Begitu sudah memegang kartu elektronik yang dikasih resepsionis hotel, Kompol Ruswandi bergegas masuk ke dalam lift yang sudah terbuka. Ia berbarengan dengan pasangan anak muda mengenakan baju couple. Pejabat polisi yang bulan lalu dilantik menjadi Kasat Reskrim Polresta itu memencet tombol nomor lima sedangkan pasangan anak muda berbaju couple memilih nomor empat.
Saat lift berhenti di lantai nomer empat, pasangan anak muda itu keluar sambil berangkulan. Si perempuan lengket sekali, seperti tidak mau pisah. Kompol Ruswandi tersenyum tipis dibalik masker hitamnya melihat kemesraan pasangan itu. Ada perasaan iri bergejolak di hatinya.
Kompol Ruswandi kembali sendiri di dalam lift. Ia menatap pantulan wajahnya dari cermin di sisi kanannya. Pandangan matanya saling bertemu. Sorot mata lelah di cermin itu memperhatikannya dengan seksama. Kompol Ruswandi menghela nafas panjang.
Begitu pintu lift terbuka, Kompol Ruswandi berjalan keluar dengan langkah cepat. Ia berhenti di kamar nomor 511 lantas membukanya dengan kartu elektronik.
Kompol Ruswandi langsung membanting tubuh lelahnya di atas kasur single bed.
“Kasur ini lumayan empuk juga,” ucap Kompol Ruswandi. “Kayaknya lebih enak tidur di sini daripada kamar 608.” Ia bergumam sambil memandangi seluruh ruangan.
“Besok lagi aku pesan kamar ini saja, lah. Kalau bisa sekalian aku boking selamanya.”
Sambil menikmati empuknya kasur, Kompol Ruswandi menyalakan smartphone. Ia lekas menghubungi nomor atas nama Ayu.
Perasaan Kompol Ruswandi langsung berbunga-bunga saat nomor itu tersambung.
“Halo, Dek?”
“Iya, Mas Rus.”
“Mas sudah sampai hotel. Kamu sampai mana?”
“Ini masih nunggu Ojol, Mas. Tunggu, ya, Mas.”
“Jangan buru-buru, Dek. Tenang saja. Hati-hati di jalan.”
“Iya, Mas.”
Kompol Ruswandi lekas menutup panggilan telepon, ia khawatir kalau terlalu lama menelpon, battery smartphone Ayu bakal habis.
Hari ini Kompol Ruswandi sudah membawa hadiah untuk Ayu berupa iPhone terbaru. Hasil ia menyisihkan gaji selama dua bulan ditambah mengambil beberapa uang dari tabungan istrinya.
“Pasti Ayu suka,” tutur Kompol Ruswandi sembari tersenyum lebar. Tangan kanannya mengelus-elus tas coklat di sampingnya. Ia tidak ingin membuka IPhone yang ada di dalam tas itu. Kompol Ruswandi ingin aroma IPhone baru itu tetap terjaga.
Hampir satu tahun Kompol Ruswandi menjalin perselingkuhan dengan Ayu. Usia mereka terpaut sepuluh tahun.
Selama bersama Ayu, Kompol Ruswandi merasakan jati dirinya sebagai seorang laki-laki yang berpangkat, gagah, dihormati, dan melindungi.
Kompol Ruswandi tidak peduli pernikahannya yang sudah berusia empat belas tahun. Istrinya memang sangat setia mendampingi dirinya. Namun, rasa cinta Kompol Ruswandi pada istrinya sudah lama memudar.
Yang membuat Kompol Ruswandi bertahan dalam pernikahan ialah dua anaknya. Ia sangat mencintai mereka. Apapun akan ia korbankan untuk masa depan kedua anaknya. Apalagi Kompol Ruswandi adalah anak tunggal. Kehadiran anak sangatlah berarti. Kedua orang tuanya malah bangga ia punya dua anak dari pada jabatan barunya.
Kedua anak Kompol Ruswandi lebih dekat dengan istrinya. Kalau Kompol Ruswandi memutuskan berpisah, ia takut kedua anaknya bakal membencinya. Kemungkinan terburuknya mereka tidak mau tinggal bersama Kompol Ruswandi.
Perihal urusan cinta, Kompol Ruswandi sudah tidak menemukan lagi pada sosok istrinya.
Ayu bukanlah perempuan pertama sebagai tempat penyebrangan Kompol Ruswandi. Sudah ada dua perempuan sebelumnya. Namun tidak berlangsung lama lantaran mereka hanya mengejar uang Kompol Ruswandi. Ayu adalah sosok berbeda. Ia perwujudan istri Kompol Ruswandi ketika masih muda. Cantik dan mandiri, dipadu tingkah manja. Lebih dari itu, ia tidak pernah meminta uang dari Kompol Ruswandi. Ayu pernah berucap kalau dirinya mencintai Kompol Ruswandi dengan tulus. Hal itu membuat Kompol Ruswandi semakin dalam menyayangi Ayu.
Kompol Ruswandi malah dibuat heran oleh istrinya. Ia melihat istrinya bersikap biasa saja setiap harinya di rumah, tidak ada perubahan yang mencolok, terlebih selama masa perselingkuhan baik dengan Ayu maupun perempuan lainnya. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Sempat terbersit di pikiran Kompol Ruswandi kalau istrinya pandai menyembunyikan perasaan padahal sudah tahu kebusukan hubungan Kompol Ruswandi dengan Ayu. Hal itu membuat Kompol Ruswandi didera kecemasan serta takut setiap kali menginjakkan kaki saat pulang ke rumah.
Di tengah lamunannya, smartphone milik Kompol Ruswandi memekik cukup keras. Pertanda seseorang menelpon. Seketika perasaan Kompol Ruswandi kembali membuncah. “Akhirnya sampai juga dia di hotel,” ucap Kompol Ruswadi. Gurat-gurat di wajahnya merenggang bahagia. Kompol Ruswandi segera mengambil smartphone.
Ketika menatap layar, Kompol Ruswandi tampak kecewa. Nomor yang menelpon bukanlah Ayu melainkan dari teman kantornya, Iptu Iksan.
Dengan rasa malas bercampur kecewa, Kompol Ruswandi menjawab telepon.
Dalam percakapan mereka berdua, Iptu Iksan mengatakan kalau sore tadi ada laporan orang hilang lagi. Atas nama Halim Kusuma. Seorang dokter yang berdinas di puskesmas kecamatan. Dalam keterangan Iptu Iksan, dokter tersebut sudah lima hari menghilang. Keluarga besar Dokter Halim yang datang membuat laporan orang hilang.
Iptu Iksan juga menambahkan ada kejadian konyol saat keluarga besar Dokter Halim Kusuma membuat laporan. Seorang perawat yang mengaku kekasih Dokter Halim datang ke kantor polisi membuat laporan serupa.
Di hari dan waktu yang bersamaan, istri Dokter Halim berjumpa dengan si perawat. Terjadi pertengkaran hebat di antara keduanya. Beruntung bisa dilerai oleh polisi yang bertugas dibantu keluarga besar Dokter Halim.
“Ya, ampun. Ada-ada saja. Terus gimana akhirnya?” tanya Kompol Ruswandi. Ia tampak keheranan.
“Sudah dimediasi, tapi istri si dokter masih tidak terima. Dia malah mengancam mau melakukan hal buruk pada si perawat. Akhirnya istri si dokter dibawa pulang ke kota asalnya.”
“Tolong besok dipantau kondisi si perawat yang mengaku kekasih si dokter. Takutnya istri si dokter beneran berulah. Pastikan dia aman.”
“Siap, Pak Komisaris.”
Kompol Ruswandi menanyakan juga terkait perkembangan laporan tiga orang hilang sebelumnya. Atas nama Bu Mutia, Ki Joyo, dan Parjo.
“Apakah ada temuan fakta baru? Mereka bertiga sudah lama hilang. Bahkan Ki Joyo sejak tahun lalu.”
“Kalau itu belum ada.” Suara Iptu Iksan terdengar berat dan lirih. Mulutnya seperti menelan ubi jalar berukuran besar. Dari ujung telepon, Kompol Ruswandi menghela nafas panjang.
“Tolong segera kabari kalau sudah ada. Aku tidak enak setiap kali keluarga mereka datang tidak ngasih perkembangan yang baik. Sentimen negatif masyarakat tentang kinerja kepolisian makin meningkat.”
Ada keheningan beberapa saat.
“Pak Komisaris. Menurutku, tiga kasus orang hilang sebelumnya, ada dua benang merah penghubung.”
“Apa itu?”
“Retaknya hubungan keluarga dan tidak diinginkan kehadirannya.”
“Hmmmm.” Kompol Ruswandi berdehem. “Artinya?”
“Mereka sengaja pergi. Menjauh dari keluarga atau lingkungan.”
“Jadi. Menurutmu mereka tidak diculik atau dibunuh dan jasadnya dihilangkan?”
“Sama sekali tidak. Bukti-bukti yang sudah kita kumpulkan selama ini tidak mengarahkan ke situ.”
“Ya. Aku pun sebenarnya berpikir demikian. Di tempatku yang lama, aku sudah enam tahun mengurus laporan orang hilang. Dan seperti yang kamu bilang, mereka sengaja pergi karena tidak diinginkan.”