Juli, 2017.
Aku, manusia lemah yang selalu memanipulasi diri. Bersembunyi dibalik kata ‘baik-baik saja’. Lalu, duka lara dan masalah menyapa bersamaan. Pun dengan rasa yang bercampur aduk dan tak ku pahami, membuatku kadang keliru. Hingga akhirnya menyadarkanku, mengajarkanku untuk lebih terbuka dan mampu bersuara. Menjadikanku lebih berani daripada sekadar bersembunyi.
Aku dianugerahi nama nan sangat indah, Nhaina Kusuma. Menurut studi numerologi, nama ‘Nhaina’ mempunyai kepribadian dengan tingkat spiritual tinggi, intuitif, tercerahkan, idealis, dan pemimpi. Nyatanya dari sekian banyak kepribadian, hanya satu yang benar-benar mewakilkan diriku. Aku, sang pemimpi.
Orang-orang disekitarku menganggap bahwa menjadi sosok sepertiku sangatlah menyenangkan. Menjadi gadis baik nan pintar, dikenal banyak orang bahkan guru-guru sekalipun. Mereka beranggapan bahwa aku mendapatkan segalanya, kasih sayang dan kebahagiaan. Padahal, itu semua hanya asumsi mereka semata. Mereka tak melihat bagaimana caraku melakukan segalanya. Sebab, tak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan manusia hanya sering memandang ke arah keberhasilan atau kesuksesan orang lain. Tanpa ingin melihat ataupun tahu pada jalan mana yang sebenarnya ditempuh untuk mendapatkannya.
Di dalam ruangan dengan luas 9 meter persegi , kamar seorang gadis yang tak terlalu rapi. Bahkan dipenuhi dengan kertas coretan yang berisi tulisan harapan dan impian, tertempel pada sebagian dinding. Ditambah dengan buku-buku berserakan yang enggan berbaris rapi di raknya. Meskipun berulangkali dibereskan, ruangan ini tak akan pernah terlihat seperti kamar anak gadis. Aku sedang duduk sendiri di atas tempat tidurku. Bersandar pada dinding kusam dengan sebuah jendela yang kecil. Seolah terhipnotis, aku hanya memeluk lututku dan memandang jauh ke luar, menatap bintang-bintang. Memikirkan perkara yang sedari tadi mengacaukan diriku.
Sebuah radio kecil yang berumur, duduk manis di atas rak buku. Meski demikian, suaranya masih terdengar jelas di telinga. Hebatnya, walaupun rumahku jauh sekali dari pusat kota, Karawang. Benda sakti ini bahkan mampu menangkap sinyal sebuah stasiun radio dari ibu kota, Jakarta.
Memasuki jam malam, hampir semua lagu-lagu yang di-request para pendengar merupakan lagu galau. Membuatku semakin terhanyut dalam suasana malam dengan dingin yang mencekam. Aku senang mendengarkan radio, bahkan hampir 24 jam radio itu menyala. Bukan hanya satu stasiun semata, melainkan banyak sekali. Karenanya, aku hanya tersenyum tipis saat orang lain terheran denganku yang hampir tahu segala jenis lagu.
“Aina, mau kan kalo tinggal bareng Kak Murni?” pinta wanita paruh baya, Ibuku. Kalimat yang terlontar dengan mudah dari mulutnya walaupun sedang berada di hadapan meja makan, petang tadi.
Sebuah pertanyaan yang sudah dipastikan jawabannya. Sebab, meskipun enggan tapi aku harus memenuhi permintaan itu. Namun, pikiran dan hati ini masih memperdebatkannya. Mungkin, aku akan susah tidur malam ini. Padahal esoknya, aku harus berkemas.
Nyatanya, waktu tak akan pernah berhenti berjalan. Dengan lengan kurus, ku tutup jendela kamar. Lalu, merebahkan badan dan membalut diri dengan selimut tipis bercorak batik. Susah payah aku mencoba. Namun, mata ini enggan terpejam. Malahan, penglihatan dan pendengaran ini semakin tajam. Dentum suara jam dinding yang berputar itu terdengar kian jelas, jarumnya menunjukkan pukul 12.45 malam.
Sedikit malas, akhirnya ku raih beberapa buku bacaan yang memuat pelajaran sekolah. Mungkin dengan membacanya akan membuatku lebih cepat untuk tidur.
Entah sejak kapan aku terlelap tidur. Namun perkara yang pasti, aku terbangun pukul 04.30 pagi.
Dengan pandangan yang masih kabur, aku memaksa untuk bergegas membersihkan diri, mengambil wudhu dan melaksanakan sembahyang. Rasanya, aku ingin kembali memejamkan mata. Namun, aku harus mengemas barang-barangku.
Aku memilih diam dan memenuhi permintaan ibuku, tanpa ada sanggahan atau bahkan penolakan. Bertepatan denganku yang baru saja menginjak kelas 11 SMA, aku harus ikut menetap dengan saudara perempuanku, Kak Murni. Sebab, ia baru saja melahirkan seminggu yang lalu. Sedangkan suaminya, kakak iparku bekerja di Jakarta.
Aku hanya bisa memasang senyum tipis di wajahku, tanpa peduli bagaimana sebenarnya perasaanku.
Setelah rampung mengemasi barang-barang, hari mulai cukup terang. Mentari tak lagi malu-malu untuk menyapa dan aku akan segera berpindah tempat tinggal. Jelas sekali rasa sedih akan menyelimuti diri.
“Bu, Aina berangkat ya.” Ucapku dengan sedikit lesu, berpamitan pada ibuku.