli agaknya sulit.

Heningnya suasana stasiun malam ini berbanding terbalik dengan pikiran Dyah yang semrawut tidak karuan, seperti kemacetan di jalanan ibu kota.

Sudah dua jam Dyah duduk sendirian di kursi panjang stasiun. Padahal ia datang ke stasiun tiga jam yang lalu. 

Tangan Dyah masih memegang selembar tiket yang sudah tidak berguna lagi. 

“Bodoh. Bodoh. Bodoh.” Sedari tadi, suara makin itu yang terlontar dari mulut Dyah. Disertai tetes air mata serta bibir gemetar menahan dingin. 

Dyah tidak sanggup menjernihkan pikiran yang kacau balau. Biasanya di situasi seperti ini ia menyesap rokok sampai habis satu bungkus. Sialnya, uang sedang tidak bersahabat dengannya. Jangankan untuk beli rokok. Air mineral saja sulit ia dapatkan.

Di tengah kekalutan pikiran serta dingin menusuk ngilu, Dyah dikagetkan oleh suara notifikasi WA dari smartphone miliknya. Ia tergagap untuk membukanya. 

Dyah sudah tahu siapa yang mengirimkan pesan WA itu serta isinya. Kalau dibaca pasti membuat perasaan Dyah hancur dan terluka. 

Tetap saja Dyah mengambil smartphone yang ada di saku dan menyalakan. 

Benar saja. Pesan WA berasal dari Heru, suaminya.

BARANG-BARANGMU SUDAH AKU BAKAR. JADI ABU.

MAPUS.

Batin Dyah makin perih membacanya. Ia tidak menyangka dampak atas perbuatannya jadi begitu besar, rumit, dan menyakitkan. Dyah kembali memaki dirinya sendiri.

Dyah menerima lagi sebuah notifikasi. Kali ini bukan dari pesan WA melainkan dari akun media sosialnya. Ia pun malas hendak membukanya lantaran ia tahu bakal menyakitkan juga. Namun, jempolnya tidak bisa ia kendalikan. Dyah pun membaca pesan itu.

Maaf, Sayang. Aku tetap nggak bisa membantumu. Aku nggak mau kehilangan anak-anakku. Istriku sudah mau memaafkanku. Aku janji padanya bakal berubah. Tidak bakal ngulangi lagi. Aku harap kamu juga balik ke suamimu.

Kedua tangan Dyah gemetar hebat. Tangan kanannya meremas kuat smartphone miliknya. Hendak dibanting namun ia urungkan. 

Laki-laki bajingan. Hanya suara makian dalam hati yang bisa Dyah lakukan sekarang. Ingin sekali ia berteriak keras-keras untuk memuntahkan semua penyesalan serta kemarahan yang bergemuruh kuat di hatinya.

Pesan dari media sosial itu berasal dari laki-laki selingkuhannya. Bernama Indra. Ia adalah mantan pacar Dyah sewaktu SMA. Indra sudah berkeluarga dengan tiga orang anak. Sedangkan Dyah baru dua tahun menikah dan belum dikaruniai anak.

Sudah hampir lima bulan Dyah dan Indra menjalin perselingkuhan. Mereka berdua saling berkirim pesan lewat beberapa media sosial. Mereka pikir cara itu aman. Sampai suami Dyah tidak sengaja membaca pesan mereka sewaktu meminjam smartphone Dyah untuk memesan makanan. 

Terbongkarnya perselingkuhan itu menjadi sebab Dyah terkantung-kantung malam ini di kursi stasiun. Heru mengusir Dyah dari rumah dan sudah melakukan gugatan cerai. 

Saat Dyah meminta pertolongan Indra yang ada justru penolakan dan pengabaian. Ia merasa tertipu oleh janji palsu serta kenikmatan sesaat. Ternyata ujungnya adalah penyesalan. 

Rencananya, malam ini Dyah hendak pulang ke rumah orang tuanya. Lantaran pikirannya kalut dan takut membuat orang tuanya malu, Dyah malah mengurungkan niat meskipun tiket pulang sudah ia genggang.

Saking ruwet pikirannya, Dyah tidak menyadari kehadiran Lusi yang duduk di dekatnya. Sudah beberapa menit ia berada di samping Dyah. Mendengarkan cacian, isak tangis, serta suara notifikasi smartphone.

Lusi pun akhirnya memberanikan diri untuk menyapa Dyah.

“Mbak. Mbak.” Suara lembut Lusi menyadarkan Dyah. Ia menoleh ke arah Lusi. Dyah menatap raut wajah Lusi yang cemas. “Mbak kenapa? Ketinggalan kereta?”

Dyah menggeleng lemah. Lantaran tidak tahan menahan perih di hatinya, Dyah pun meluapkan semuanya.

“Aku diusir dari rumah.” Dyah pecah tangisnya. Lusi dengan gegas mendekap Dyah serta mengusap punggungnya. 

“Yang kuat, Mbak. Yang kuat.”

Dyah merasakan kehangatan dalam pelukan Lusi seperti dekapan ibunya. Dyah tidak peduli Lusi adalah orang asing yang belum ia kenal. Dyah terus memuntahkan air matanya hingga jaket Lusi basah. 

Cukup lama Dyah hanyut dalam dekapan Lusi. Setelah cukup tenang ia pun melepaskan pelukan Lusi. 

“Maaf, ya, Mbak. Aku jadi nggak enak.”

“Nggak papa, Mbak,” ucap Lusi dengan suara lirih disertai senyum. 

Lusi pun mengenalkan namanya. Begitu pun dengan Dyah. 

Untuk beberapa saat, Dyah menatap lekat wajah Lusi. Dyah seperti pernah bertemu dengan Lusi. Ia mencoba mengingat-ingat meskipun pikirannya masih kacau.

“Aku sepertinya pernah lihat Mbak Lusi. Tapi aku lupa di mana.” Dyah mengernyitkan dahinya. Lusi tersenyum melihat kebingungan Dyah.

“Di warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo, kan?”

“Iya, benar. Sekarang aku ingat.” Raut wajah Dyah sedikit berbinar tidak semuram sebelumnya. “Mbak Lusi yang nganter pesananku. Aku pernah dua kali makan di sana. Tapi sudah lumayan lama sih. Mbak Lusi kerja di sana?”

“Iya, Mbak.”

“Beruntung bisa kerja di warung itu, Mbak. Pembelinya banyak. Pasti bayarannya besar juga.”

“Lumayan, Mbak. Untuk beli kebutuhan sehari-hari masih cukup.” Lusi tersenyum tipis. Ia tidak menyangka bakal melontarkan jawaban seperti itu. Dyah mengangguk pelan. 

“Mbak Lusi nunggu kereta?” tanya Dyah.

“Nggak. Malah habis turun dari kereta. Terus tadi duduk sebentar. Istirahat dulu.”

“Oh.” Dyah berucap lirih. 

“Mbak Dyah rencana mau berangkat ke mana?”

Dyah menghela nafas panjang. Raut wajahnya memuram pasrah.

“Aku nggak tau mau ke mana, Mbak. Rencana mau pulang ke kampung tapi malu. Di sini aku diusir sama suamiku. Nggak punya pekerjaan juga.” Dyah menjeda ucapannya. Air matanya kembali meleleh. Lusi mengusap-usap punggung Dyah. “Sudah nggak ada tempat pulang untukku, Mbak.”

“Kalau Mbak Dyah mau. Tinggal sementara di rumahku gimana? Nanti kamu bisa bantu kerja di warung bareng aku. Pemiliknya temanku sendiri, kok. Terus, nanti gajinya bisa kamu pakai buat sewa kos. Gimana?”

Dyah terhenyak kaget mendengar tawaran dari Lusi. Matanya membulat tajam menatap Lusi.

Lihat selengkapnya