"Bagaimana pun ayah juga kasihan sama mereka semua. Sejujurnya ayah nggak tega memecat mereka semua. Ibu tahu? Kemarin ayah suruh Pak Ruslan dan beberapa orang untuk memecat ratusan karyawan dan menutup gerai di Medan. Ayah nggak bisa bayangkan kalau gerai pusat di Jakarta akan kita tutup."
Suasana makan malam kali ini tidak seperti biasanya, ayah dan ibu tengah dalam diskusi hebat. Ini semua dikarenakan karena masuknya produk impor yang membuat produk tekstil ayah sulit bersaing. Hal ini membuat ayah harus menutup beberapa cabangnya di kota-kota di Indonesia.
"Kalau tidak kita tutup, beban anggaran makin membesar dan hutang juga ikut membesar yah. Pikirkan itu." ujar ibu.
Tidak terbayangkan oleh gue sebelumnya akan kondisi ini. Padahal dulu pas di kantor, gue ngobrol-ngobrol sama orang direksi, salah satunya Pak Rudi. Ia bilang kalau pabrik tekstil kita bakal kuat diterjang badai produk impor. Namun kenyataannya tak sama.
Gue kemarin sempat ikut menemani Pak Ruslan, salah satu orang direksi dan beberapa orang untuk terbang ke Medan hanya untuk memutuskan hubungan kerja kurang lebih seratus epuluh orang karyawan. Gue masih ingat, rasanya sedih karena sebagian orang benar-benar menggantungkan hidupnya bekerja di sini.
"Menurutmu bagaimana Bim? Secara kamu kan sudah paham betul masalah kantor." tanya ayah.
"Usulan ibu menurut Bimo ada benarnya juga yah, kemarin Bimo lihat anggaran pabrik kita sudah membengkak, masa kita mau berhutang lagi yah? Bimo takut krisis ini bakalan panjang."
Ayah hanya terdiam mendengar analisis sok tahu gue. Gue yang sudah tiga tahun menemani ayah bekerja di kantor, mau nggak mau gue harus bisa ikut dalam membantu menuntaskan problem seperti ini.
"Kita berdoa saja nak, semoga krisis ini tidak panjang. Semoga kita masih bertahan dalam gejolak ekonomi ini." balas ibu.