“Biar aku saja yang mengurus Yanti, Pak,” pinta Lusi pada suaminya. Wibowo menatap sorot mata Lusi yang dipenuhi kecamuk dendam dan kemarahan.
Wibowo mengangguk. “Baik, Bu. Ini pisaunya.” Wibowo menyerahkan pisau berukuran besar yang biasa dipakai untuk memotong tulang-tulang manusia. Lusi menerimanya. Pisau besar itu terasa ringan tergenggam di tangannya. “Kalau gitu. Aku ke dapur dulu. Buat kopi sama mie rebus.”
“Iya, Pak.” Suara Lusi terdengar berat dan bergetar kuat.
Dengan langkah pelan, Wibowo meninggalkan Lusi di ruang pemotongan.
Kini, hanya ada Lusi dan tubuh Yanti, kakak perempuan Lusi. Terbujur tidak berdaya di atas meja pemotongan. Ada bekas jeratan kawat di leher Yanti. Dalamnya bekas jeratan itu menandakan nyawa Yanti terlepas dengan susah payah dan sangat menyakitkan.
Lusi menatap wajah Yanti. Gejolak kemarahan menggumpal menyesaki batinnya.
“DASAR SAUDARA BAJINGAN,” teriak Lusi. Bersamaan itu ia ayunkan pisau besar di tangannya tepat ke leher Yanti. Hanya dalam satu sabetan, leher Yanti terpotong. Kepala Yanti pun terlepas dari tubuhnya. Darah berhamburan dari kedua bekas potongan. Ada bercak darah yang menciprat ke lengan Lusi.
Lusi terengah-engah. Nafasnya naik turun tidak karuan. Bara kemarahan dan kebencian masih berkecamuk di kedua bola matanya; meskipun baru saja memenggal kepala kakak perempuannya.
Masih teringat jelas dalam ingatan Lusi, bagaimana pengkhianatan Yanti pada dirinya.
Dahulu, sewaktu sidang hak asuh Abdhi, secara mengejutkan dan menyakitkan, Yanti malah berpihak pada Yanuar.
Di persidangan, Yanti membela mati-matian Yanuar supaya memiliki hak asuh Abdhi. Dia pun turut memojokkan Lusi. Mengatakan kalau Lusi seorang ibu yang tidak bertanggung jawab; sering menelantarkan Abdhi sewaktu balita. Tidak hanya itu, Yanti juga mengungkit masa muda Lusi yang sering membangkang pada orang tua; suka mabuk-mabukan; dan sering melakukan kekerasan pada Yanti dan ibunya.
Tentu saja, kesaksian Yanti membuat Lusi mengamuk dan memaki-maki Yanti. Ia menganggap semua omongan Yanti hanyalah fitnah belaka. Lusi mengatakan kalau dirinyalah yang merawat ibunya sampai meninggal. Sedangkan Yanti tidak pernah sekalipun menengok ibu mereka. Bahkan saat pemakaman.
Sidang sempat dihentikan lantaran Lusi terus mengamuk dan ingin menyerang Yanti.
Setelah proses persidangan yang dimenangkan oleh Yanuar, diam-diam Lusi menyelidiki sebab kakaknya itu membela Yanuar.
Seperti yang Lusi duga, Yanuar memberi puluhan juta pada Yanti untuk berpihak padanya. Dan Yanuar memperoleh uang itu dari berhutang pada ayah mertuanya.
Bertahun-tahun Lusi memendam semua kekalahan dan pengkhianatan itu. Ia pun tidak pernah bertemu dengan Yanti. Sampai kedatangannya tadi sore yang cukup mengagetkan.
Lusi dan Wibowo baru memarkirkan mobil di halaman rumah, mereka dikejutkan oleh Yanti yang berdiri di teras rumah sambil tersenyum. Seperti seorang istri yang menyambut kedatangan suami.
Lusi tercengang kaget. Ia sempat tidak percaya Yanti berani datang ke rumahnya setelah sekian lama. Api kemurkaan langsung membuncah kuat. Memori pengkhianatan Yanti menyembul ke permukaan.
Lantaran Wibowo tahu sejarah permusuhan kakak beradik itu, ia pun berinisiatif menghampiri Yanti dan menyapanya.
“Wah. Mbak Yanti. Dah lama nunggu?”
“Nggak, kok. Belum lama juga. Tadi sempat nyasar. Dah lupa.”
“Iya, lah. Jarang ke sini.”
Yanti hanya tertawa. Ia melirik ke arah Lusi yang sedang memasukkan mobil ke garasi.
“Kabarmu gimana, Wo? Sehat, kan?”
“Sehat, Mbak.”
“Masih jualan mie ayam bakso?”
“Masih, Mbak. Besok mampir, lah.”
“Siap.”
“Ayo, masuk dulu. Banyak nyamuk kalau sudah sore.” Terlebih dahulu Wibowo membuka kunci pintu. Begitu masuk, Yanti tampak terkagum melihat isi rumah. Dari luar tampak sederhana, di dalamnya kelihatan mewah. Yanti melihat sofa di ruang tamu. Ia bisa memperkirakan harga sofa itu lumayan mahal.
Wibowo mempersilahkan Yanti duduk serta menawarkan minuman. Yanti milih teh manis anget.
Ketika Wibowo meninggalkannya sendiri, Yanti merasa cemas. Lantaran ia belum menyapa adiknya. Ia sudah menduga Lusi bakal bersikap dingin padanya.
Samar-samar Yanti mendengar suara langkah kaki memasuki rumah. Yanti tahu kalau itu adalah Lusi. Benar saja, Lusi datang menghampiri Yanti. Tanpa basa basi ia duduk di sofa, berhadapan langsung dengan Yanti.