21 RASA BAKSO PAK BOWO

tuhu
Chapter #6

5 - BAKSO RASA PAK PARJO

Malam mulai merangkak menuju dini hari. Udara dingin bercampur derasnya hujan yang berjatuhan sejak sore sungguh tidak karuan dinginnya. 

Sepanjang Jalan Diponegoro suasana terasa sepi. Hanya sesekali kendaraan lewat. Jalan yang kala siang sesak oleh muntahan asap motor dan mobil, berubah jadi kuburan saat gelap menyapa. Apalagi ditambah guyuran hujan, jadi sunyi menyeramkan. 

Seminggu menuju akhir tahun, hampir tiap malam hujan mengguyur cukup deras dan lumayan lama. Bahkan terkadang sampai subuh. 

Sejak awal bulan Desember, BMKG sudah mengumumkan bakal terjadi hujan dalam intensitas tinggi disertai angin kencang terutama di malam hari. Masyarakat pun dihimbau untuk berhati-hati. 

Dan terbukti, sepanjang malam di bulan Desember, jalanan tampak sepi. Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya. 

Masyarakat sepertinya tidak terlalu peduli kalau sebentar lagi ada momen pergantian tahun.

Di antara pekatnya malam, Parjo duduk meringkuk berselimut sarung di ruko tambal ban miliknya. Hembusan angin bercampur hujan beberapa kali menampar wajahnya. 

Ingin sekali Parjo menutup rukonya dan pulang ke rumah. Namun ia tahan. Parjo selalu berprasangka baik apabila nanti ada pengendara motor yang mogok atau bannya bocor di tengah malam dalam keadaan hujan seperti ini, kasihan kalau tambal bannya tutup. 

Parjo sering mendapati pengendara motor yang mengalami nasib sial di tengah malam. Sewaktu Parjo berhasil membenarkan motor, si pengendara melontarkan rasa terimakasih yang luar biasa. Hal itu membuat Parjo trenyuh dan tersentuh.

Sejak dulu, sewaktu membuka ruko tambal ban pertama kali, Parjo selalu meniatkan untuk membantu orang. 

Namun, malam ini Parjo merasakan firasat berbeda. Hatinya diganduli kecemasan yang entah dari mana datangnya. Padahal ia sudah melewati banyak malam-malam disertai hujan, ngilunya dingin, dan sunyi di pinggir jalan. 

Rasa cemasnya mulai sedikit memudar seiring rasa kantuk datang menyerang. Perlahan Parjo mulai tertidur di kursi panjang yang terbuat dari batang bambu.

Yang tidak Parjo ketahui, diam-diam, di antara sepinya Jalan Diponegoro, sebuah mobil Toyota Kijang Merah melaju dengan sangat pelan. Mobil itu pun berhenti sepuluh meter dari ruko tempat Parjo mulai tertidur.

Dari dalam mobil keluarlah dua orang, Lusi dan Wibowo. Masing-masing mengenakan masker, topi, dan sarung tangan.

Tangan kanan Wibowo menggenggam palu berukuran besar namun gagangnya pendek. Sedangkan Lusi menenteng linggis berukuran sedang yang ujungnya tajam.

Mereka berdua berjalan mengendap namun cepat. Ketika mereka menemukan Parjo dalam keadaan pulas, Wibowo memberi aba-aba pada Lusi untuk berhenti. Tatapan mereka bertemu. 

Lantaran posisi tidur Parjo membelakangi Lusi dan Wibowo, hal itu mempermudah Wibowo untuk menghujamkan palu besarnya ke tempurung kepala belakang.

Dengan mengerahkan kekuatan tangan yang sudah dilatih ratusan kali, Wibowo langsung menghantam kepala belakang Parjo. Terdengar suara benda pecah disertai erangan kuat kesakitan. Namun, suara rintihan sakit itu tersapu oleh deras hujan dan deru angin yang menggoyang-goyangkan pepohonan di sekitar ruko.

“Sekali lagi,” pinta Lusi. Dengan gegas Wibowo meremukkan tempurung kepala belakang. Tidak hanya dua kali. Ia melakukannya empat kali. Yang hantaman terakhir tidak disertai suara erangan kesakitan dari mulut Parjo.

Hidung Wibowo dan Lusi menyesap aroma darah segar yang mengalir dari sela rambut Parjo yang mulai memutih serta bercak darah menempel di kepala palu. 

Aroma amis darah mengalahkan segarnya butiran air hujan. Aroma itulah yang selalu dirindukan oleh mereka berdua.

“Kayaknya sudah mati. Ayo angkat,” perintah Wibowo. Mereka berdua lekas mengangkat tubuh lemas Parjo. Meskipun cukup berat, tidak menjadi hambatan lantaran mereka berdua sudah terbiasa. Bahkan tubuh yang lebih berat dua kali dari pada Parjo, seperti Bu Mutia. Dengan mudah mereka berdua berhasil memindahkan tubuh Parjo ke dalam mobil. 

Di tengah hujan yang masih mengguyur; dingin terasa menyengat; serta malam semakin pekat; Lusi dan Wibowo pulang ke rumah dengan hati gembira.

“Daging buruan kita malam ini mudah sekali ditangkap, Pak,” tutur Lusi sambil menyetir mobil.

“Iya, Bu. Kayak nangkep bebek pincang. Ha ha.” Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

“Daging buruan penutup tahun,” ujar Lusi.

“Pasti enak, Bu.”

“Tentunya.” 

Lusi menghentikan mobil begitu melihat lampu merah menyala. Meskipun tidak ada kendaraan lain menyeberang, ia tetap mematuhi rambu-rambu lalu lintas.

“Nggak kerasa, ya, Bu. Kita sudah satu tahun berburu daging,” ungkap Wibowo sembari memperhatikan seekor kucing oren yang berteduh di bawah teras ruko. Kucing oren itu tampak kelaparan.

“Iya, Pak. Tau-tau sudah ganti tahun saja,” balas Lusi.

“Kita sudah berhasil menangkap empat daging buruan.”

Lusi mengerutkan dahinya. Ia menoleh ke arah suaminya.“Empat? Itu daging segar yang baru tadi kita tanggap itu apa? Karung beras?”

“Ya, ampun, Bu. Lupa tidak kuhitung kalau daging itu masih masuk tahun ini. Ha ha.” Wibowo tertawa ngakak. Lusi tersenyum mengejek.

Lihat selengkapnya