“Jamu! Jamu! Jamu!”
Tanpa kenal lelah, mulut Nastiti terus berseru menawarkan dagangannya. Meski tenggorokannya sedikit kering, namun tetap ia paksakan.
Kedua kaki Nastiti mengayuh sepeda dengan tempo lambat. Kedua bola matanya silih berganti melirik ke kanan kiri saat melewati rumah penduduk.
Sebenarnya, hari ini Nastiti tidak mau keliling berjualan. Ia ingin menjaga anak pertamanya yang sakit. Suaminya pun menghendaki demikian. Namun, ibunya mendesak untuk jualan. Ibunya menawarkan untuk merawat anaknya.
Seharian ini, baru tiga orang yang beli jamu. Para pelanggan jamunya malah belum ada yang beli. Meski tubuhnya dihinggapi rasa capek, namun Nastiti masih kuat menjajakan walau mulut sampai garing dan suara serak. Nastiti tetap yakin bakal dapat banyak pembeli.
“Nastiti! Beli jamu!”
Seketika Nastiti menghentikan sepedanya tatkala kedua telinganya mendengar orang menyeru namanya dan hendak membeli jamu. Nastiti cukup mengenal suara itu. Ia pun menghentikan laju sepedanya dan menoleh ke sebuah rumah bercat hijau muda berhalaman luas. Nastiti tersenyum tatkala Lusi melambaikan tangan ke arahnya. Lusi tampak kegirangan. Nastiti pun dengan gegas menuju ke halaman rumah Lusi.
“Jamunya masih ada, kan, Nas?” tanya Lusi penuh harap.
“Masih banyak, Mbak. Yang beli masih sedikit.”
“Syukur kalau masih.” Wajah Lusi tampak lega. “Seperti biasa, ya. Beras kencur.”
“Iya, Mbak Lusi.” Dengan gegas dan lincah, kedua tangan Nastiti mengambil botol jamu dan gelas berukuran sedang.
“Tumben siang begini masih di rumah. Nggak ke warung?” tanya Nastiti sambil mengocok-ocok botol jamu.
“Ini mau siap-siap berangkat, Nas. Sekarang aku agak siang berangkatnya. Tadi pagi dah nyiapin bakso. Lumayan banyak.”
“Oh, gitu.” Nastiti mengangguk-angguk. “Lha, terus. Mas Bowo ngurus sendiri di warung sampai siang?”
“Terpaksa, Nas.” Lusi menghela nafas dalam-dalam. “Sebenarnya kasihan juga. Tapi, ya, mau gimana lagi.”
“Nggak cari satu orang buat bantu jualan, Mbak?”
“Pengennya, sih, Nas. Masalahnya, nggak cukup buat ngasih upah layak. Keuntungan jualannya kecil. Bahan-bahan masih pada naik. Terutama daging sama cabai.”
“Bener banget, Mbak. Aku dah tiga minggu ini nggak beli cabai. Saking mahalnya. Makin susah saja, ya, hidup ini, Mbak.”
“Iya. Keadaan rakyat kecil kayak kita ini makin memprihatinkan, Nas.”
Nastiti menyodorkan gelas berisi beras kencur pada Lusi. Aroma khas jamu berwarna coklat keputihan itu merebak nikmat. Hidung Lusi kembang kempis menyesap butiran aroma kencur yang kuat. Tubuh lelah Lusi yang sedari pagi membuat bulatan-bulatan bakso perlahan mulai memudar. Padahal ia belum meneguk jamu itu, baru membauinya saja. Saking tidak sabaran, Lusi langsung meminum habis segelas jamu beras kencur.
“SEGER BANGET!” teriak Lusi. Wajahnya berbinar cerah. Tubuhnya seperti diguyur hujan di tengah teriknya siang hari.
Nastiti tersenyum melihat ekspresi lucu Lusi. “Nambah lagi, Mbak?”
“Ya, Nas. Satu lagi. Beras kencur buatanmu memang juara.” Lusi melontarkan pujiannya. Membuat Nastiti tersipu.
Dengan cepat Nastiti meramu lagi. Lusi melirik sekilas wajah Nastiti. tampak kedua pipinya memerah lantaran tersengat matahari. Namun, kedua bola matanya memancarkan keseriusan dan semangat. “Oh, iya, Nas. Si Ratih temenmu itu, gimana kabarnya? Masih keliling jualan jamu? Udah lama aku nggak lihat dia keliling perumahan sini. Biasanya kalian berdua, kan, selalu bareng.”
Nastiti terdiam sejenak. Ia tidak jadi menuangkan beras kencur ke gelas. Raut wajah yang tadi berseri semangat seketika padam. Berganti muram bermendung.
“Dah sebulan ini aku nggak ketemu dia, Mbak.”
“Lho. Kenapa, Nas?” Lusi terhenyak kaget. Nastiti menatap Lusi. Pandangan mereka bertemu. Lusi penuh selidik dan penasaran. Ada rasa getir menyelimuti perasaan Nastiti. Ia menghela nafas dalam-dalam.
Nastiti lantas menceritakan pada Lusi tentang keadaan jiwa Ratih. Semenjak kematian suami Ratih lantaran kecelakaan satu tahun lalu, Ratih masih belum lepas dari dukanya. Keluarga, kerabat, dan teman-teman Ratih silih berganti membantu untuk menyembuhkan luka batinnya. Namun belum berhasil. Terasa sulit mengembalikkan semangat hidup Ratih.
Nastiti mengatakan kalau dirinya sering menjenguk Ratih. Ia mendapati sahabatnya itu makin tenggelam dalam kesedihan.
Sempat ada harapan untuk pulih saat Ratih berobat ke psikiater. Perkembangan itu membuat kerabat dan temannya senang. Ia mulai berjualan jamu lagi bareng Nastiti.
Di saat jiwanya sudah sembuh, Ratih dihadapkan musibah lagi. Ayahnya meninggal dunia. Luka batinnya pun kambuh sampai hari ini.
“Terakhir aku ke rumah Ratih sebulan lalu. Masih belum bisa aku ajak berjualan lagi, Mbak.” Begitu Nastiti mengakhiri ceritanya.
“Ya, ampun Ratih.” Kedua mata Lusi berkaca-kaca. “Cobaan hidupnya berat sekali.”
Nastiti mengangguk lemah disertai desah lirih. “Semoga Gusti Allah memberikan Ratih kekuatan untuk menjalani itu semua.”
“Amin,” balas Lusi. Ia meneguk jamu beras kencur untuk kedua kalinya. Namun, kali ini lidah Lusi mengecap rasa berbeda. Jauh lebih nikmat tiada terkira. Jiwanya meronta bahagia.
Usai membayar dan Nastiti hendak pergi, tiba-tiba Lusi teringat sesuatu.
“Nas, tunggu dulu.”
“Iya, Mbak.”