“Harga daging ayam, tepung terigu, sama beras naik lagi, Bu!” seru Wibowo usai melihat berita yang lagi trending di YouTube. Suaranya cukup keras. Lusi sedang mengambil nasi dari rice cooker sewaktu mendengar itu. Sampai ia menjeda, tidak jadi menuangkan nasi ke piring.
“Astaga. Naik lagi? Padahal awal bulan kemarin sudah naik, lho, Pak.” Lusi menggelengkan kepala sembari menghela nafas panjang. “Makin tercekik saja hidup rakyat kecil seperti kita ini.”
“Sudah ganti presiden tapi nggak ada perubahan harga pangan. Malah makin naik.”
“Kemarin harga cabai sama bawang sudah naik. Besok apa lagi? Bensin?”
Pertanyaan Lusi yang berlumur kegusaran serta kemarahan itu memantul-mantul di dinding rumah. Wibowo hanya terduduk lemas di sofa ruang tamu.
“Bu. Kira-kira toko langganan kita ikutan naik nggak, ya? Waktu awal bulan kemarin harganya masih sama.”
Lusi tampak ragu mendengar pertanyaan suaminya. “Semoga saja tidak, Pak. Dan jangan sampai ikut-ikutan.”
“Toko itu jadi harapan kita saat ini,” tutur Wibowo. Ia tampak resah setiap kali membaca berita kenaikan harga bahan pokok. Terutama bahan utama membuat mie ayam dan bakso.
“Besok pagi aku mau ke sana, Pak.”
Keesokan paginya, Lusi sudah berdiri tepat di depan toko bertuliskan Toko Mulya Abadi. Lusi sedikit terhenyak lantaran toko itu lenggang. Hanya ada dua pembeli. Ditambah Lusi jadi tiga. Tidak seperti biasanya yang sampai mengantri meski sudah berangkat pagi.
Perasaan Lusi pun mulai cemas. Yang dikhawatirkan Wibowo bakal kejadian. Dengan langkah berat Lusi berjalan masuk ke Toko Mulya Abadi.
“Mbak Lusi,” seru Astuti begitu melihat Lusi. Pemilik Toko Mulya Abadi itu menyambut pelanggan lamanya dengan raut sumringah cerah.
“Mbak Tuti,” balas Lusi sambil menyunggingkan senyum. Lusi sedikit meragu hendak mengungkapkan keresahan dirinya dan suaminya. Lantaran sudah terlanjur berhadapan dengan Astuti, ia pun terpaksa melakukannya. “Harga beras sama tepung terigu ikut naik, Mbak?”
Gurat wajah Astuti yang tadi cerah berubah mendung. “Maaf banget, Mbak Lusi. Aku terpaksa harus menaikkan,” jawab Astuti. Suaranya lirih dan berat. Mendengar balasan Astuti, tubuh Lusi jadi lemas lunglai. Lusi menghela nafas namun ia tahan supaya jangan sampai mengeluarkan bunyi desah.
“Begitu, ya, Mbak.” Lusi mengangguk pelan. “Mau gimana lagi, ya, Mbak. Kondisi pangan lagi nggak baik-baik saja.”
“Iya, Mbak Lusi. Sebenarnya, aku nggak mau menaikkan harga sejak awal bulan. Tapi, kenaikan yang kedua ini bikin aku bingung. Kalau tidak naik aku rugi besar. Kalau naik, kasihan juga pembeli sama pelanggan. Masak sebulan naik dua kali. Ini saja sudah mulai sepi.”
“Memang keputusan berat, ya, Mbak.” Lusi terdiam sejenak. Ia memperhatikan rasa frustasi terpancar dari mata Astuti. “Ya, sudah, Mbak. Aku beli beras sama tepung terigu seperti biasa. Masing-masing sepuluh kilo.”
“Baik, Mbak Lusi. Aku ambilkan dulu, ya.” Raut wajah Astuti terang kembali usai dikerumuni mendung.
Sambil menunggu Astuti mengambil karung beras dan tepung terigu, Lusi melihat bangunan toko bernama Sinar Sembako yang tutup. Anehnya hanya toko itu saja. Deretan toko di sepanjang jalan masih buka.
Lusi jarang berbelanja di Toko Sinar Sembako. Pernah dua kali itu pun terpaksa lantaran tokonya Astuti tutup.
Astuti muncul sambil memikul karung beras dan tepung terigu lantas meletakkan ke mobil Lusi. Meski tubuh Astuti kecil namun begitu enteng memikul karung dua puluh kilo. Seperti menenteng bantal saja.
“Mbak, Tuti. Toko itu kok tutup? Memangnya kenapa? Pindah atau lagi libur?”
Astuti melirik ke toko yang jadi tetangga dekatnya itu. “Nggak pindah kok, Mbak. Masih jualan.”
“Kok tutup?”
“Jadi gini, Mbak.” Astuti berucap dengan suara lirih sambil mendekati Lusi. Wajahnya tampak serius. “Kemarin itu, si Trisno, bawa kabur uang toko.”
“Astaga. Kok tega, sih.” Lusi tersentak kaget. Ia menengok sekilas Toko Sinar Sembako. “Yang diambil banyak?”
“Katanya sih, sepuluh juta, Mbak.”
“Lumayan juga itu. Terus, mengapa harus tutup tokonya? Bukanya pegawainya banyak, ya?”
“Nah, itu. Gara-gara ulah si Trisno, pemiliknya jadi nggak percaya sama semua pegawai. Denger-denger mau diurus sama keluarga sendiri. Nggak pakai pegawai dari luar.”
“Sampai segitunya?” Lusi mengerut wajahnya lantaran terheran-heran.
“Nah. Aku yakin, tutupnya toko karena pegawainya dah dipecat semua. Terus lagi cari anggota keluarga yang mau ngurus toko.”
“Terus si Trisno gimana? Dilaporkan polisi?”
Astuti menggelengkan kepala. “Nggak tau, Mbak. Orang-orang di sini juga penasaran sama nasib anak itu.”
Lusi menoleh sekali lagi ke Toko Sinar Sembako. Kali ini disertai senyum tipis.
Setelah membeli beras dan tepung terigu, Lusi menuju tempat penjual daging ayam dan sapi langganannya. Kepala Lusi tambah pusing tidak karuan lantaran harga ayam juga ikutan naik.
Sepanjang perjalanan pulang, yang dilakukan Lusi di dalam mobil hanya menggerutu disertai umpatan. “Kurang ajar. Semua harga naik.”
Lusi sampai luput mampir beli minuman es kelapa muda. Biasanya sehabis pulang dari pasar, ia dan suaminya memuaskan dahaga dengan es kelapa muda terkadang es cincau gula aren.
“Terus gimana kalau harga pada naik begini, Bu?” keluh Wibowo dengan wajah cemberut begitu mendengarkan penjelasan Lusi tentang kondisi harga di pasar. Wibowo yang sedang menggiling mie basah menjadi lemas. Tenaga serta semangatnya seketika perlahan memudar.
“Aku juga bingung, Pak.” Suara Lusi terlontar lirih. Ia terduduk lesu di kursi dekat Wibowo.
“Harga mie ayam sama bakso kita naikkan juga, Bu?”
“Jangan, Pak! Jangan.” Lusi membalas dengan tegas dan cepat. “Pertahankan harga yang sudah kita buat sejak pertama jualan. Nggak papa untung sedikit. Nanti kita siasati.”
“Siasati bagaimana, Bu?” Wibowo terlihat bingung. Keningnya mengerut.
“Ya, salah satunya kurangi porsi daging sapinya. Perbanyak pakai daging manusia saja. Rasanya juga sama enaknya. Konsekuensinya, kita tidak jual tahu bakso sama bakwan.”
“Masuk akal, Bu. Memang harus ada yang dikorbankan.” Wibowo mengangguk-angguk. Tampak memahami alasan yang diungkapkan istrinya.