14 Mei 1998. Sebuah hari yang dimana banyak terlihat hal mengerikan terjadi begitu nyata. Keadaan sangat mencekam. Dari layar televisi memperlihatkan liputan yang begitu sangat parah dari deretan pertokoan, perkantoran dan bangunan banyak terbakar. Terparah pada Yogya Plaza Klender yang merupakan pusat perbelanjaan cukup lengkap menjadi salah satu amukan dan penjarahan.
Orang-orang berhamburan berlari mencari tempat perlindungan. Asap tebal kehitaman dengan percikan api menyambar tiap sisi jalan semakin membuat situasi yang chaos. Sulit untuk menghentikan ketika para penjarah merampas barang-barang dari toko-toko begitu saja.
Ibu yang tinggal dengan seorang anak gadis disebuah rumah sederhana daerah Jakarta ini hanya bisa berdiam dirumah setelah pemberitahuan akan ada aksi demo besar-besaran oleh mahasiswa. Suaminya tinggal di Lampung sembari merawat perkebunan sayur miliknya. Sanirah hanya memperbolehkan memantau keadaan dari sekilas berita dalam tayangan televisi. Keadaan mencengkam ini sungguh membuatnya waspada.
Sudah seminggu semenjak kejadian kerusuhan yang banyak memakan korban Sanirah berdiam diri dirumah bersama seorang anak gadisnya. Mereka sudah lebih tiga tahun tinggal di Jakarta dengan usaha warung makan, karena aksi demo yang mencekam hari itu Sanirah memutuskan tutup lebih awal untuk hanya berlindung dirumah hingga saat ini.
"Matikan saja tv-nya!" Seorang wanita dengan pakaian kebaya kutubaru berwarna hijau gelap bergerak menekan tombol off yang masih menampilkan tayangan keadaan diluar saat ini. "Makin diliatin kowe malah wedi sendiri."[1]
"Lah bu, piye kalo kita ora iso metu-metu?" [2] Anak perempuan yang sejak tadi memperhatikan berita di layar televisi berbalik memperhatikan sang ibu berjalan kearah meja makan.
Sementara diluar lingkungan tempat tinggal mereka sedang di jaga ketat oleh para berimop. Walaupun masih terbilang tempat yang aman namun penjagaan perlu di kerahkan sejak sehari lalu. Bermula dari penembakan para mahasiswa Trisaksi akibat melakukan aksi demonstrasi atas tuntutan krisis ekonomi yang semakin memburuk.
"Nek wes lewih rong minggu ra metu, nanti palingan bapakmu minta untuk samperin de'e." [3] jelas Sanirah sembari membuka lemari persedian makanan yang sebetulnya semakin menipis mungkin hanya cukup seminggu kedepan. Ia menghela napas panjang.
"Kenapa, bu?"
Sanirah duduk dikusi kayu tepat depan televisi tabung yang gambarnya tidak begitu jelas. Ia kembali menyalakan, tayangan breaking news langsung tersiarkan.