Hamparan langit siang ini masih berselimut gumpalan mendung. Tidak terlalu pekat namun cukup ampuh membuat terik matahari tertahan menyengat permukaan bumi.
Sebuah mobil sedan putih berjalan pelan lantas berhenti tepat di parkiran warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo. Si pengemudi tampak hati-hati mengatur posisi mobil di tempat parkir yang tidak terlalu luas namun masih muat untuk beberapa mobil.
Dari dalam mobil, keluarlah dua pasangan suami istri berumur awal tiga puluhan, bernama Firman dan Nisa. Mereka berdua memandangi sejenak spanduk bertuliskan Mie Ayam Bakso Pak Bowo yang terpasang di atas pintu masuk warung.
“Kamu yakin mau makan di sini?” tanya Firman. Ia melirik ragu ke arah istrinya.
“Yakin, lah. Dah sampai sini juga. Lumayan rame, kok. Pasti enak.” Suara Nisa terdengar menggebu dan tidak sabaran.
“Nanti pesan bakso saja, ya. Tadi malam kamu sudah banyak makan mie. Nggak baik kebanyakan ngemie.” Firman memperingati istrinya.
“Iya, Mas Firman, iya. Tadi kamu sudah bilang juga,” ujar Nisa dengan ketus. Namun, Firman tampak tidak yakin dengan ucapan istrinya.
Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju warung. Tiba-tiba Firman menghentikan langkah kakinya.
“Dek. Nanti coba kamu sekalian tanya ke penjual mie ayamnya. Mereka tau nggak keberadaan Ki Joyo.”
“Paling mereka juga nggak tau, Mas. Kemarin saja kita dah nanya banyak penjual di sekitar rumah Ki Joyo. Pada nggak tau.” Nisa tampak pasrah.
“Coba dulu saja. Jangan pesimis, lah.”
“Ya,” jawab Nisa dengan suara lirih tidak bersemangat.
Begitu kedua kaki Firman dan Nisa menapak lantai warung, mereka langsung disambut oleh aroma nikmat kuah mie ayam bakso yang mengepul-ngepul.
Nisa tertahan langkahnya. Hidungnya kembang kempis menyesap lezatnya aroma mie ayam bakso. Perut buncitnya Firman langsung meronta-ronta. Baru kali ini ia dihinggapi aroma sedap mie ayam bakso yang begitu kuat.
Firman sudah banyak mencicipi warung mie ayam bakso di kota tempat tinggalnya. Namun, tidak ada yang memberikan kesan kuat saat pertama kali masuk di warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo.
“Mau pesan apa, Mas? Mbak?” tanya Wibowo begitu melihat Firman dan Nisa berdiri mematung di depan warung.
“Mie ayam bakso, Pak,” balas Firman dengan mantap.
“Kalau aku bakso saja,” timpal Nisa.
“Baik. Minumannya?”
“Es jeruk manis dua,” jawab Nisa.
“Baik. Silahkan duduk dulu. Bisa ke meja nomor lima.” Wibowo menunjuk ke meja nomor lima yang masih kosong.
“Makasih, Pak,” ucap Firman.
“Sama-sama, Mas.”
Nisa dan Firman lekas berjalan menuju meja nomor lima. Mereka berdua melewati pengunjung yang lahap menyantap mie ayam bakso maupun bakso saja.
“Lumayan ramai, ya?” ungkap Nisa saat duduk di kursi panjang.
“Standar, sih. Nggak terlalu ramai banget.” Firman mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. “Tapi bersih dan rapi warungnya. Bikin betah.”
“Iya.” Nisa mengangguk mantap. Ia melirik pembeli yang sedang menikmati hidangannya. Nisa terhenyak heran. Ia berbisik ke suaminya. “Mas. Coba lihat. Semua orang pada fokus nikmati mie ayam sama bakso. Tidak ada yang ngobrol. Kayak orang lagi berdoa.”
Firman menyadari keheranan yang sama. Hanya suara sruput, kecap, dan mulut kepedasan yang memenuhi ruangan.
“Mungkin saking enaknya.”
“Jadi nggak sabaran pengen cepet makan.” Baru saja Nisa melontarkan perkataan itu, Lusi menghampiri mereka berdua dengan membawa nampan berisi mie ayam bakso, bakso, dan dua es jeruk manis. Dengan sigap ia langsung meletakkan tepat di depan pasangan suami istri itu.
Hidung Firman dan Nisa sibuk menyesap aroma kuah, mie, suwir ayam, dan bakso yang mengepul-ngepul. Mata mereka pun tertuju pada bongkahan bakso. Menantang untuk disantap.
“Silahkan dinikmati,” ujar Lusi.
“Terima kasih, Bu,” balas Nisa. Firman tidak ikutan membalas lantaran sudah tidak sanggup membendung nafsunya untuk mengunyah bakso.
Kebiasaan Firman setiap kali makan mie ayam bakso ialah mencicipi baksonya terlebih dahulu sebelum dicampur sambal dan saos.
Firman pun mengambil garpu dan menusuk satu buah bakso; lantas ia gigit meskipun masih mengepul panas. Ketika bakso menyentuh ujung lidahnya, Firman terdiam. Seketika, dari mulutnya ia melontarkan kata pujian.
“Gila, Dek. Baksonya ueeenak sekali.”
Nisa yang mau menuangkan sambal di baksonya pun terheran-heran dengan ucapan suaminya, lantaran Firman jarang sekali memberi pujian enak pada bakso.
“Oh, iya?” Nisa sampai membelalakkan mata.
Firman mengangguk mantap. Tanpa basa-basi, mereka berdua langsung menyantap hidangan masing-masing. Sama seperti pengunjung lainnya, mereka berdua menikmati mie ayam bakso dan bakso dalam kesunyian total.
Suap demi suap, teguk demi teguk, akhirnya Firman dan Nisa menuntaskan hidangan mie ayam bakso dan bakso. Mangkok mereka benar-benar bersih tidak ada sisa setetes pun kuah. Wajah mereka memerah, begitupun kedua bibir.
“Mantap banget sih ini. Asli. Bakso paling enak.” Nisa berucap sambil menahan pedas.
“Kalau kita tinggal di kota ini, pasti tiap minggu makan mie ayam bakso ini.”
“Ingat. Jangan kebanyakan makan mie.” Nisa tersenyum kecut pada suaminya.
“Iya. Tapi kalau ini perkecualian. He he,” balas Firman sambil tertawa.
“Mas. Kita sampai lupa mau nanya keberadaan Ki Joyo.”
Firman sedikit kaget. “Oh, iya. Keenakan makan mie ayam bakso jadi lupa.”
“Sekalian nanti habis bayar kita tanya ke penjualnya. Mumpung mereka tidak lagi masak,” ujar Nisa. Firman mengangguk dengan raut serius.
Usai memastikan mulut mereka sudah tidak terbakar oleh pedasnya sambal, Firman dan Nisa menghampiri Lusi dan Wibowo.
“Baksonya mantap banget, Pak,” puji Firman sambil menyerahkan uang.
“Benar, Pak. Rasa dagingnya kerasa banget di mulut,” imbuh Nisa.
“Terimakasih, Mas, Mbak. Senang kalau kalian berdua suka.” Wibowo tersenyum sumringah.
“Mohon maaf sebelumnya, Pak. Bolehkah kita berdua bertanya?” ucap Nisa.
“Iya, silahkan. Mau tanya apa, Mbak?”
“Bapak tahu Ki Joyo?”
Wibowo mengangguk. “Iya. Tahu. Mbak dan Mas mau ketemu beliau?”
“Iya, Pak. Tadi pagi kami ke rumahnya yang ada di belakang hotel. Tapi beliau tidak ada. Sudah tanya ke sekitar sana tapi tidak ada yang tahu keberadaannya. Beberapa minggu ini rumahnya kosong.”
“Oh, gitu. Sebentar.” Wibowo menoleh ke arah Lusi yang sedang memotong sayur sawi. “Bu. Bu.” Lusi melirik suaminya.
“Apa, Pak?”