Bumi telah tua, perubahan cuaca dan iklim nampak jelas. Bahkan hujan kadang keliru kapan seharusnya ia jatuh ke tanah. Namun, setidaknya bumi akan bertahan sampai beberapa generasi setelahku, mungkin puluhan. Paling tidak, biarlah ia menjadi saksi bisu akan perjalanan hidupku.
Memasuki bulan Juli, masa dimana sekolah akan dimulai kembali setelah libur panjang, serta banyak wajah baru yang akan dipandang. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), atau mungkin dulu dikenal sebagai Masa Orientasi Sekolah (MOS), telah usai seminggu yang lalu. Secara sah, aku akan menjadi kakak kelas.
Mentari menyapa dengan sedikit malu, sinarnya tak dapat bersua dengan hamparan tanah atau pepohonan. Sebab, awan kelabu itu masih berkeliaran bebas di atas langit. Dengan tas gendongku yang pepat berisi buku-buku, aku melangkah, lebih tepatnya sedikit melompat-lompat kegirangan. Meski telah lama bersemedi di lemari, seragam putih-abu ini nampaknya masih wangi.
Butuh waktu sepuluh menit berjalan untuk bisa sampai ke tepian jalan raya, bertemu dengan angkutan umum.
Tiba-tiba, gemercik air dari genangan hujan kemarin malam yang dilalui sepeda motor membasahi sepatuku.
“Heii!!!” teriakku dengan kencang.
Pengendara itu berhenti sejenak, memalingkan wajahnya ke arahku. Lalu, tanpa peduli ia langsung melanjutkan berkendara. Sialnya, aku tak dapat mengenalinya, kepalanya itu tertutup rapat oleh helm. Bahkan ia tak mampu membuka kaca helm itu meski untuk meminta maaf. Meski begitu, dari pakaian yang ia kenakan, aku mengetahui bahwa ia juga seorang pelajar.
Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri dan kembali berjalan.
Setibanya di tepian jalan raya, aku mencoba menghentikan salah satu angkot. Tetapi, dari sekian banyak angkot yang melintas itu telah terisi penuh oleh penumpang. Sedangkan, hari kian siang.
“Ahrgghh, ini sudah pukul 07.00, mati aku kalau sampai terlambat di hari pertama.” Keluhku.
Tiba-tiba seorang lelaki yang mengendarai sepeda motor dan kepalanya tertutup helm itu menepi, menghampiriku. Perlahan, ia membuka helmnya.
“Loh, Theo?” aku terheran.
“Ayo, naik. Udah siang nih, nanti lo telat gimana?” jawab lelaki tampan yang berkulit putih bersih.
“Ih, gak usah. Aku naik angkot aja. Lagian kan kita gak satu sekolah.”
“Justru itu, gue ngelewat sekolah lo sebelum sampe ke sekolah gue. Jadi, sekalian aja.”
Aku terdiam sejenak. Lalu, mengangguk dengan malu. Dengan sedikit kaku, aku menaiki motor itu.
“Pegangan ya,” pinta Theo.
“Jangan ngebut-ngebut.”
“Enggak, paling cepet dikit. Biar lo juga gak telat.”
Motor itu melaju, melesat dengan cepat. Aku terhentak kaget, dengan refleks aku berpegang, memegang erat tas gendongnya.