"Sok tahu kamu!"
Zulkarnain langsung kesal dan bingung saat pertanyaan itu ia dapatkan dari seorang dokter bermata hazel yang sedang duduk di sampingnya ini. Kesal karena kenapa pertanyaannya tepat sekali, dan bingung karena berpikir darimana orang ini tahu tentang hal itu.
"Tapi bener kan, Pak?"
Zulkarnain tidak langsung menjawab. Ia lebih memilih mengalihkan tatapannya ke kiri, menjatuhkan pandang pada taman rumah sakit Wijaya lewat kaca jendela.
"Kalau iya saya membenci-Nya, emang kenapa?" Ia tertawa hambar, "Lagian saya memang tidak lagi bertuhan sejak lama."
Seharusnya Zulkarnain tidak mengatakan tentang dia dan Tuhan kepada orang lain. Tapi entah kenapa dokter bermata hazel dan berhijab itu seperti mempunyai kekuatan yang mampu membuat seorang Zulkarnain tak pikir panjang untuk mengatakan tentang dirinya. Semua tentang dirinya.
"Sejak kapan?"
"Apanya?" Zulkarnain menatap Syifa bingung.
"Sejak kapan Pak Zulkarnain membenci Allah?"
Zulkarnain mendengkus, lalu ia sedikit menerawang, mengingat-ingat lagi kapan kepercayaannya ia berikan pada Tuhan. Ini yang paling tidak ia sukai, ialah mengetahui bahwa dulu dirinya pernah bertuhan. "Mungkin sekitar dua puluh tahun yang lalu?" Ia lalu kembali menatap Syifa. Berharap bahwa Syifa merasa aneh padanya, kemudian segera pergi dari sini. Jadi dia tidak ada lagi urusan apa-apa dengan seseorang.
Tapi ternyata tidak. Lagi-lagi yang terjadi malah hal di luar otaknya.
"Wah yakin nih, Pak?" Melihat wajah Zulkarnain yang kesal, Syifa merasa itu ucapan yang sungguh-sungguh diucapkan. Ia mengangguk. "Lama banget ya, Pak. Hebat betul Bapak."
"Maksudmu?" Entah kenapa Zulkarnain merasa Syifa mengejeknya.
"Kalau saya sih tidak bisa lama-lama membenci Allah, Pak. Huh, sedetik saja saya membenci Allah, rasanya tidak sanggup. Saya membutuhkan Allah di setiap saat."
"Kamu aneh. Apa kamu tidak membenci-Nya kalau sewaktu-waktu Dia memberikanmu sebuah penyakit yang tidak ada obatnya? Seperti penyakit saya ini."
"Kalau begitu, Bapak juga harus tarik kata-kata Bapak dan rasa benci Bapak sama Allah."
"Apa kamu bilang?!" Zulkarnain sedikti mengeram.
"Tadi katanya Bapak tidak bertuhan, katanya Bapak membenci Allah, katanya Bapak tidak mempercayai-Nya. Lantas kenapa bapak mengakui keadaan-Nya? Kenapa Bapak bisa berpikir sebuah penyakit itu berasal dari-Nya? Apa benar Dia yang menciptakan? Kalau Bapak berpikir seperti itu, dan mengatakan seperti tadi, berarti Bapak sebenarnya tidak benar-benar membenci Allah."
"Omong kosong! Kamu hanya membuat kesimpulan sendiri, Dok."
Syifa tersenyum simpul. Cerita yang menarik. Sepertinya kasus pasien Syifa yang satu ini hampir sama dengan sebuah kasus di masa lalu. Kasus tentang manusia dan Tuhan. Mungkin sama, cuman berbeda perasaan terhadap-Nya.
Lalu ia teringat satu solusi hidup paling manjur yang pernah ia temui. Sekali lagi ia menatap ke arah iris coklat kayu yang masih menatapnya. Mencoba menyelami perasaan apa yang ditumpuk dari sang pemilik mata. Detik berganti menit pun tak ada satu jawaban yang ia temukan. Lantas bagaimana?
Jauh di dalam hatinya, Syifa sebenarnya meragukan bahwa solusi ini akan diterima baik oleh pasiennya. Mengingat perkataan Zulkarnain beberapa menit yang lalu membuatnya berasumsi jika nanti laki-laki ini akan sangat kesal. Sangat-sangat kesal sampai kesalnya Zulkarnain nanti tidak ingin ditangani olehnya.
Tidak. Syifa menepis asumsinya sendiri. Bukankah solusi itu yang menyelematkan hidupnya? Lantas apa yang ia ragukan? Ia lalu teringat perkataan seorang ceramah agama yang terkenal di tanah air dan sangat ia gemari sejak ia tinggal di pondok pesantren dahulu.
Ustaz itu mengatakan bahwa kita boleh untuk berharap, selalu berdoa, dan selalu menitipkan mimpi setinggi langit yang kita mimpi-mimpikan, hanya saja kita tidak boleh berpikir apa yang akan terjadi, seperti apa hasilnya lalu karena pikiran-pikiran itu kita malah meragukan diri kita sendiri. Karena meragukan diri sendiri berarti sama dengan meragukan Allah. Kita cukup yakin saja. Serahkan semuanya hanya karena Allah.
"Jadi dokter, apa yang sedang kamu pikirkan dari tadi?"
Suara ngebas itu menarik Syifa kembali dari pikirannya, ia lalu tersenyum. Senyum yang selembut, seindah dan penuh damai.
"Bapak mau saya kasih solusi, nggak?"
"Tidak, dan jangan menjawab."
"Yakin nih, Pak?"
Syifa pun akhirnya bangkit setelah sekian lama duduk. Ia sadar kok jam untuk mengecek Zulkarnain telah selesai, jam istirahat juga sebentar lagi, namun rasanya ia tidak menyesal terjebak lama di sini. Karena ia merasa bertanggungjawab untuk membuat perdamaian lagi antara ciptaan dan penciptanya. Ya, walaupun laki-laki ini bukan siapa-siapanya, buru-buru bilang siapanya, ketemu aja baru hari ini, dan itu hanya sebatas dokter dan pasien.
Kembali ia memasangkan stetoskop pada telinganya yang sempat tertunda. Ia mengecek jantung pasiennya itu selagi sang pasien terdiam memikirkan jawaban atas pertanyaannya yang terakhir.
"Saya memang bukan siapa-siapanya bapak, dan saya tidak bisa mengubah takdir hidup seseorang. Maaf, mungkin saja bapak mati besok atau lusa? Siapa yang tahu? Tapi setidaknya sebelum Pak Zulkarnain pergi, Pak Zulkarnain harus bahagia dulu."
Setelah itu tawa hambar terdengar menyusul ucapan Syifa. "Gimana bisa saya bahagia lagi ketika seluruh bahagia saya telah direnggut? Dan ... kalaupun ternyata saya kembali bahagia, lantas atas dasar apa? Diperuntukkan kepada siapa rasa bahagia saya?"