21 RASA BAKSO PAK BOWO

tuhu
Chapter #20

19 - BAKSO RASA BU GAYATRI

“Tidak ada kejahatan yang sempurna.” Wibowo melontarkan kata-kata itu setelah menonton podcasts kriminal di YouTube. “Kamu percaya nggak, Bu? Sama ungkapan itu?”

Lusi termenung sejenak mendengar pernyataan suaminya. Ia masih ingat semasa masih tinggal di ibu kota, Wibowo pernah mengungkapkan perkataan yang sama. Waktu itu, mereka berdua baru saja menangkap daging buruan kesepuluh. Sekarang, ia akan mengulangi jawabannya. 

“Tentu saja aku percaya, Pak.” Lusi membalas dengan lugas dan tegas.

“Tapi. Kita berdua kok belum tertangkap, Bu? Memangnya kejahatan kita sempurna, ya?”

Lusi tertawa mendengar ucapan suaminya. Wibowo mengerutkan dahi. Ia menganggap pertanyaan darinya bukan hal lucu. 

“Bukan sempurna, Pak. Nasib kita saja yang mujur selama ini.”

“Masak, kita nggak pernah tertangkap karena mujur?” Wibowo tampak kesal. Ia menganggap jawaban istrinya hanya main-main saja. Padahal pertanyaannya sangat serius. 

“Memang,” balas Lusi. Singkat, lugas, tanpa keraguan sedikit pun. “Kita mujur karena hidup di negara ini, yang polisinya nggak becus nangkep pembunuh berantai. Kita mujur karena punya rencana yang matang untuk nangkep daging buruan. Kita mujur karena kita berdua solid, saling mendukung, tekun, sabar, dan pantang menyerah. Semua itu adalah keberuntungan yang kita miliki. Tanpa keberuntungan itu, kita tidak bakal hidup bebas sampai sekarang.”

Wibowo terperangah, tidak menyangka Lusi melontarkan jawaban seperti itu. Akalnya seperti tertampar. 

“Benar juga katamu, Bu.” Wibowo mengangguk-angguk. 

“Tapi ingat, Pak. Kemujuran kita pasti ada batasnya. Suatu saat pasti akan habis.”

“Terus, gimana kalau sudah habis?”

“Dulu aku sudah ngasih tau waktu kita liburan di pantai. Masih ingat, nggak?”

“Iya, aku masih ingat, Bu.” Jawaban yang terlontar dari mulut Wibowo terdengar lesu. “Dulu kamu pernah janji, jika perburuan kita terbongkar, kamu bakal bunuh diri pakai racun, terus mayatmu dibakar sampai habis. Kayak Adolf Hitler.”

Lusi menatap suaminya sambil tersenyum sumringah. “Itu rencanaku kalau nasib mujur kita sudah habis, Pak. Kalau kamu gimana? Sudah punya rencana?”

Wibowo menunduk muram. Seperti tanaman layu yang berhari-hari tidak dirawat.

“Masih belum, Bu.” Suara Wibowo terlontar lirih. 

Semenjak Lusi mengutarakan untuk bunuh diri, Wibowo masih dirundung bimbang. Satu sisi ia sangat mencintai istrinya dan ingin mati bersamanya. Namun, ia takut dengan cara yang dipilih Lusi. Minum racun terus jasadnya dibakar. Wibowo sampai nonton film tentang hari-hari terakhir Adolf Hitler berjudul Downfall. Wibowo merinding melihat detik-detik Adolf Hitler dan Eva Braun duduk berdampingan; keduanya menodongkan pistol; meneguk racun berbarengan; setelah itu saling memuntahkan butiran peluru; barulah tentara Nazi membakar tubuh mereka di halaman belakang dengan bensin.

Usai menonton film Downfall, yang terpikir oleh Wibowo ialah beruntung senjata api dilarang di negara ini. 

Wibowo masih disesaki rasa bimbang hendak mengambil keputusan. Meskipun logikanya merestui rencananya Lusi lantaran cukup masuk akal. Lebih baik mati di tangan sendiri daripada di tangan masyarakat dan pemerintah.

Kedua bola mata Lusi menangkap wajah gundah suaminya.

“Nggak papa, Pak. Nggak perlu dipaksakan juga. Tapi.” Lusi menjeda omongannya. Membuat Wibowo menatap serius. “Jangan lama-lama juga. Kamu harus putuskan. Mau seperti apa jalan akhir hidupmu. Karena kemujuran ada batasnya.”

Wibowo memegangi keningnya. Ucapan istrinya membuat pikirannya pening.

“Iya, Bu.”


***


Begitu sampai, Gayatri langsung menyandarkan sepedanya dekat sebuah mobil di parkiran warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo.

Raut wajahnya tampak ragu hendak masuk ke warung begitu melihat banyak motor terparkir ditambah beberapa mobil. 

“Apa aku balik saja, ya?” ucapnya lirih. Rasa malu membebani hati Gayatri sejak dari rumah. 

Begitu hendak mengambil sepedanya lagi, Gayatri mendengar perutnya melontarkan suara keroncongan cukup keras. Gayatri menghela nafas dalam-dalam.

Dengan mengubur rasa malunya, Gayatri pun berjalan menuju warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo.

“Mbak Lusi,” sapa Gayatri begitu ia melihat Lusi sedang menuangkan kuah di atas empat mangkok mie ayam bakso.

“Eh, Bu Tri,” seru Lusi dengan senyum mengembang. Gayatri senang melihat keramahan Lusi meskipun ia tampak lelah.

“Rame, ya, Mbak? Masih ada tempat duduk?” 

Lusi melirik ke seluruh ruangan yang ramai pembeli menikmati mie ayam dan bakso. 

“Masih ada, Bu Tri. Di meja nomor 11.” Lusi menunjuk meja di pojok kanan. “Pesan apa, Bu?”

Gayatri tampak meragu untuk berucap. Wajahnya sedikit tertunduk. Lusi tahu apa yang dirasakan Gayatri.

“Maaf, Mbak Lusi. Aku…”

“Tidak apa-apa, Bu. Tidak harus bayar hari ini. Kapan-kapan bisa.” Lusi memotong ucapan Gayatri.

Gayatri terhenyak. Raut wajahnya tampak senang dan lega. “Te… terimakasih, Mbak Lusi. Terimakasih banyak. Mohon maaf kalau ngutang lagi.” Ngasti sampai tergagap. 

“Iya. Tidak apa-apa, Bu. Pesennya kayak kemarin, ya?”

“Iya, Mbak Lusi.” Gayatri mengangguk pelan disertai senyum bercampur malu-malu. Ia pun berjalan menuju meja nomor sebelas. Perutnya semakin meronta hebat ketika mendengar pengunjung di sekelilingnya mengunyah mie serta bakso; sahut-sahutan membentuk sebuah irama harmoni. 

Untuk beberapa saat, Gayatri termangu menatap para pengunjung menyantap hidangannya. Mulut Gayatri sedikit terbuka. Ia sekuat tenaga menahan suara riuh di perutnya.

Begitu Lusi datang mengantarkan pesanan, raut wajah Gayatri berbinar cerah.

Lihat selengkapnya