Sedari tadi, sudah sepuluh menit lebih, Abdhi menatap cermin berbentuk persegi panjang yang tertempel di dinding kamar tidurnya.
Abdhi tampak tidak percaya diri dengan potongan rambut belah kanan. Namun, ia juga geli sewaktu mengubah jadi belahan kiri. Rambutnya yang sedikit berombak membuat minyak rambut yang ia pakai tidak sanggup meluruskannya. Abdhi sudah berganti lebih dari tiga merk minyak rambut untuk membentuk rambutnya sesuai keinginan. Namun, semua berakhir sia-sia.
“Gini saja nggak papa,” ucap Abdhi dengan nada menyerah.
Samar-samar, Abdhi mendengar suara langkah kaki menuju kamarnya. Ia tahu siapa yang akan datang.
Pintu kamar diketok dibarengi suara seorang laki-laki.
“Dhi. Kamu dah siap?” tanya Yanuar, ayah Abdhi.
“Sudah, Pa,” balas Abdhi. Yanuar pun masuk ke kamar. Ia tertegun melihat penampilan anak laki-lakinya. Yanuar pun tersenyum lebar.
“Wah. Kamu ganteng banget. Potonganmu kayak Ronaldo.”
“Papa jangan ngeledek. Ronaldo rambutnya lurus. Rambutku kayak brokoli,” ujar Abdhi, menimpali pujian ayahnya.
Yanuar terkekeh. “Nggak ngeledek. Tapi jujur kamu mirip Ronaldo. Coba nanti aku belikan jersey Timnas Portugal. Terus kamu pakai. Pasti mirip.”
“Udah, lah, Pa.” Abdhi menggeleng jengkel. “Papa lama-lama mirip Pak Heru. Ayahnya si Gani. Dia selalu cerita kalau ayahnya sering nyamain dia sama Kylian Mbappe. Terus, kalau potong rambut harus botak tipis.”
“Oh, ya?” Yanuar terbahak. Ia pun merangkul Abdhi. Meski umurnya baru tiga belas tahun, namun tingginya hampir menyamainya. “Kalau sudah siap, ayo berangkat.”
“Ayo,” balas Abdhi penuh semangat. Mereka berdua berjalan beriringan keluar kamar. Yanuar merangkul pundak anaknya.
Saat mereka berdua melewati ruang tamu, mereka berpapasan dengan seorang perempuan berjilbab coklat. Raut wajah Abdhi seketika bermendung. Perempuan itu menatap Yanuar dengan tajam. Yanuar membalas dengan senyuman ke istrinya, Maharani.
“Dek,” sapa Yanuar.
“Jadi berangka?” ujar Maharani dengan nada datar.
“Ya jadi, dong. Ini aku sama Abdhi dah dandan rapi.” Yanuar masih berusaha tersenyum. Maharani melirik ke arah Abdhi yang terdiam menunduk.
“Jangan lama-lama di sana.” Suara Maharani agak meninggi. Gemanya memantul-mantul di dinding.
“Diusahakan tidak lama, Dek. Biar Abdhi ketemu kangen sama ibunya.”
“Kenapa nggak tinggal saja sekalian sama ibunya.” Begitu melontarkan ucapan ketus, Maharani pergi menuju dapur. Yanuar menghela nafas panjang sembari menggeleng pelan. Hatinya terluka setiap kali mendengar itu.
Setelah bertahun-tahun bercerai dengan Lusi, lantas menikah dengan Maharani hampir empat tahun, Yanuar tidak menyangka kalau ia bakal menghadapi situasi yang cukup rumit. Terutama menyangkut Abdhi, anak laki-laki kesayangan, hasil pernikahannya dengan Lusi.
Saat bercerai dengan Lusi, Yanuar mati-matian memperjuangkan hak asuh Abdhi. Dan ia berhasil. Meskipun demikian, ia tetap membolehkan Abdhi bertemu mantan istrinya. Yanuar menyadari kalau Abdhi butuh sosok ibunya. Demi anaknya, ia dan Lusi sedikit berdamai.
Masalah yang dihadapi Yanuar justru datang dari istri barunya, Maharani. Ia seorang janda yang mempunyai dua anak perempuan, lebih muda dua tahun dari Abdhi.
Tahun-tahun awal berkeluarga tidaklah bermasalah. Semuanya akur. Namun, seiring waktu perhatian Yanuar hanya tertuju pada anak laki-lakinya saja. Cukup abai dengan anak-anaknya Maharani. Hal itu membuat percekcokan di antara keduannya.
Meskipun posisi Yanuar adalah kepala rumah tangga, namun ia tinggal di rumah cukup mewah milik istrinya. Ia pun bekerja di perusahaan milik ayahnya Maharani.
Yanuar pun sudah berusaha untuk membagi kasih sayang pada Abdhi dan anak-anak sambungnya. Ia tidak ingin Abdhi menjadi sasaran kemarahan Maharani.
Keinginan Yanuar untuk mengantar Abdhi bertemu Lusi harus diutarakan pada Maharani satu bulan sebelumnya. Itu pun ia harus menerima omelan Maharani bertubi-tubi dan hampir setiap hari.
Yanuar melirik ke arah Abdhi. Wajah anak laki-lakinya itu memerah. Ia bisa merasakan kesedihan terpancar dari sorot matanya. Yanuar menepuk-nepuk bahu Abdhi. “Yuk, berangkat,” ucap Yanuar. Abdhi hanya mengangguk lemah. Mereka berjalan keluar rumah dengan langkah berat.
Saat Yanuar hendak membuka pintu mobil, Abdhi mencegahnya. “Pakai motor saja, Pa.”
“Motor? Serius? Nggak mau pakai mobil?”
“Motor saja,” balas Abdhi dengan lirih dan sedikit memaksa.
“Ya, sudah. Kamu tunggu sini. Papa ambil motor dulu.” Abdhi mengangguk pelan. Kali ini disertai senyum tipis.
***
Sepanjang perjalanan, Abdhi merasakan keintiman serta ketenangan bersama ayahnya. Abdhi sudah jarang membonceng motor. Sewaktu masih kecil, sebelum Abdhi menyaksikan perceraian orang tuanya, mereka bertiga sering berboncengan bertiga untuk pergi berlibur.
Abdhi masih ingat merk motor yang mendapat beban berat ditunggangi tiga orang, hampir tiap hari tanpa henti. Astrea Grand keluaran 1998. Motor itu pekerja keras, awet, dan lebih yang penting, irit bensin. Dihajar derasnya musim hujan maupun teriknya panas bertahun-tahun tidak sanggup menumbangkannya. Kokoh dan tidak ada tandingnya motor bebek itu.
Begitu banyak kenangan indah masa kecil Abdhi bertumpuk di motor itu. Namun, semua itu tidak bertahan lama. Tatkala Yanuar dan Lusi resmi berpisah, Astrea Grand 98 dijual oleh Yanuar. Kini, Abdhi tidak tahu nasib dan keberadaannya. Abdhi masih takut bertanya hal itu pada ayahnya. Ia tidak mau membuat ayahnya sedih mengingat kenangan itu.
Semenjak ayahnya menikah lagi dan tinggal di rumah besar. Abdhi jarang naik motor berdua bareng ayahnya. Mereka lebih sering naik mobil. Pulang pergi ke sekolah selalu diantar mobil. Bahkan sekadar ke minimarket.
Kehidupan Abdhi dan ayahnya berubah drastis. Kemiskinan bukan lagi sahabat mereka. Motor yang sekarang mereka pakai berboncengan merupakan keluaran terbaru tahun ini. Bukan Yanuar yang membelinya, melainkan Maharani. Ia membeli dua motor sekaligus. Alasannya karena bintang iklan motor itu artis favorit Maharani. Dan tidak pernah ia gunakan. Hanya Yanuar dan Abdhi yang tahu cara memanfaatkannya.
“Dhi,” ucap ayahnya saat berhenti di lampu merah.
“Iya, Pa?”
“Capek?”
“Nggak, Pa.”
“Papa malah keinget sesuatu, Dhi.”
“Apa itu, Pa?”
“Habis dari warung mamamu, sekalian mampir ke rumah Bu Mutia gimana? Dah lama, kan, kamu nggak ketemu duru SD favoritmu dulu?”
“Serius, Pa?” Abdhi berseru cukup keras bercampur senang.
“Iya. Sekalian ngasih kabar ke beliau kalau tahun ini kamu sudah kelas dua SMP.”
“Iya, Pa. Aku mau,” balas Abdhi penuh antusias. Tiba-tiba ia berubah meragu. “Tapi gimana sama mama Rani? Bukannya kita disuruh cepat pulang?” suara Abdhi mengalun lirih. Hampir tidak terdengar oleh ayahnya.
Yanuar menghela nafas panjang. “Jangan khawatir, Dhi. Mama Rani biar papa yang urus.”
“Oh. Baik, Pa.”
“Nanti kita mampir toko beli makanan kesukaan Bu Mutia, ya.”
“Iya, Pa.”
Kegembiraan yang dirasakan Abdhi makin membukit tinggi.
***
Begitu kedua kaki Abdhi menapak tanah depan warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo, wajahnya berbinar gembira lantaran ibunya sudah berdiri menunggu.
“Abdhi!” seru Lusi, ia berjalan cepat menghampiri Abdhi lantas memeluk erat anak laki-lakinya itu. “Mama kangen sama kamu.”
“Aku juga, Ma,” tutur Abdhi. Suaranya tertahan oleh rasa kangen serta senang. Kedua matanya sebak karena tangis. Air matanya pun sedikit tertumpah. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa rindu pada ibunya.
“Kamu sampai nangis? Lama, ya, nggak ketemu mama?”
Abdhi mengangguk. Lusi pun mengusap butiran-butiran air mata yang jatuh membasahi pipi anaknya.
Wibowo yang menyaksikan perjumpaan ibu dan anak itu pun tidak kuasa menahan rasa haru. Ia tahu Lusi sangat mencintai anak satu-satunya itu. Di sisi lain Wibowo tercekik perasaan sedih lantaran dia tidak bisa memiliki anak. Wibowo tahu dirinya mandul. Sewaktu hendak menikah dengan Lusi, ia berterus terang dengan kondisinya. Wibowo sempat takut Lusi bakal menolaknya, seperti perempuan sebelumnya. Yang tidak disangka, Lusi menerima Wibowo. Ia tidak mempermasalahkan kondisi Wibowo. Bagi Lusi tujuan membangun rumah tangga tidak harus melahirkan dan membesarkan anak. Saat itu, Lusi bilang pada Wibowo kalau dirinya hanya menginginkan ketulusan, kejujuran, dan rasa tanggung jawab dari seorang suami. Memang, selama menjalin rumah tangga dengan Lusi, Wibowo tidak pernah mendengar Lusi mengusik perihal anak, sekali pun saat mereka bertengkar. Sampai sekarang, Lusi membuktikan omongannya.
Sama seperti Wibowo, Yanuar yang masih berdiri dekat sepeda motor, merasakan guncangan batin menyaksikan anak kesayangannya terlihat gembira berjumpa ibunya sekaligus mantan istrinya.
Di mata Yanuar, Lusi adalah masa lalunya. Ia sudah menganggap Lusi sebagai teman ketika menyangkut Abdhi dan sebagai orang lain saat urusan itu sudah selesai.
“Ayo masuk, Dhi. Mama sudah buatkan makanan kesukaanmu. Tahu bakso.” Mendengar itu, raut wajah Abdhi berbinar senang. Ia pun membalas dengan anggukan.