Suara deburan ombak laut bergulung-gulung mengiringi semburat senja pagi yang perlahan menyembul dari ufuk timur.
Suasana pagi di tepi pantai tidak pernah menyajikan kesunyian. Berbagai suara alam terlontar dengan irama yang harmonis. Seperti gemuruh ombak dengan kokok burung camar yang berterbangan sepanjang garis pantai. Atau gemerisik pepohonan dihempas angin laut.
Riuhnya suara pantai pagi ini, malah membuat batin Lusi menjadi tenang dan damai. Sudah setengah jam ia duduk sendiri di atas pasir pantai. Menghirup dengan rakus udara segar yang berlimpah ruah.
Kencangnya angin laut menampar tubuh Lusi berkali-kali, namun raut wajahnya semakin cerah. Ia begitu menikmati apapun perlakuan alam terhadap dirinya.
Dari kejauhan, kedua bola mata Lusi melihat sosok Wibowo yang berjalan menghampirinya sambil membawa nampan berisi dua gelas, satu teko kopi panas, serta toples keripik udang. Lusi tersenyum gembira melihatnya.
“Toples keripiknya boleh dibawa, Pak?”
“Kata pegawai hotelnya boleh.” Wibowo meletakkan nampan. Lusi lekas menuangkan kopi ke gelas. Aroma kopi panas menguar nikmat di antara segarnya udara pantai. Wibowo memilih mengunyah kerupuk udang. Mereka berdua lantas menyibukkan mulut dan lidah sembari menanti cahaya senja yang masih malu-malu menampakkan wujudnya.
Sudah dua hari ini Wibowo dan Lusi berlibur di pantai yang jadi tempat wisata langganan sejak lama. Mereka berdua selalu menyempatkan datang, minimal setahun sekali.
Selain panorama indah yang disuguhkan oleh pantai ini, yang membuat Wibowo dan Lusi jatuh cinta ialah Paramita Hotel, tempat mereka berdua menginap. Hotel itu menjadi daya tarik tersendiri.
Paramita Hotel berada tepat di sisi pantai. Begitu keluar hotel, bola mata langsung disajikan hamparan birunya laut. Namun, bukan lantaran itu Wibowo dan Lusi memilihnya. Melainkan hidangan makanan Paramita Hotel yang bikin mereka berdua terkagum-kagum.
Di sekitar pantai bertebaran hotel mewah. Wibowo dan Lusi pernah mencobanya. Lantaran ujung lidah dan perut mereka sangat sensitif dengan bumbu masakan, tidak banyak makanan hotel yang cocok. Sampai akhirnya berjumpa dengan Paramita Hotel. Wibowo dan Lusi memberikan nilai sembilan puluh untuk semua menu makanan di hotel itu. Nilai yang sangat tinggi.
Saking sukanya dengan menu makanan di Paramita Hotel, Wibowo dan Lusi sampai menirunya. Bahkan, rasa kuah mie ayam dan bakso, inspirasinya berasal dari hotel itu. Termasuk cita rasa tahu bakso, siomai, dan kerupuk yang dijual di warung mereka berdua.
Salah satu makanan kesukaan Wibowo dan Lusi ialah kerupuk udang yang kini sedang mereka nikmati bersama kopi pahit.
“Pak,” ucap Lusi. Ia meninggikan suaranya supaya tidak tersapu angin.
“Iya, Bu?” Wibowo melirik ke arah istrinya sambil mengunyah kerupuk udang. Ia agak heran lantaran wajah istrinya tampak serius.
“Apa kamu pernah membayangkan, kalau suatu saat nanti kita bakalan tertangkap karena berburu daging manusia?”
Wibowo terhenyak kaget mendengar ucapan yang dilontarkan istrinya.
“Bu. Kita lagi nikmati liburan. Nggak usah mikir yang aneh-aneh gitu. Santai dululah.” Wibowo sampai berhenti mengunyah. Pandangan Lusi tegak lurus ke arah pantai. Kedua matanya menolak berkedip.
“Mumpung punya waktu santailah aku bertanya kayak gitu. Aku pengen tahu, kemungkinan terburuk apa yang bakal kita hadapi.” Lusi tampak bersikeras. Wibowo mengambil nafas dalam-dalam. Meskipun agak kesal lantaran suasana santainya terusik, ia terpaksa meladeni pertanyaan istrinya.
“Kalau memang suatu hari nanti kita kena nasib sial, aksi kita selama ini terbongkar oleh polisi maupun masyarakat. Sudah tentu kita bakal dipenjara. Hukumannya tidak mungkin seumur hidup. Pasti hukuman mati.” Wibowo menjeda ucapannya sebentar. Ia sempat melihat istrinya mengangguk pelan. “Sampai hari ini saja kita sudah membunuh tiga belas orang. Itu hanya di kota ini. Belum dihitung saat kita tinggal di ibu kota.”
“Selain itu?” ucap Lusi, sembari menyeruput kopi dengan raut wajah santai.
“Selain itu apa maksudmu, Bu?” Wibowo mengernyitkan dahi.
“Selain hukuman mati. Apalagi nasib terburuknya.”
“Yang jelas, keluarga kita bakal terkena imbas buruknya. Mungkin lebih parah dari pada kita,” ungkap Wibowo. Nada suaranya terdengar berat. “Masyarakat bakal murka, membenci, mencaci maki, bahkan mengucilkan keluarga kita. Perlakuan terburuknya, masyarakat tidak segan-segan mengusir keluarga kita dari lingkungan masyarakat. Kamu bisa bayangkan hal itu terjadi pada Abdhi.”
Mendengar nama anak laki-lakinya terucap, gurat-gurat di wajah Lusi mengeras. Kedua bola matanya yang tadi berhias birunya air laut, seketika menghitam marah. Jantungnya berdegup kencang. Namun, hal itu hanya berlangsung sesaat. Beberapa menit kemudian semua kembali normal seperti sedia kali. Bahkan Lusi sempat tersenyum tipis yang luput dari pandangan mata Wibowo.
“Aku tidak mau dipenjara.” Ucapan Lusi terdengar lirih dan datar.
“Aku juga tidak mau, Bu. Orang normal mana yang pengen dikurung di penjara.” Wibowo membalas dengan melontarkan ejekan bernada kesal. Lusi malah tersenyum lebar. Seolah ia baru mendengar cerita lucu.
“Kita ini orang normal bukan, Pak?”
“Nggak usah ditanya itu, Bu. Orang normal nggak bakalan berburu daging manusia terus dijadikan bakso.” Wibowo menatap Lusi sampai alis tebalnya mengerut.
Sekali lagi, Lusi mengangguk-angguk. Seperti seorang siswa yang mengerti penjelasan gurunya.
Ucapan Lusi membuat Wibowo teringat bagaimana untuk pertama kalinya, ia dan Lusi mempunyai kesamaan mengerikan, yaitu sama-sama menyukai daging manusia.
Suatu malam, tepatnya lima bulan setelah Wibowo dan Lusi resmi menikah, mereka berdua kedatangan tamu tidak diundang, seorang pencuri. Yang berhasil menerobos masuk rumah kontrakan mereka.
Wibowo dan Lusi selalu waspada lantaran di kawasan mereka berdua tinggal lumayan rawan pencurian. Tidak peduli siang atau malam. Sialnya, malam itu Wibowo dan Lusi lupa mengunci jendela depan.
Lusi yang pertama kali mendengar suara tapak kaki menjejak lantai rumah. Firasatnya menyuruh untuk waspada. Ia lantas membangunkan Wibowo pelan-pelan sambil menutup mulutnya.
Ketika Wibowo terbangun dan mendapati isyarat dari Lusi, ia segera sadar. Mereka berdua lekas bertindak. Dengan gerakan tanpa suara, Wibowo dan Lusi bangkit dari kasur. Lusi mengambil pisau bekas memotong mangga yang masih tergeletak di meja kecil dekat tempat tidur. Sedangkan Wibowo memilih membawa palu dari bawah tempat tidur.
Dengan jantung berdegup kencang, Wibowo dan Lusi berjalan jinjit menuju ruang tamu. Semakin dekat, telinga mereka berdua semakin jelas menangkap suara benturan benda yang berasal dari dapur.
Benar saja, Wibowo dan Lusi melihat samar-samar sosok hitam berada di dapur dalam keadaan lampu mati. Ia memasukkan peralatan dapur ke dalam karung.
Wibowo menahan nafas dalam-dalam. Melangkah cepat menghampiri sosok hitam yang membelakangi mereka berdua.
Dalam sekali pukulan, palu di tangan Wibowo menghantam keras kepala sosok hitam itu. Secara bersamaan, Lusi menikam tubuh bagian belakang secara membabi-buta.
Ketika sosok hitam itu tumbang di lantai, Wibowo terus memukuli kepalanya. Sedangkan Lusi tanpa ampun menusuk perut dan dadanya. Mereka berdua sampai lupa, berapa lama melakukan keganasan itu. Wibowo dan Lusi baru berhenti saat mereka berdua merasakan lelah luar biasa.
Wibowo lantas menyalakan lampu. Seketika, mereka berdua tersentak kaget. Sosok hitam yang mengambil peralatan masak adalah tetangga mereka berdua. Saiful namanya. Dia penjual cilok dan cireng. Rumah kontrakannya hanya terpaut beberapa rumah saja.
Wujud Saiful sudah tidak berbentuk. Kepala bagian belakang hancur. Tubuhnya terkoyak oleh puluhan tusukan pisau. Darah memerahkan pakaian hitam Saiful.
Wibowo dan Lusi terdiam membeku, nafas ngos-ngosan. Pikiran mereka berdua masih buntu. Mengapa Saiful yang dikenal baik di komplek perumahan, tega mencuri. Lusi memang pernah mendengar omongan ibu-ibu komplek kalau peralatan masak mereka banyak yang hilang. Namun, sama sekali tidak menaruh kecurigaan kalau pelakunya adalah Saiful.
Awalnya, Lusi meminta Wibowo untuk melapor ke polisi. Menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Wibowo segera menolaknya karena bakal dijadikan tersangka dengan tuduhan main hakim sendiri sampai meninggal. Apalagi yang dicuri hanya peralatan dapur.
Cukup lama Wibowo dan Lusi berdebat; menentukan langkah dan membuat skenario terbaik. Terutama menyangkut Saiful. Mau diapakan jasad Saiful yang sudah tercabik-cabik seperti bangkai.
Ternyata, hal yang mengejutkan Wibowo malah menjadi solusinya.
Ketika Wibowo kembali dari gudang mengambil kantong plastik besar untuk membungkus jasad Saiful, kedua bola mata Wibowo menyaksikan mulut Lusi berlumuran darah mengunyah jantung Saiful. Wibowo kaget setengah mati. Ia hampir pingsan.
Wibowo mendekati Lusi yang tampak santai menelan jantung dan tidak terpengaruh oleh kehadiran Wibowo. Ia bertanya pada Lusi mengapa ia malah memakan jantung Saiful. Dengan tenang Lusi menceritakan masa lalunya sebagai pemakan manusia. Di saat itulah Wibowo semakin jatuh cinta pada Lusi.
Usai Lusi mengungkap sisi lain hidupnya yang gelap dan mengerikan, giliran Wibowo melakukan hal yang sama.
Wibowo memotong hati Saiful lantas memakannya, sambil bercerita pada Lusi saat dirinya menyantap otak Prastowo di jurang. Lusi tercengang kaget mendengarnya. Mereka berdua sampai menangis terharu lantaran punya latar belakang sama.
“Kita berdua memang ditakdirkan berjodoh, Pak. Sebagai pasangan pemakan manusia.” Begitu perkataan Lusi yang selalu diingat Wibowo.
Sejak saat itulah, kompas hidup Wibowo dan Lusi berubah. Mereka menjadi pemburu daging manusia di kota besar. Menjadikan daging manusia sebagai campuran membuat nugget, siomai, bakwan, tahu bakso, serta makanan lain yang selama ini Lusi jual. Mangsa mereka kebanyakan gelandangan yang hampir sekarat dihajar kejamnya ibu kota.
Wibowo tidak bakal lupa kenangan indah itu. Begitu pun dengan Lusi. Mereka berdua kerap berbagi cerita. Mengenang masa-masa penuh perjuangan.