254

Hujan Luka
Chapter #1

Satu

Sudah tiga bulan lebih ia terbaring di ruangan minimalis berdominan putih tersebut. Bau menyengat yang terkandung dari zat-zat kimia tercium di setiap ujung ruangan ini, menyatu penuh bersama udara. Tidak ada yang mengasyikan dari hari-hari yang ia jalani. Tidak ada lagi meeting, tidak ada lagi dokumen-dokumen penting yang minta segera ditandatangani olehnya, tidak ada lagi pulang dini hari karena singgah sebentar untuk clubbing setelah lembur bekerja.

Tidak ada lagi.

Sekarang, yang ada cuman menatap tv ruangan ini atau dinding yang tak ada hiasan apa-apa, atau melihat ke arah jendela yang menampilkan taman dengan air mancur, atau sekedar mendengarkan tetesan air dari botol infus, kadang-kadang juga mendengarkan suara sedikit bising dari alat pasien monitor, lalu yang terakhir cuman menatap perawat dan dokter yang lalu lalang di dalam ruangan ini setiap saat sampai-sampai dia sendiri sudah bosan dengan keadaan ini.

Pikirannya melayang. Bukan pada tubuhnya yang kini tak lagi berguna, tapi pada,

Kenapa saya harus tetap hidup padahal hampir mati seperti ini?

Lalu pikiran-pikiran lain mulai menyusup ke otaknya.

"Eh, kok kamu mau ke ruangan itu?"

"Aku di suruh sama dokter Syifa, Kak."

"Dokter Syifa? Emang kamu tahu di ruangan Mawar-B7 itu siapa?"

"Iya, Kak Alma. Bapak Zulkarnain Gibran, kan?"

Iris coklat kayu yang hampir tenggelam bersama mimpi kembali terjaga setelah mendengar suara-suara dari balik ruangan yang ia tempati. Apalagi mendengar namanya disebut, tentu saja membuatnya memasang kuping diam-diam untuk mendengar percakapan tadi, entah siapa yang berbicara itu.

Hening kembali. Ia pikir sudah sampai situ pembicaraan dua orang yang tidak diketahui rupanya, tapi ternyata tak berselang lama terdengar percakapan lagi.

"Terus dokter Syifa di mana?"

Syifa? Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah dokter yang disebut namanya itu akan bertugas mengontrolnya? Ah, tapi dokter yang sebelumnya kan laki-laki, dokter baru kah?"

Ia menggeleng. Merasa aneh dengan dirinya yang tiba-tiba memikirkan hal yang tidak jelas. Oh ayolah, Zulkarnain Gibran seumur hidupnya tak pernah memikirkan hal yang tidak berguna sekalipun, ah mungkin cuman saat beberapa tahun lalu, iya, saat kejadian itu.

"Dokter Syifa lagi membuat acara sama anak-anak di PICU."

"Hah? Acara? Acara apa coba? Terus apa dokter Syifa nggak takut bakal dimarahi sama dokter Fahri?"

"Eh ... katanya sih dokter Fahri udah izinin."

"Serius?!" Ia mendengar nada tak percaya dari sang pemilik suara. Dalam hati Zulkarnain berkata, hah, emang kenapa kalau serius? Emang kenapa kalau tidak serius?

Lagi. Dia memikirkan hal yang tidak ada kaitan dengan dirinya. Hah, buang-buang waktu saja! Lepas menggeleng, ia pun memejamkan mata, tak peduli lagi dengan omongan dua orang itu, walaupun telinganya sedikit menangkap beberapa kata yang terlontarkan. 

Lihat selengkapnya