Kedua mata Lusi masih lekat menatap sebuah batu nisan yang terukir sebuah nama, Inggar Hanarawati. Perempuan itu adalah ibu kandung Lusi.
Taburan bunga mawar, krisan, melati, dan kantil menghiasi kuburan Inggar Hanarawati. Semerbak aroma wangi bunga-bunga itu membuat Lusi yang duduk dekat batu nisan, sembab oleh derasnya air mata. Pipinya basah kuyup. Padahal Wibowo sudah dua kali mengusap lelehan air mata di kedua pipi istrinya.
Setiap kali Lusi berziarah ke makam ibunya, ia harus menghadapi kesedihan serta tumpukan rindu.
Lusi sangat mencintai Inggar Hanarawati. Bagi Lusi, ibunya bukan hanya sosok yang menghadirkan Lusi ke dunia. Ia adalah penyelamat hidup; sumber kasih sayang; panutan dalam bertingkah laku; menempa Lusi jadi perempuan cerdas dan mandiri; serta membentuk Lusi seperti sekarang ini.
Inggar Hanarawati mengajari Lusi memasak berbagai macam masakan sejak Lusi berumur enam tahun. Kehebatan memasak Inggar Hanarawati diwariskan pada Lusi. Inggar Hanarawati bekerja sebagai koki di berbagai restoran serta hotel mewah.
Dan sosok Inggar Hanarawati lah, yang membuat Lusi menjadi pemakan daging manusia. Mengajari Lusi cara mengolah daging manusia menjadi berbagai olahan makanan.
Inggar Hanarawati mengenalkan Lusi daging manusia ketika ia menginjak umur tujuh tahun. Tepat di hari ulang tahunnya.
Daging manusia pertama yang disajikan Inggar Hanarawati pada Lusi ialah daging ayahnya Lusi. Inggar Hanarawati mengolah daging suaminya menjadi sop, sate, gulai, tahu bakso, kerupuk, sampai bubur. Lusi sangat kegirangan waktu itu. Ia begitu lahap menyantap setiap makanan. Inggar Hanarawati menjadi senang lantaran Lusi mengapresiasi masakannya.
Inggar Hanarawati memusnahkan suaminya yang pengangguran lantaran tidak tahan dengan perubahan sifatnya. Karena ketagihan judi yang membuat banyak hutang; mencuri perhiasan Inggar Hanarawati; menjual hewan ternak tanpa izin; paling parah ialah selingkuh dengan seorang perempuan yang jadi sahabat Inggar Hanarawati.
Inggar Hanarawati membunuh dan memutilasi suaminya sambil ditonton oleh si kecil Lusi. Di sela-sela melakukan kengerian itu, Inggar Hanarawati berkata pada anaknya.
“Ayahmu sudah jadi orang jahat. Dia harus disembelih. Kayak kambing yang pernah nyeruduk kamu.”
“Iya, Ibu,” balas Lusi kecil dengan senyum manisnya.
Sukses menyajikan olahan daging suaminya ke Lusi, Inggar Hanarawati melanjutkan memasak daging perempuan selingkuhan suaminya. Lusi menyaksikan dengan seksama bagaimana proses ibunya memutilasi; menguliti dagingnya; hingga mengolahnya menjadi berbagai masakan. Setahun setelahnya, Inggar Hanarawati membawa pulang tubuh seorang laki-laki yang tidak dikenal Lusi.
Hampir setahun sekali, di hari ulang tahun Lusi, Inggar Hanarawati membuatkan masakan daging manusia untuk anaknya. Inggar Hanarawati berburu seorang diri. Ia baru berhenti mencari mangsa saat Lusi masuk kuliah. Penyebab utamanya lantaran kesehatan Inggar Hanarawati semakin memburuk oleh kanker.
Sebuah rahasia yang tersimpan rapat tentang Inggar Hanarawati ialah selain menderita penyakit kanker, Inggar Hanarawati mengidap skizofrenia. Ia berhasil menyembunyikan itu sampai tiada. Bahkan suaminya serta keluarga besar Inggar Hanarawati tidak tahu. Kecuali satu orang, yakni kakak kandung Inggar Hanarawati bernama Savitri.
Sejak menginjak remaja, Savitri kerap memergoki adiknya berperilaku aneh. Kerap berpakaian serba putih tanpa alasan; membuat gambar sadis dan menyeramkan; melukai binatang peliharaan bahkan sampai membunuhnya; serta perilaku lain yang berbeda dengan remaja pada umumnya.
Inggar Hanarawati pernah mengatakan pada Savitri kalau dirinya adalah perwujudan dari Tuhan “kecil” yang diutus oleh Tuhan “besar” untuk menyebarkan kedamaian. Setiap tengah malam, Inggar Hanarawati terbangun dari tidurnya untuk menerima wahyu yang dibisikkan padanya. Kelakuan ganjil Inggar Hanarawati membuat Savitri ketakutan.
Savitri menemukan buku diary Inggar Hanarawati yang dianggap sebagai kitab suci. Dalam buku itu bertuliskan ritual-ritual mengerikan untuk menjadi Tuhan, salah satunya dengan memakan otak dan mata manusia.
Beberapa kali Savitri membujuk ayah dan ibunya untuk memeriksakan Inggar Hanarawati ke psikiater, namun malah ditertawakan. Mereka sama sekali tidak percaya kalau Inggar Hanarawati terganggu jiwanya. Apalagi Inggar Hanarawati adalah anak kesayangan keluarga besar. Selain parasnya yang cantik, otaknya cerdas, serta pandai memasak. Bahkan, keuangan dari bisnis kedua orang tuanya dikelola oleh Inggar Hanarawati, meskipun umurnya baru tiga belas tahun.
Terlebih lagi, Inggar Hanarawati memang suka mendongeng dan pementasan drama. Ia kerap tampil di berbagai perlombaan.
Bagi orang tua mereka, perilaku aneh Inggar Hanarawati sebagai perwujudan anak muda yang gandrung menekuni bakatnya.
Di mata keluarga besar, Inggar Hanarawati adalah anugerah dan keajaiban. Berbeda dengan Savitri yang pemalu dan tersisih dari pandangan mata keluarga besar. Tidak ada suara pujian yang melekat pada Savitri.
Savitri tidak menyerah begitu saja meskipun diabaikan oleh kedua orang tuanya. Ia terus mengawasi kehidupan Inggar Hanarawati sampai menikah hingga mempunyai dua anak perempuan. Lusi dan Yanti.
Saat hubungan Inggar Hanarawati dengan suaminya memburuk, Savitri bersikeras mengamankan Lusi dan Yanti dari jangkauan Inggar Hanarawati.
Savitri pernah melihat dengan mata kepalanya saat Inggar Hanarawati menghajar wajah suaminya sampai babak belur dengan talenan stainless steel, tepat di depan Lusi dan Yanti. Saat itu juga, Savitri tidak melihat sosok Inggar Hanarawati sebagai seorang ibu, melainkan monster berbahaya.
Usaha Savitri memisahkan Inggar Hanarawati dari kedua anaknya cukup berhasil. Namun, ia hanya berhasil mengambil Yanti. Lusi menonak pisah dengan ibunya.
Savitri membawa Yanti pergi ke kota lain. Ia berusaha keras menjauhkan Yanti. Menyelamatkan Yanti dari kegilaan Inggar Hanarawati. Savitri membesarkan Yanti seorang diri. Tidak ada campur tangan orang tuanya atau Inggar Hanarawati.
Bertahun-tahun lamanya Savitri dan Yanti hidup berdua. Meskipun kehidupan mereka sederhana, Savitri merasa bahagia.
Diam-diam, Savitri memperhatikan tumbuh kembang Lusi dari jauh. Memata-matainya ketika berada di sekolah. Perlahan ia menyadari kalau Lusi mewarisi kecerdasan ibunya. Lusi selalu juara satu dari SD sampai SMA. Namanya sering dipanggil oleh kepala sekolah sebagai anak berprestasi setiap kali upacara. Wajah Lusi pernah terpampang di koran lokal setelah memenangkan olimpiade matematika dan kimia tingkat nasional.
Dengan mudahnya Lusi keterima di berbagai kampus negeri terbaik. Bahkan dapat beasiswa ke luar negeri. Namun, ia memilih kuliah di dalam negeri supaya bisa merawat Inggar Hanarawati.
Savitri senang melihat kehidupan Lusi. Ia pun merasa lega; keponakannya tumbuh menjadi anak normal pada umumnya. Diam-diam ia bangga dengan prestasi Lusi.
Berbeda dengan Lusi, Yanti adalah sosok berkebalikan. Ia benci sekolah. Suka membolos. Lebih sering tinggal kelas. Buku-buku yang dibelikan Savitri untuknya tidak pernah disentuh.
Yanti lebih senang bekerja dan apapun yang berhubungan untuk menghasilkan banyak uang. Ia sering membantu Savitri jualan baju di pasar; menjual baju-baju bekas; membuat mainan sendiri lantas dijual; membuka angkringan; bahkan jadi calo konser dan bola.
Savitri tidak mempermasalahkan pilihan Yanti saat ia menolak melanjutkan SMA. Baginya, ia merasa senang melihat Yanti mencintai pilihan hidupnya.
Perlahan-lahan, Savitri mulai memperbaiki hubungan dengan adiknya saat Inggar Hanarawati sakit parah lantaran kanker.
Agak sulit bagi Lusi dan Yanti menjadi adik kakak seperti dulu. Setelah cukup lama terpisah jarak dan komunikasi.
Tahun-tahun setelahnya, hubungan dua keluarga itu sulit bersatu kembali. Yanti tidak pernah menjenguk ibunya. Begitupun dengan Lusi. Ia menganggap Savitri dan Yanti adalah orang lain.
Savitri merasa sedih dengan kenyataan pahit itu. Namun, ia masih bersikukuh keputusannya menjauhkan Yanti dari Inggar Hanarawati adalah benar.
Saat pemakaman Inggar Hanarawati, Savitri datang. Namun, tidak untuk Yanti. Ia lebih memilih berjualan kaos bola dekat stadion.
Savitri menjadi saksi ketika Lusi menikah dengan Yanuar. Ia turut bahagia. Apalagi saat menyaksikan Abdhi terlahir di dunia. Ia juga menyaksikan masa-masa berat harus dihadapi Lusi di pengadilan untuk memperebutkan hak asuh Abdhi. Savitri berada di pihak Lusi. Namun, pemandangan menyakitkan harus Savitri telan ketika Yanti dengan terang-terangan melawan Lusi dan memfitnahnya. Membuat Lusi kehilangan anak kandungnya.
Untuk pertama kalinya, Savitri sangat membenci Yanti yang telah ia besarkan. Terlebih, saat tahu kalau keputusan Yanti dilakukan atas dasar uang. Savitri sampai bersimpuh di hadapan Lusi, memohon maaf atas kelakuan Yanti.
Setelah Lusi kalah telak di persidangan, Savitri tidak pernah bertemu Lusi lagi lantaran ia memutuskan bekerja di ibu kota.
Savitri juga putus hubungan dengan Yanti. Sekarang, di rumahnya, Savitri yang rambutnya sudah memutih, hidup seorang diri. Ia memikul rasa malu dan penyesalan.
Ketika Lusi kembali ke kota kelahirannya membangun bisnis mie ayam bakso dengan Wibowo, Savitri sama sekali tidak tahu. Aroma lezat mie ayam bakso yang dipuji banyak orang belum sampai ke hidungnya. Kenyal dan enaknya bulatan bakso terasa jauh dari lidahnya.
Namun, siang ini, sebuah keajaiban terjadi, yang bakal mengubah takdir Savitri.
***
Savitri baru mencuci piring tatkala kedua telinganya sayup-sayup mendengar deru mobil yang perlahan berhenti di halaman rumahnya. Ia terhenyak kaget lantaran tidak pernah kedatangan tamu membawa mobil. Degup jantungnya deras mengencang. Pikirannya dijejali berbagai prasangka dan kecemasan.
“Apa mungkin Pak Kepala Desa mau bagi-bagi Bansos?” ucap Savitri. Suaranya lirih meragu. Belum lama ini, ia mendengar berita di televisi kalau pemerintah lagi menyalurkan Bansos ke masyarakat. Di desa sebelah malah sudah turun dua hari kemarin. Savitri berpikir pasti giliran desa ini. Seketika, perasaan tegang menjadi senang.
Dengan gegas serta hati gembira, Savitri menyelesaikan mencuci piring; lantas menuju kamar tidur; merapikan pakaian; dan berdandan sepantasnya. Langkah kakinya penuh percaya diri tatkala keluar kamar.
Ketika mendengar pintu rumah diketuk, Savitri berdebar-debar. Senyum indah di wajahnya sudah ia persiapkan untuk menyambut Pak Kepala Desa.
“Tunggu sebentar,” balas Savitri dengan nada girang. Kedua kaki Savitri terasa enteng melangkah.
Begitu tangan Savitri menarik handle pintu, kedua bola matanya menatap senyum manis seorang perempuan. Dialah Lusi. Savitri tercengang kaget mendapati keponakannya berdiri anggun di hadapannya. Seketika, tubuh Savitri mematung gemetaran. Senyum yang sudah dipersiapkan Savitri hilang memudar, berganti bingung berpadu tegang.
Sosok Pak Kepala Desa membawa karung Bansos yang Savitri bayangkan berganti seorang perempuan bermata tajam memegang tas coklat dan rantang.
Savitri sampai melongo menatap wujud Lusi. Bola matanya bergulir dari atas ke bawah, menangkap setiap detail sosok Lusi.