Wandi mengambil rokok yang tinggal satu batang. Ia cium dulu wangi rokok itu sebelum ia jepit di antara bibir hitamnya. Sudah kebiasaan rokok terakhir harus diperlakukan secara berbeda. Terlebih lagi, harganya cukup mahal. Hanya di akhir bulan ia sanggup membelinya ketika upahnya sebagai mandor buruh bangunan sudah cair.
Begitu rokok dinyalakan, Wandi menghisap dengan pelan. Ia sangat menikmatinya.
Kepulan asap yang keluar dari mulutnya membumbung tinggi dan terlihat jelas di antara pekat malam.
“Mantap sekali,” seru Wandi. Suaranya penuh penekanan.
Rokok sudah jadi teman Wandi sejak lama, sedari SMP kelas satu. Ia merokok bukan karena teman-temannya melainkan ayahnya. Setiap kali melihat ayahnya menyesap rokok sehabis makan, Wandi menjadi terobsesi untuk mencobanya. Ia tidak mau mengambil rokok milik ayahnya, melainkan membeli sendiri walaupun cuma satu batang. Bahkan ia yang mengajak teman-teman SMP-nya mencicipi rokok. Berbagai macam merk rokok sudah pernah ia sesap. Mulai dari paling murah sampai cukup mahal.
Malam ini, ketika Wandi dapat jatah jaga malam di tempat proyek perumahan, rokok menjadi pendamping sempurna. Ia mudah bosan bermain game atau nonton video di YouTube, namun tidak untuk menyesap rokok.
Di tengah asyik menyesap rokok terakhir, Wandi mendengar suara sepeda motor berhenti tepat di depan bangunan rumah yang sedang ia tempati.
“Mantap. Mereka sudah datang.” Wandi bergegas berdiri dan melangkah ke luar.
Wandi mendapati dua temannya, Gundul dan Beni, membawa tas yang cukup berat.
“Dapat, Ndul?” seru Wandi.
“Dapat, Mas Wandi. Untung masih ada,” balas Gundul. Wandi tersenyum mendengarnya.
“Anggurnya tinggal dua botol, Mas Wandi. Nggak papa, kan?” ujar Beni.
“Nggak papa. Cukup itu.” Mereka bertiga pun masuk ke bangunan yang sudah delapan puluh persen jadi.
Beni membuka tas hitam yang berisi botol miras. Ada enam botol. Dua anggur, empat bir. Wandi membuka tutup botol anggur. Ia tuangkan ke gelas berukuran sedang yang biasa ia pakai untuk membuat kopi.
Beni dan Gundul masing-masing mengambil botol bir. Mereka berdua tidak terlalu suka anggur.
Di bawah remang cahaya lampu ruangan, serentak mereka bertiga meneguk miras.
“Enak,” seru Beni sambil meringis.
“Jos. Jos. Jos.” Gundul tertawa terkekeh.
“Asek. Asek.” Raut wajah Wandi sumringah cerah. Mereka bertiga terbahak-bahak kegirangan.
“Oh, iya. Sampai lupa. Pil koplonya.” Gundul mengeluarkan bungkusan plastik dari saku celana.
“Wah, iya itu. Jangan lupa. Nanti minumnya habis pilnya malah nggak dipakai,” ungkap Wandi. Beni dan Gundul terkekeh.
“Minta tiga,” seru Beni.
“Aku empat dulu, Ndul,” pinta Wandi.
“Ini pil jenis baru. Lebih mantap dan keras kata yang jual.” Gundul memberikan butir-butir pil koplo sejumlah permintaan dua temannya. Gundul sendiri mengambil empat butir.
“Yo. Gas lagi.” Beni tampak tidak sabaran. Wajahnya bahkan sudah memerah sebelum lidahnya menyentuh butir pil koplo.
Mereka bertiga pun langsung menelan semuanya. Butir-butir pil koplo itu pun melewati kerongkongan lantas masuk ke dalam lambung bersama minuman keras.
Belum ada lima menit, efek pil koplo langsung terasa kuat. Kepala Wandi mulai diserang pusing serta perut mual. Pandangan matanya berkunang. Ia melihat Gundul punya tiga bayangan. Begitupun yang dirasakan Gundul dan Beni. Mereka berdua malah tumbang duluan.
“Wo… woi… Beni… Gundul. Kok dah tep… par.” Ucapan Wandi sudah belepotan tidak jelas. Hanya dalam hitungan detik, pandangan mata Wandi menghitam pekat. Ia pun tersungkur tidak sadarkan diri.
***
Begitu kedua bola mata Wandi perlahan terbuka, yang pertama ia lihat ialah cahaya lampu kuning tepat di atas kepalanya. Lantas ia melirik ke arah kanan. Wandi melihat berbagai peralatan potong yang tertata rapi.