“Boleh gabung, Mas?” tanya Arijo pada kumpulan Ojol yang sedang makan di angkringan.
“Silahkan, Mas. Silahkan,” balas Rudi. Ia melonggarkan tempat duduknya. Arijo pun segera duduk.
“Makasih, Mas.” Arijo melirik wajah Rudi yang cukup bersahabat.
“Siap.”
Lantaran sudah diserang rasa lapar sejak terakhir makan siang, Arijo lekas memesan teh manis anget; mengambil tiga bungkus nasi; dua bakwan goreng; serta satu kepala ayam.
Arijo makan dengan lahapnya. Rudi yang ada di sampingnya tersenyum lebar.
“Baru jadi Ojol ya, Mas?” tanya Rudi. Arijo sedikit kaget. Ia menjeda mengunyah lantas melirik ke arah Rudi.
“Kok tau, Mas?”
“Itu. Jaketmu masih baru. Smartphone-mu juga.”
Arijo tertawa kecil. “Iya, Mas. Aku masih baru.” Arijo lanjut mengunyah makanannya.
“Gimana rasanya jadi Ojol?” Rudi menyesap rokoknya. Kepulan asapnya berhamburan di sekitar lampu angkringan.
Arijo termenung sejenak. Ia sempat menengok ke arah jalan raya.
Malam semakin menggelap pekat. Kendaraan masih riuh berseliweran. Beberapa kali tajamnya lampu depan kendaraan menyilaukan matanya.
“Cukup berat juga, Mas. Muter-muter di jalan beneran capek. Pantatku sampai panas. Tanganku pegal semua.” Raut wajah Arijo yang lelah semakin tampak layu.
Rudi tersenyum tipis. “Aku dulu merasakan hal yang sama. Bahkan sampai sekarang. Masih terasa berat.” Rudi menghela nafas lantas menghembuskannya pelan. “Yah. Namanya juga bekerja.”
Arijo mengangguk pelan. “Mas sudah berapa lama jadi Ojol?”
“Kurang lebih lima tahun.”
“Lumayan lama juga, ya.”
“Iya, Mas,” balas Rudi.
Mereka berdua pun asyik ngobrol sambil menikmati suasana malam. Rudi juga membagi rokoknya. Arijo merasa senang berkenalan dengan Rudi.
Di tengah mengobrol, tiba-tiba smartphone Arijo berbunyi. Ada notifikasi masuk. Arijo segera memeriksanya.
“Mau jemput apa ambil pesanan makanan?” tanya Rudi.
“Jemput, Mas.” Arijo pun bergegas membayar makannya. Ia pun menghampiri Rudi untuk terakhir kali. “Aku duluan, ya, Mas.”
“Siap.”
“Makasih juga rokoknya.”
“Sama-sama, Mas.”
Arijo menjabat erat tangan Rudi. Ia lekas menyalakan motornya dan melaju menuju keramaian jalan.
Rudi terhenyak ketika Arijo sudah menghilang ditelan riuhnya malam. Ia belum menanyakan nama Arijo saking asyiknya ngobrol.
***
“Atas nama Pak Waluyo?” tanya Arjio kepada calon penumpang di hadapannya.
“Benar, Mas,” balas Wibowo. Ia mencoba menahan tawa ketika mendengar nama palsu itu. Ini sudah kesekian kalinya Wibowo menggunakan nama Waluyo. Sedangkan smartphone dan nomor miliknya Bagas, korban pertama Wibowo dan Lusi.
“Mohon maaf agak terlambat, Pak. Tadi baru makan di angkringan.”
“Nggak papa, Mas. Tenang saja. Aku nggak buru-buru, kok.” Wibowo menyunggingkan senyum. Arijo tampak senang dan tenang. Ia sempat takut kalau Wibowo marah.
Arijo lekas menyerahkan helm pada Wibowo. Ketika Wibowo mulai membonceng, Arijo melirik sekilas tas hitam cukup berat yang dibawa oleh Wibowo.
“Sudah, Pak?”
“Sudah, Mas,” balas Wibowo sambil membenarkan letak duduknya. “Jalannya sudah tahu, kan, Mas?”
Arijo melihat ke layar smartphone. Memperhatikan rute jalan ke tempat tujuan Wibowo. Lumayan jauh. Raut wajah Arijo tampak ragu. “Belum, Pak. Belum pernah lewati jalannya. Mohon maaf masih baru jadi Ojol.”