Sudah lima belas menit Fatimah duduk di kursi tunggu lorong rumah sakit. Perasaannya masih campur aduk tidak karuan.
Setiap kali Fatimah melihat beberapa dokter laki-laki memakai jas putih berjalan melewatinya, hati Fatimah bertambah cemas.
“Mama,” ucap Bianca, anak perempuan Fatimah yang sedari tadi duduk di pangkuannya.
“Iya, Sayang?” balas Fatima.
“Papa belum datang juga?” tanya Bianca. Anak yang baru beranjak enam tahun itu mendongakkan kepala lantas menatap wajah ibunya.
“Belum, Sayang. Kita nunggu Dokter Anna dulu, ya.”
“Dokter Anna juga belum datang, Ma?”
“Dokter Anna lagi ada rapat. Bentar lagi dia datang.” Fatimah berusaha menjelaskan apa adanya pada Bianca disertai senyum meski hatinya resah tidak karuan.
Bianca mengangguk pelan. Ia kembali membaca buku bergambar yang sudah sering ia baca.
Hanya berselang beberapa menit, dari arah selatan lorong, perempuan yang ditunggu oleh Fatimah dan Bianca berjalan tergopoh-gopoh.
“Itu Dokter Anna,” seru Fatimah menunjuk ke arah Dokter Anna yang tengah menghampirinya. Bianca pun tampak ceria. Setiap kali bertemu Dokter Anna, Bianca selalu gembira. Sejak masih bayi sampai sekarang, Dokter Anna selalu menjadi teman bermain yang menyenangkan. Banyak buku cerita Bianca hadiah darinya. Ia sudah menganggap Dokter Anna sebagai ibu kedua.
Dokter Anna dan Fatimah sudah berteman sejak kuliah, meskipun berbeda fakultas, namun mereka dipertemukan di tempat kos yang sama.
Melihat sosok Dokter Anna, Bianca pun beranjak dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri Dokter Anna.
“Bia.” Dokter Anna memeluk Bianca sambil menggendongnya. Ia mencium pipi Bianca dengan gemas. “Maaf, ya, kalau Bia sama mama nunggu lama.”
“Bia sampai ngantuk.”
“Maaf. Maaf.”
Sambil menggendong Bianca, Dokter Anna menghampiri Fatimah dengan wajah berbalut khawatir.
“Udah selesai, An?” tanya Fatimah.
“Udah. Sorry banget kalau lama. Mau keluar duluan nggak enak sama senior.”
“Nggak papa, An.”
Dokter Anna mengajak Fatimah dan Bianca ke taman depan rumah sakit.
Bianca bermain ayun-ayunan, Dokter Anna dan Fatimah duduk berdampingan di kursi panjang.
“Udah dapat informasi dari teman doktermu, An?” tanya Fatimah. Sejak tadi ia tidak sabar untuk mengutarakan itu.
Dokter Anna mengangguk. “Kemarin aku sudah hubungi teman-temanku yang praktek bareng suamimu. Kata mereka, Halim masih ada di kota ini. Hari kemarin temenku lihat mobil Halim parkir di depan warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo. ”
Fatimah terhenyak kaget mendengar jawaban sahabatnya. “Lho. Kok beda. Waktu kemarin aku tanya pihak puskesmas, kata petugasnya, Halim mengajukan cuti tiga hari. Keterangannya, Halim mau menghadiri pertemuan ikatan dokter di ibu kota. Yang bener yang mana, sih?”
Raut wajah Fatimah tampak frustasi berat. Air matanya perlahan meleleh. Dokter Anna mendekap sahabatnya serta mengusap punggungnya. Fatimah menumpahkan tangisnya dalam pelukan Dokter Anna.
“Nomornya masih belum bisa dihubungi, ya?”
Fatimah menganggukkan kepala sambil sesengukan. Ia melirik Bianca yang pindah main prosotan. Anak itu begitu gembira meskipun bermain sendirian.
“Apa bener firasatku selama ini? Halim selingkuh. Sama si perawat yang namanya Devi. Aku nggak tahu seperti apa wajah perempuan itu.”
Dokter Anna menghela nafas panjang. “Mungkin firasatmu benar, Fa. Temenku pernah cerita kalau dia kerap mergoki Devi pergi berduaan sama dokter yang beda-beda. Kebanyakan dokter itu sudah berkeluarga. Biasanya Devi ngajak makan di Mie Ayam Bakso Pak Bowo.”
“Ya, Tuhan,” Fatimah menjerit dalam pelukan Dokter Anna. Suara tangis keras Fatimah tidak sampai terdengar oleh Bianca. Dokter Anna tidak sanggup membendung air matanya. Ia ikutan menangis.
“Coba nanti kita ke warung itu. Kita cari tahu, apa benar Halim dan Devi pernah ke sana. Kalau Devi sering makan di sana, pasti penjualnya sudah hafal wajah Devi.”
Fatimah mengangguk pelan tanpa melontarkan ucapan. Hatinya sudah terlanjur kelu dan sakit.
Siang harinya, Dokter Anna dan Fatimah mendatangi warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo. Kali ini tanpa mengajak Bianca.
Fatimah terhenyak begitu melihat warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo ramai oleh pengunjung. Ia baru pertama kali menjejakkan kaki di halaman parkir warung.
Fatimah bukan pecinta mie ayam dan bakso. Hampir jarang menyesap aroma kuah mie ayam serta mengunyah bulatan bakso. Kalaupun makan, itu terpaksa lantaran ada teman yang mengajak dan ia kehabisan alasan untuk menolak.
Berbeda dengan Dokter Halim. Ia sangat jatuh cinta sama mie ayam dan bakso. Perbedaan makanan favorit antara Fatimah dengan Dokter Halim, terkadang menimbulkan pertengkaran. Apalagi saat memilih tempat makan ketika berlibur atau saat perjalanan pulang. Selama ini, Dokter Halim paling banyak mengalah. Ia merelakan tidak mampir ke warung mie ayam demi pilihan istrinya yang kurang suka mie ayam.
“An. Kamu pernah makan di sini?” tanya Fatimah sambil berjalan menuju pintu masuk warung.
“Pernah. Dua kali. Diajak seniorku.”
“Enak?”
“Lumayan. Aku malah lebih suka tahu bakso sama siomainya.”
Fatimah sedikit kaget. “Emang jual siomai juga?”
Dokter Anna mengangguk mantap. “Sumpah. Enak banget siomainya, Fa. Kamu harus coba. Makanan kesukaanmu, kan?”
“Kalau kamu ngomong gitu malah makin penasaran, An. Sudah lama nggak makan siomai.” Perut Fatimah tiba-tiba bergemuruh dan meronta-ronta untuk dijejali siomai. Padahal sebelum berangkat ia sudah makan.
“Ingat, Fa. Kita datang ke sini untuk mencari informasi suamimu. Bukan untuk jajan siomai.” Dokter Anna memperingati. Ia tahu kalau Fatimah cinta mati dengan siomai. Lumayan berlebihan kalau sudah beli siomai. Dokter Anna dan suaminya Fatimah sering memperingatkan Fatimah untuk menahan diri.
“Iya, An. Aku tahu.” Hampir saja Fatimah teralihkan tujuannya.
Dokter Anna dan Fatimah masuk ke dalam warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo dengan langkah tergesa. Mereka tidak ingin kehabisan meja. Juga siomai.
Yang pertama kali Fatimah lihat sewaktu masuk warung bukan gulungan mie atau bulatan bakso, melainkan tumpukan siomai di mangkuk yang ditaburi saus kacang pedas. Seketika Fatimah terhenti langkahnya. Lidah dan perutnya memberontak tidak karuan.
Beruntungnya, Fatimah dan Dokter Anna masih mendapat tempat duduk meskipun harus berdesakan dengan pengunjung lain.
Fatimah memutuskan untuk memesan siomai sedangkan Dokter Anna memilih mie ayam pangsit. Minum mereka sama, es teh tawar.
Sembari menunggu pesanan datang, Fatimah dan Dokter Anna memperhatikan dengan seksama setiap pengunjung yang sedang menikmati lezatnya makanan.
“Halim sama Devi nggak ada di sini, An,” bisik Fatimah. Ia terlihat kecewa.
“Mereka berdua memang nggak ada siang ini. Mungkin kita tunggu sampai selesai makan. Semoga kecurigaan kita tidak terjadi.”
“Tapi kecurigaanku kuat, An. Halim selingkuh. Entah sama perawat yang namanya Devi atau siapa pun.” Fatimah menahan nafas dan percikan amarah.
Di tengah obrolan Fatimah dan Dokter Anna, Lusi datang membawa pesanan mereka berdua. Kedua mata Fatimah langsung terangsang begitu melihat mangkuk berisi tumpukan siomai, telur bulat, tahu putih, kubis, dan kentang. Balutan saus kacang pedas berwarna coklat kemerahan membuat air liur Fatimah bergejolak.
Fatimah tidak menyangka porsinya cukup banyak dengan harga relatif murah. Sebagai pecinta siomai, warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo adalah surga.