Arvina masih rebahan di kamar tidurnya sambil memelototi layar smartphone. Ia tidak sadar kalau aktivitasnya itu sudah berlangsung dari sebelum sinar mentari menyembul dari ufuk timur hingga berada tepat di atas kamar kosnya.
Kedua mata Arvina serta jempol tangannya seperti lari maraton tidak berujung. Terus menari dengan lincah di atas layar.
Bolak-balik layar smartphone Arvina menampilkan video-video dari Tiktok, Instagram, dan YouTube. Berapa kali membaca baris-baris tulisan di Twitter dan Facebook.
Arvina mengabaikan perutnya yang merintih lapar serta badannya makin gerah.
“Duh. Kok belum ada video yang menarik, sih,” keluh Arvina. Raut cemberut menghiasi wajahnya.
Sejak kemarin, Arvina hendak mencari video inspirasi untuk konten review makanan. Di beberapa medsos, Arvina memang dikenal sebagai vlogger makanan. Pengikutnya sudah mencapai ratusan ribu. Di Tiktok malah tembus satu juta.
Konten Arvina selama ini langsung mendatangi tempat makan lantas memberikan ulasan jujur. Ia sudah mengitari hampir seluruh kota. Bahkan sampai luar negeri.
Minggu kemarin Arvina baru pulang dari luar negeri. Lidahnya mencicipi secara langsung rasanya Kimchi, Bibimbap, dan MiyeokGuk buatan asli tangan-tangan penduduk setempat. Menurut buku jurnal perjalanannya, akhir bulan ini Arvina akan menjejakkan kaki ke negara penghasil coklat mahal.
Lantaran sudah bosan dan tidak menemukan video review tempat makan yang cocok, Arvina beranjak dari tempat tidur. Badanya mulai merasakan pegal dan gerah. Dengan langkah lemas bercampur malas, Arvina menuju kamar mandi.
Usai mandi, Arvina menghubungi temannya bernama Eva. Ia mengajak Eva makan mie pedas langganan mereka.
Sesampainya di lokasi, Arvina dan Eva tampak heran lantaran tidak banyak pembeli.
“Kok mulia sepi, ya, Va?” bisik Arvina sembari membenarkan letak duduknya. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Banyak meja yang masih kosong.
“Kalah saing kali, sama Mie Setan yang baru buka minggu lalu,” balas Eva. Ia mengeluarkan smartphone lantas merekam beberapa detik; mengunggah ke medsos; dan diberi caption dah mulai sepi kalah sama Mie Setan.
“Bisa saja, Va. Emang di sana lebih murah, sih. Terus sambal-sambalnya beneran pedas. Aku saja masih ingat gimana rasa sambelnya. Terutama sambal bawang mentahnya. Wih, top banget deh pokoknya.”
“Kalau aku. Lebih suka sambal lombok ijo, Vin.” Eva menimpali.
“Va. Jangan keras-keras ngomongnya. Nggak enak sama karyawan di sini. Masak, kita makan di sini, malah muji-muji tempat lain.”
Eva menahan tawa dengan mengatupkan tangan ke mulutnya.
“Ha ha. Maaf. Tapi, Vin.” Eva memelankan suaranya selirih mungkin. “Mie Setan memang berkembang pesat. Banyak cabangnya. Di sini aja udah ada tiga. Gila, nggak?”
Arvina mengangguk mantap. “Di videoku yang review Mie Setan, banyak komen yang minta review lagi. Padahal aku dah review dua cabang.”
“Terus, rasanya gimana? Sama nggak di dua cabangnya? Aku baru coba satu.”
“Sama aja sih rasa mie dan sambalnya. Sama enaknya. Cuma, dekorasi tempatnya beda. Tiap cabang ada keunikan sendiri.”
“Bagus berarti konsep jualannya. Tiap cabang punya pengalaman berbeda. Nggak peduli makanan yang dijual sama.”
“Aku setuju, Va. Memang orang-orang sekarang itu nggak cuma cari makanan enak. Suasana tempat jadi pilihan juga.”
Arvina dan Eva segera menghentikan obrolan mereka tatkala seorang pelayan membawakan mie serta minuman pesanan mereka berdua.
Di tengah mereka berdua asyik menyantap mie, smartphone milik Eva berbunyi. Ada pesan notifikasi. Eva terpaksa membukanya. Raut wajahnya tampak serius.
“Pesan dari siapa, Va? Pacarmu?” Arvina penasaran. Eva menggeleng.
“Vin. Kamu pernah bikin review ke warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo?”
Arvina termenung sejenak. Ia mulai membongkar ingatan tentang beberapa warung mie ayam bakso yang pernah ia review.
“Belum pernah. Baru denger juga. Emang kenapa dengan warung mie ayam bakso itu? Viral?” tanya Arvia sembari menyeruput minuman milkshake.
“Nggak tau lagi viral apa tidak. Ini aku lihat postingan di Instagram. Ada artis yang rekomendasiin makan di warung Mie Ayam Bakso Pak Bowo. Katanya enak banget.”
Arvina disengat rasa penasaran. “Coba aku lihat, Va.” Eva memberikan smartphone miliknya. Arvia memelototi postingan foto mie ayam bakso. Ia juga membaca komentar-komentarnya. Seketika, raut muka Arvina menjadi gembira, cerah bagai senja pagi.
“Menarik nih, Va. Cocok buat konten review selanjutnya. Apalagi mie ayam bakso. Makanan favorit semua kalangan. Mantap, mantap.” Kedua bola mata Arvina berbinar-binar.
“Emang tempatnya di mana itu?”
“Bentar. Aku google dulu.” Masih dengan smartphone milik Eva, Arvina mencari tahu keberadaan Mie Ayam Bakso Pak Bowo. Tidak sampai lima detik, Arvina tampak kegirangan. “Ternyata, nggak terlalu jauh kok, Va. Ada di kota sebelah.”
Eva sedikit kaget. Ia seperti tidak percaya. “Serius nggak jauh?”
Arvina mengangguk mantap. Ia menyerahkan smartphone milik Eva. Setelah ikut melihat barulah ia percaya.
“Besok sabtu temenin buat konten, ya? Bisa nggak?”
Eva menatap tajam Arvina.
“Sabtu aku masih kerja, Vin. Inget, aku ini buruh pabrik bukan konten kreator. Apalagi influencer.” Eva menggelengkan kepala.
Raut wajah Arvina memuram kecewa mendengar jawaban Eva. Bibirnya sampai manyun.
“Berangkat sendiri lagi, deh.”
***
Sambil membuat minuman pesanan pengunjung, sesekali Wibowo melirik ke arah jendela.
Butiran hujan deras berjatuhan. Membasahi kendaraan pengunjung di parkiran. Wibowo heran melihat hujan datang tiba-tiba. Padahal, sejak kemarin sampai menjelang siang, begitu panas dan gerah.
Beberapa minggu ini, Wibowo merasakan cuaca lumayan kacau. Kadang, siang hari panasnya seperti terpanggang di dalam oven. Malamnya turun hujan deras. Temperatur menjadi dingin. Perubahan signifikan itu membuat orang-orang terkena dampak buruknya, menjadi rentan sakit, termasuk Wibowo.
Sejak kemarin Wibowo diserang batuk, pilek, serta demam. Hari ini, Wibowo harus memakai masker lantaran masih sakit. Ia tidak ingin menularkan ke istrinya. Jangan sampai satu rumah tumbang semua.
Derasnya hujan membuat warung tampak lenggang. Wibowo dan Lusi punya waktu untuk beristirahat.