21 RASA BAKSO PAK BOWO

tuhu
Chapter #2

1 - BAKSO RASA MAS BAGAS

5 tahun sebelumnya


Kepulan aroma bakso bercampur kentalnya kuah, suwir ayam, dan mie, menguar nikmat menyesaki hidung Wibowo. Syaraf penciumannya meregang, bergejolak kuat menangkap ribuan butir aroma, mengolahnya dan mendistribusikan ke otak. Jawaban singkat dan cepat dari otaknya ialah “Lezat”. 

Meskipun sudah lebih dari ratusan kali Wibowo membuat mie ayam dan bakso, ia selalu gembira bercampur takjub setiap kali berhasil membuat makanan sejuta umat itu. Baginya, mie ayam dan bakso adalah maha karya. Ia selalu sesumbar kalau mie ayam dan bakso adalah makanan paling enak di dunia. Zaman boleh berubah, selera orang boleh berbeda, presiden bisa berganti, namun ada satu yang abadi, tidak berubah, dan tidak terganti, yaitu kehadiran mie ayam dan bakso. Begitu ucapan Wibowo yang pernah ia tulis di status Facebook miliknya.    

Sejenak, Wibowo menatap tiga mangkok mie ayam di hadapannya yang baru selesai ia buat dan siap dihidangkan ke meja pengunjung. Dua mie ayam bakso dan satu mie ayam polos. Wibowo tersenyum puas memandang bakso yang membulat padat di tengah lautan mie, kuah, sawi hijau, dan suwir ayam. 

“Sudah jadi, Pak?” tanya Lusi. Suara istrinya membuat Wibowo tersadar. Ia melirik ke arah Lusi yang sedang menuangkan gula ke teko. 

“Sudah, Bu. Sudah jadi,” balas Wibowo. Suaranya sedikit tergagap. “Tinggal kamu antar ke meja nomor tujuh.”

Dengan sigap Lusi membawa nampan berisi tiga mangkok mie ayam. Ia berjalan menuju ke meja yang berada dekat jendela. Di sana ada tiga perempuan muda. Saat melihat Lusi, wajah mereka bertiga tampak sumringah cerah. Bola mata mereka berbinar-binar.   

“Wah, sudah datang,” seru perempuan berkacamata, penuh semangat. Lusi segera meletakkan tiga mangkuk mie ayam di depan mereka.

“Silahkan menikmati,” ujar Lusi disertai senyum lebar. 

“Terima kasih, Bu,” balas mereka bertiga secara bersamaan. Suara tiga perempuan muda itu melengking tinggi. Memantul-mantul di dinding warung. Mereka segera mengambil pesanan masing-masing.

“Nyam. Nyam. Waktunya menyantap mie ayam.” Perempuan berjilbab hitam tampak tidak sabaran. Secara bergantian, mereka bertiga menuangkan sambal, saos, dan daun bawang merah. Setelah itu baru mengambil sumpit dan sendok. 

Sembari berjalan ke dapur, sayup-sayup Lusi mendengar keseruan tiga perempuan itu menyantap mie ayam bakso. Begitu bernafsu seperti orang kelaparan. Lusi masih ingat betul wajah mereka, lantaran sudah tiga kali datang selama dua minggu ini.      

Lusi menghentikan langkah sejenak. Ia berdiam diri di bawah kipas angin. Tubuhnya sedikit gerah lantaran dari pagi sampai siang bergulat di dapur. Kedua bola matanya mengitari seluruh ruang makan. Dari dua puluh meja makan, sebelas meja terisi pengunjung. Lumayan ramai, ucap Lusi dalam hati. 

Lusi melirik wajah para pembeli yang kepedasan. Bibir mereka memerah seperti terbakar bara api. Butir-butir keringat berjatuhan dari wajah mereka. Tidak ada bunyi lain selain suara mulut yang sibuk mengunyah bakso dan mie; menyeruput minuman; mulut kepedasan; dan hidung meler. Bahkan ketiga perempuan tadi larut dalam kesunyian menikmati setiap gigitan bakso. 

“Bu, ke sini sebentar,” panggil Wibowo. Lusi melirik ke arah suaminya yang sedari tadi senyam-senyum saja. Lusi berjalan menghampiri Wibowo. Dengan penuh rasa penasaran Lusi bertanya pada suaminya.

“Ada apa, Pak?”

“Jadi gimana, Bu?”   

“Gimana apa?” Lusi balik bertanya dengan bingung. Dahinya berkerut cukup dalam.

“Mereka pada suka sama baksonya, kan?” suara Wibowo terucap lirih.

“Kamu lihat sendiri, lah, Pak.” Lusi menengok ke arah meja pengunjung. “Tuh. Pada doyan. Lahap lagi.” Ucapan Lusi terdengar mantap. Bola matanya membulat tajam. Menandakan ia sangat bersungguh-sungguh. Wibowo tersenyum sumringah mendengarnya. Ia sangat hafal sifat istrinya dari sorot mata dan intonasi suaranya.

Wibowo melirik satu persatu pembeli. Raut wajahnya memancarkan sebuah kepuasan. Gurat-gurat di pipinya melentur, membentuk senyum indah. Dengan penuh percaya diri, Wibowo mengacungkan dua jempol ke arah Lusi disertai ucapan lirih penuh semangat. “Bu Lusi memang mantap.” Lusi membalas dengan dua tangan bergaya rock n rock yang disilangkan. “Pak Bowo adalah juara”. Serentak, mereka berdua tersenyum lebar sambil menahan tawa. 

Kebahagian suami istri itu tertahan sebentar oleh suara motor yang berhenti di depan warung. Seketika, raut wajah mereka berubah. Dengan gegas menyembunyikan gurat gembira. 

Seorang laki-laki berumur setengah abad lebih, berjalan memasuki warung dengan langkah lelah. “Mbah Mangun,” sapa Lusi menyambut pengunjung langganan. 

“Lus.” Mbah Mangun membalas dengan suara pelan tidak bertenaga. Ia menatap Lusi dan Wibowo dengan sorot mata lesu. “Seperti biasa. Mie ayam pangsit, minum es jeruk manis, ya.”

“Wah. Mohon maaf, Mbah. Ini pangsitnya sudah habis,” ujar Wibowo. Mbah Mangun menghela nafas lumayan panjang. Raut kecewa tersembul dari kerut wajah tuanya.

“Ganti bakso saja gimana, Mbah?” seloroh Lusi. Mbah Mangun terdiam sejenak. Dahinya mengerut. 

“Baksonya tidak alot kayak yang dulu, kan?” Mbah Mangun mencoba memastikan. “Gigiku nggak kuat ngunyah baksomu. Kayak makan karet.” Wibowo dan Lusi malah terkekeh.

“Sudah tidak, Mbah. Baksonya sudah kami buat lembut dan enak. Dijamin Mbah Mangun pasti suka.” Lusi meyakinkan Mbah Mangun.

“Ya, sudah. Pakai bakso.” Mendengar jawaban Mbah Mangun, Wibowo dan Lusi tersenyum sumringah. 

“Siap. Langsung aku buatkan,” seru Wibowo penuh semangat berapi. Lusi pun dengan gegas mengambil gelas dan potongan jeruk. 

Baru dua langkah Mbah Mangun hendak menuju meja makan, ia berbalik menghampiri Wibowo dan Lusi. Kini raut wajah tuanya dipenuhi rasa kesal.

“Kalian berdua lihat si Bagas?” pertanyaan Mbah Mangun membuat Lusi dan Wibowo menghentikan sejenak pekerjaannya. Mereka saling lirik sambil memasang muka penuh tanya.

“Bagas? Wah, aku nggak tau, Mbah. Dia, kan, jarang makan di sini. Seringnya makan di warung sotonya Pak Puji, kan?” ungkap Wibowo.

“Iya, sih. Bocah itu doyannya sama soto.” Mbah Mangun memegang keningnya. Sorot matanya sedikit kecewa. 

“Memangnya kenapa dengan Bagas, Mbah? Hari ini tidak bantu Mbah Mangun jaga parkiran?” tanya Lusi. Mbah Mangun mengangguk lesu.

“Iya. Aku nggak ngerti kenapa bocah itu hari ini nggak kerja. Biasanya ngabari kalau nggak masuk. Aku hubungi sejak tadi pagi nggak diangkat. Di-WA nggak dibales,” keluh Mbah Mangun. Ia makin bingung. Lusi dan Wibowo ikutan heran. 

“Sudah hubungi kakaknya, Mbah? Mungkin dia tahu,” tutur Lusi. 

“Males aku ngomong sama kakaknya. Dia nggak pernah peduli urusan adiknya, mau mati atau hidup. Emang nggak punya perasaan kakaknya itu.” Suara Mbah Mangun bergemuruh geram.

“Kebangetan banget memang kakaknya itu, Mbah. Padahal dia itu satu-satunya keluarga Bagas yang masih ada,” timpal Wibowo tidak kalah sengit. 

Mbah Mangun geleng-geleng kepala. Lusi tampak kasihan melihat laki-laki tua itu. Meski tidak kenal dekat dengan Bagas, Lusi tahu kalau Mbah Mangun sangat menyayangi Bagas. Ia sudah menganggap Bagas sebagai cucunya. 

Sebagai pemilik lahan luas yang disewakan untuk tempat parkir, Mbah Mangun punya banyak penjaga parkir, salah satunya Bagas yang baru dua bulan bekerja untuknya. Mbah Mangun pernah cerita kalau ia kasihan sama Bagas yang kena PHK di pabrik sepatu. Untuk sementara, ia mempekerjakan Bagas menjadi penjaga parkir di tempatnya. Bagas sering dipuji karena ulet, rajin, tepat waktu, suka membantu, dan ramah sama pemilik kendaraan.

Lusi pernah dengar omongan sinis dari beberapa anak buah Mbah Mangun yang makan di warung. Mereka berujar kalau Mbah Mangun menganak emaskan Bagas dibanding pekerja lain. Bagas selalu dapet bonus besar tiap akhir minggu. Padahal temannya yang sudah bekerja lebih satu tahun belum pernah dapat. Yang membuat mereka kesal, Mbah Mangun pernah membelikan smartphone baru untuk Bagas. Merk terbaru dengan harga di atas lima juta. Kata Mbah Mangun, smartphone milik Bagas sudah retak layarnya, perlu diganti. Tentu saja pekerja lain cemburu tidak karuan, lantaran smartphone milik mereka lebih jadul dibanding milik Bagas. Mereka pernah melihat layar smartphone Bagas yang retak hanya di pinggir saja, itu pun cuma satu retakan. Lusi hanya menggeleng kepala mendengar keluhan anak buah Mbah Mangun. Hidup memang tidak pernah adil. Begitu kata hati Lusi saat itu. 

“Ya, sudah. Segera buatkan mie ayam baksonya. Aku sudah lapar,” pinta Mbah Mangun. 

“Siap, Mbah. Laksanakan.” Wibowo membalas dengan luapan penuh semangat.

Mbah Mangun duduk di meja nomor dua, tempat duduk langganannya. Ia suka berada dekat dengan kipas angin dan jendela. 

Lusi terlebih dahulu mengantarkan minuman es jeruk manis. Mbah Mangun menyeruput dengan mantap. Dinginnya bongkahan es yang bercampur masinya air jeruk, seketika meredakan kering di rongga mulut Mbah Mangun. Gurat wajahnya yang sedari tadi mengerut tegang perlahan mengendur. 

Tidak berselang lama, giliran Wibowo mengantarkan satu mangkok mie ayam bakso. Wibowo berjalan dengan langkah mantap.

Mbah Mangun sedikit kaget lantaran Wibowo membuatnya lumayan cepat. Kedua bola mata tuanya tertuju ke mangkok mie ayam bakso.

“Tumben cepet buatnya, Wo?” seru Mbah Mangun. “Biasanya nunggu minumanku tinggal setengah.”

“Ha ha. Kali ini tidak, Mbah,” balas Wibowo sambil tertawa. Ia lantas meletakkan mangkok mie ayam bakso tepat di hadapan Mbah Mangun. “Silahkan dinikmati, Mbah. Baksonya aku sama Lusi buat sendiri. Tidak pesen di tempat lama. Pokoknya dijamin mantap.”

“Wah, yang bener, Wo? Buat sendiri?” Mbah Mangun tampak kagum. Ia terhenyak melihat empat bulatan bakso yang berukuran sedang. Lebih besar dari bakso yang pernah ia makan sebelumnya dan tidak pernah ia pesan lagi. 

Bentuk bakso di hadapan Mbah Mangun itu tersaji berbeda. Biasanya kalau bakso berukuran lebih besar ada empat belahan. Bakso racikan tangan Wibowo dan Lusi disajikan dengan delapan belahan sama panjangnya. Wujudnya seperti bunga teratai yang terapung di atas kolam.

Penampilan pertama bakso buatan Wibowo dan Lusi sudah membuat Mbah Mangun terpesona. Ditambahkan aroma bakso yang menguar lezat. 

“Iya dong, Mbah.” Senyum Wibowo makin lebar. “Aku sama Lusi sudah bisa ngatur waktu. Jadi punya banyak waktu buat bakso sendiri.”

“Syukurlah kalian bisa usaha bakso sendiri. Tidak tergantung sama orang lain. Ya, sudah, aku makan dulu, Wo.”

“Selamat makan, Mbah Mangun,” ucap Wibowo sambil melangkah meninggalkan Mbah Mangun.

Lantaran sudah tergiur dengan aroma bakso, Mbah Mangun menusuk salah satu bakso pakai garpu. Sungguh ritual makan yang tidak biasa. Sebab, sebelum menyantap mie ayam, biasanya Mbah Mangun menaburkan sambal dan saos terlebih dahulu; terus diaduk sampai memerah kuah dan mienya; baru disantap sampai habis.

Lihat selengkapnya