Sudah satu jam lebih raut wajah Kompol Ruswandi dan Iptu Iksan mengerut kaku seperti patung kerbau di perempatan jalan. Bola mata mereka tidak berkedip memelototi berkas-berkas laporan. Mulut dua pejabat Polresta itu berdesis, komat-kamit membaca setiap baris kalimat. Sesekali disertai suara makian, terdengar pelan namun penuh penekanan sembari menggaruk-garukkan kepala. Saking seriusnya, batang rokok yang sudah menyala diabaikan begitu sampai ujungnya habis menjadi abu. Kopi hitam pesanan mereka sudah dingin.
Kompol Ruswandi dan Iptu Iksan sedang bergumul dengan dua laporan orang hilang. Di tangan Kompol Ruswandi tergenggam berkas laporan hilangnya Ustaz Jalal sedangkan Iptu Iksan mengurus hilangnya Marwan.
Kompol Ruswandi sudah empat kali bolak-balik membaca hasil keterangan dari seorang laki-laki penjual angkringan. Dia bersaksi malam itu melayani Ustaz Jalal yang mampir ke gerobak angkringannya. Ia mengatakan kalau Ustaz Jalal naik motor sendiri.
Ada detail menarik yang diutarakan oleh si penjual angkringan. Beberapa jam setelah Ustaz Jalal meninggalkan angkringan, ada sebuah mobil melaju pelan, searah dengan jalan yang diambil Ustaz Jalal. Mobil itu satu-satunya kendaraan yang melintas sampai angkringan tutup.
Meskipun jadi petunjuk penting, Kompol Ruswandi menjadi kesal lantaran si penjual angkringan itu tidak tahu jenis mobil yang melintas itu. Ia mengatakan dirinya belum pernah naik mobil dan jarang bersentuhan dengan benda bernama mobil. Dasar orang miskin. Umpat Kompol Ruswandi dalam hati.
Bagi Kompol Ruswandi, kesaksian tentang keberadaan mobil itu menjadi penting lantaran pada laporan hilangnya Ki Joyo. Mobil miliknya hilang. Termasuk di kasus Dokter Halim. Mobilnya tidak ada di rumah kontrakannya. Kompol Ruswandi meyakini mobil yang melintas di malam hilangnya Ustaz Jalal adalah milik Dokter Halim atau Ki Joyo untuk menculik Ustaz Jalal. Sialnya lagi, sepanjang jalan itu sama sekali tidak ada CCTV terpasang. Hanya ada pepohonan, hamparan sawah, serta sungai. Rumah pinggir jalan saja jarang. Kompol Ruswandi sampai merasa sedih dan kasihan dengan nasib Ustaz Jalal. Kamu mengambil jalan yang salah, Ustaz. Begitu ia berucap simpati dalam hati.
Kompol Ruswandi sampai membuat tabel keterhubungan antara Ustaz Jalal, Dokter Halim, dan Ki Joyo. Dalam tabel itu berisikan riwayat hidup korban dari kecil sampai sekarang; lingkaran pertemanan korban; latar belakang istri korban; lingkaran pertemanan istri korban; catatan kriminal korban; tempat yang sering dikunjungi korban; sampai makanan kesukaan korban; dan berbagai detail lain di luar barang bukti yang ditemukan di TKP.
Tabel yang dibuat Kompol Ruswandi belum banyak terisi. Kompol Ruswandi masih menunggu para anak buahnya mengumpulkan informasi terutama hubungan antara istri para korban.
Kompol Ruswandi belum memasukkan kasus hilangnya Parjo, si tukang tambal ban, dalam tabel keterhubungan. Ia masih mengabaikan laporan itu lantaran sudah setengah tahun lebih keluarga Parjo berhenti meneror dan mendatangi kantor polisi. Hal itu sedikit membuat Kompol Ruswandi merasa tenang. Dua setengah tahun orang miskin itu menghilang. Paling jadi TKI di luar negeri. Begitu kesimpulan Kompol Ruswandi setiap kali melihat kardus berisi berkas-berkas hilangnya Parjo.
Di sebelah Kompol Ruswandi, gurat-gurat wajah Iptu Iksan mengerut keras. Berkali-kali ia menggelengkan kepala. Iptu Iksan tampak sangat frustasi lantaran belum ada petunjuk kuat dalam kasus hilangnya Marwan. Keterangan dari istrinya Marwan hanya menunjukkan kalau hari itu Marwan pergi memancing. Namun ia tidak tahu tempatnya. Ia memang jarang menanyakan hobinya Marwan itu.
Beruntung anak perempuannya Marwan tahu. Ia memberikan keterangan kalau Marwan mempunyai empat tempat memancing favoritnya. Dua tempat merupakan area khusus pemancingan; satunya ada di sebuah jembatan sungai selatan kota; terakhir adalah waduk di utara kota. Polisi sudah menyusuri empat lokasi itu. Hasilnya nihil. Tidak ada jejak Marwan.
Dua area pemancingan yang ada CCTV malah tidak menunjukkan keberadaan Marwan di hari Marwan menghilang. Polisi mempersempit di dua tempat tersisa, jembatan dan waduk. Silanya, di sana hanya ada pepohonan lebat, tanpa CCTV. Beberapa orang yang sering mancing di dua tempat itu menjalani interogasi polisi, sayangnya mereka malah tidak mengenal Marwan. Saat polisi memperlihatkan foto Marwan, mereka malah berujar kalau wajah Marwan itu pasaran, banyak pemancing yang mirip wajah Marwan, silih berganti memancing di jembatan dan waduk.
“Si Marwan ini pasti hilang dimakan setan penghuni waduk,” ujar Iptu Iksan dengan suara serak berbalut putus asa. Mendengar itu, Kompol Ruswandi hanya menghela nafas panjang.
“Kalau memang itu faktanya, malah bagus, San. Kita tidak perlu susah-susah mencarinya lagi. Tinggal kasih tau ke keluarganya kalau Marwan jadi santapan setan waduk. Terus kita tutup kasusnya. Selesai.” Kompol Ruswandi mengambil rokok baru lantas menyalakannya.
“Bukan begitu maksudku, Pak. Aku hanya bingung. Sama sekali minim petunjuk.”
“Sama, San. Kasusnya Ustaz Jalal juga belum ada petunjuk kuat. Buntu.” Kompol Ruswandi menyesap rokok dalam-dalam lantas menghembuskannya perlahan. Ia menyodorkan rokok ke Iptu Iksan. Kali ini Iptu Iksan kurang berselera menghisap rokok. Pikirannya masih tertinggal di sekitar jembatan dan waduk.
Di tengah suasana penuh keputusasaan, seorang polisi berpangkat Bripka mengetuk pintu ruang kerja Kompol Ruswandi. Setelah dipersilahkan ia pun segera masuk.
“Ada apa?” tanya Kompol Ruswandi.
“Lapor, Pak Komisaris. Pak Deniawan sudah sampai di parkiran kantor.”
Seketika Kompol Ruswandi langsung berdiri dengan sikap tegap. Raut wajah yang sedari tadi lesu lantaran putus asa menjadi sumringah cerah.
“Sudah sampai rupanya,” seru Kompol Ruswandi.
“Benar, Pak.”
“Baik. Kita segera sambut beliau,” pinta Kompol Ruswandi.
“Siap, Pak.” Polisi berpangkat Bripka itu bergegas meninggalkan ruang kerja Kompol Ruswandi.
“Ayo kita temui Pak Deniawan,” ajak Kompol Ruswandi.
Iptu Iksan tampak acuh dan malas mendengar perintah atasannya itu.
“Anda saja, Pak. Malas ketemu orang sombong itu.” Balasan Iptu Iksan terdengar ketus dan gondok. Raut wajahnya tambah muram. “Aku mau rampungkan baca laporan si Marwan ini. Siapa tau ada petunjuk yang terlewat.” Kompol Ruswandi hanya menghela nafas.
“Ya, sudah kalau gitu.” Kompol Ruswandi lantas pergi meninggalkan Iptu Iksan bersama tumpukan berkas orang hilang.
***
Wibowo dan Lusi menggelengkan kepala disertai raut wajah dongkol dan marah sewaktu melihat pohon mangga di parkiran warung, dijejali oleh poster wajah Caleg, Capres, serta bendera partai. Wibowo sempat menghitung, ada tiga puluh poster berbeda tertempel di seluruh batang pohon mangga serta empat bendera dipasang serampangan. Itu baru satu pohon mangga. Di sepanjang jalan yang tumbuh banyak pohon besar, tidak luput dari korban kebrutalan menjelang pemilu.
“Kita copoti saja, Pak. Ngotori pemandangans aja,” keluh Lusi. Ia sampai geregetan.
“Percuma, Bu. Kalau kita copoti sekarang, besok pagi pasti ada lagi. Begitu terus. Malah kita yang jadi repot.” Wibowo tampak pasrah.
Lusi menghela nafas dalam-dalam. Gurat-gurat di wajah Lusi semakin mengeras tatkala satu persatu melihat berbagai muka manusia di poster. Rupa mereka hampir sama termasuk senyum palsu yang dipaksakan. Sialnya, Lusi tidak mengenal satu pun sosok di poster itu.
“Semoga cepat rampung pemilu tahun ini. Biar nggak ada lagi orang-orang gila yang buang-buang uang seperti ini,” seru Lusi. Suaranya terdengar melengking dan keras.
“Iya, Bu. Jangan sampai ada putaran kedua juga. Capek lihat debat-debat di tv yang nggak mutu. Janji-janjinya makin ngaco, nggak masuk akal.”
Beberapa bulan ini, Wibowo dan Lusi menyadari bagaimana dinamika menjelang pemilu di masyarakat. Pembeli di warung mereka sering mengoceh perihal pilihan politik, terutama Capres dan Cawapres. Dari pembicaraan berbobot hingga isinya sumpah serapah dan kemarahan.
Di beberapa kesempatan, warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo kedatangan orang yang menjadi Caleg. Ada yang Wibowo dan Lusi kenali lewat poster dan spanduk yang bertebaran di jalan. Melihat tampang Caleg yang sedang menikmati mie ayam bakso membuat Wibowo dan Lusi yakin, rupa di poster dan aslinya sangatlah berbanding terbalik. Malah, ada Caleg yang datang tanpa tersenyum atau menyapa Wibowo dan Lusi, padahal di poster senyumnya lebar sambil memeluk nenek-nenek miskin.
Siang ini, Wibowo dan Lusi kedatangan tiga orang dengan seragam partai. Satu perempuan dan dua laki-laki. Mereka masih muda. Pesanan mereka juga sama. Bakso jumbo.
Lusi berbisik pada Wibowo kalau si laki-laki yang pakai kacamata adalah Caleg. Wibowo malah belum percaya. Ia menganggap mereka bertiga hanya tim sukses saja. Mana mungkin wajah caleg semuda itu. Kayak bocah SMA. Begitu argumen Wibowo.
Ketika mereka selesai makan, saat hendak membayar si laki-laki berkacamata menyodorkan sebuah tas berwarna biru tua.
“Mohon maaf sebelumnya, Pak, Bu. Ini kami dari tim sukses Caleg Bapak Deniawan mau memberikan bingkisan sederhana ini. Isinya tentang profil Bapak Deniawan yang mencalonkan diri sebagai DPR.” Suara tim sukses laki-laki itu terdengar santun dan kalem. Disertai senyum lebar.
“Wah. Terimakasih banyak, Mas,” ucap Lusi dengan antusias. Dengan gegas Lusi menerima tas itu.
“Semoga Pak Deniawan lolos jadi DPR,” ujar Wibowo penuh semangat.
“Amin.” Tiga orang tim sukses itu menjawab serentak disertai senyum gembira. Usai mereka pergi Wibowo berbisik pada istrinya. “Benar kataku, kan, Bu. Mereka itu hanya tim sukses.” Lusi hanya nyengir. Ia meletakkan tas itu ke gudang di antara tumpukan tas serupa cuma warnanya saja berbeda. Lusi berencana membakarnya sewaktu pemilu selesai.
Keesokan paginya, sewaktu Wibowo dan Lusi baru sampai di warung, mereka dibuat kaget lantaran ada poster cukup besar yang menempel di pintu warung. Poster itu menampilkan wajah seorang Caleg. Raut wajah Wibowo dan Lusi memerah murka saat membaca membaca namanya. DENIAWAN ATMAJA. Di bawah namanya ada slogan tertulis singkat. MUDA MEMBAWA PERUBAHAN.
Dengan penuh kemarahan Wibowo dan Lusi segera mencopot poster itu. Mereka berdua lantas membakarnya di dapur warung.
“Keterlaluan, Pak. Ini keterlaluan. Caleg itu memang bajingan,” umpat Lusi. Nafasnya mendengus geram seperti kuda.
“Semoga saja kalah. Terus jadi gila,” timpal Wibowo. Kedua bola matanya menyala menatap poster yang terbakar.
“Lebih baik dia mati.”
***
Deniawan menyeruput teh manis dengan penuh kenikmatan. Ia selalu heran mengapa teh manis di kantin Polresta lebih cocok di lidahnya daripada bikinan istrinya sendiri. Bukan hanya teh manis, soto dan sambal bawang mentah membuat Deniawan ketagihan.
“Apa aku tinggal di Polresta saja ya, Pak. Biar tiap hari bisa makan soto sama minum teh manis,” kelakar Deniawan. Seketika Kompol Ruswandi tertawa mendengarnya.
“Waduh. Kalau Pak Deni tinggal di sini, terus siapa yang tinggal di rumah?” goda Kompol Ruswandi.
“Kalau Pak Rus mau. Silahkan. Sekalian nemenin istriku. Kasihan dia kesepian terus,” balas Deniawan. Serentak, mereka berdua terbahak-bahak. Suara tawa mereka memantul-mantul di dinding kantin Polresta.
“Sadis betul Pak Deniawan ini.” Kompol Ruswandi sampai menggelengkan kepala. Ia selalu kaget setiap kali Deniawan melontarkan guyonan. “Istriku saja juga kesepian aku tinggal terus.”
Deniawan terpingkal mendengar balasan Kompol Ruswandi. “Kasihan juga, ya, istri kita ini.”
“Sudah jadi resiko menikah sama laki-laki penting seperti kita ini.”
“Benar juga katamu, Pak Rus. Kita berdua ini memang ditakdirkan jadi laki-laki hebat,” ungkap Deniawan. Ada rasa bangga, sedikit sombong, dan gagah yang menyembul di hati Deniawan.
Kompol Ruswandi dan Deniawan terus melempar guyonan sambil menikmati soto. Mereka berdua sudah lama menjalin hubungan baik. Deniawan adalah pengusaha hotel. Ia punya beberapa hotel mewah.