Sudah seminggu berjalan rutinitas membaca Alwaqiah yang disuruh oleh Syifa, tapi selama itu juga belum ada tanda-tanda bahagia seperti ekspektasi dokter itu. Ya, Zulkarnain sudah menduga hal ini. Sudah dia tegaskan bahwa ia tak lagi bertuhan, jadi mana mungkin akan ada bahagia yang datang.
Tapi, ia sadar bahwa hatinya telah berubah.
Awalnya ia menyangkal. Semakin lama dia menegaskan bahwa isi kepalanya salah, semakin isi kepala itu nyata nampaknya.
Bahwa Zulkarnain,
Telah jatuh pada dokter itu.
Sebenarnya ia jatuh tanpa alasan. Ya sudah tidak asing pernyataan itu. Bukankah jatuh memang sering terjadi tiba-tiba?
Namun Zulkarnain memilih untuk tidak sering memikirkan hal itu. Zulkarnain sadar bahwa ia tak pantas untuk seorang manusia seperti Syifa. Hei, mereka itu ibaratnya langit yang bersih dan tanah yang kotor. Syifa adalah langit yang bersih karena perempuan itu lebih dekat dengan sang Pencipta. Lantas dengannya? Tentu sangat-sangat jauh. Sangat berdosa sampai ia bisa sekotor dan sehitam seperti tanah.
Lagian, dari segi umur juga mereka tak akan cocok. Zulkarnain sudah memasuki kepala tiga yang lima angka lagi menggantikan angka depan. Sedangkan Syifa, walaupun Zulkarnain tidak tahu umur dokter cantik itu berapa tapi bisa ditebak bahwa Syifa umurnya adalah kepala dua.
Kalau orang-orang tahu tentang perasaan Zulkarnain, bisa-bisa ia dianggap pedofil. Haha. Jadi untuk sebuah balasan perasaan, lupakan saja hal itu, buang jauh-jauh.
Jam di ruangan tempat ia dirawat menunjukkan pukul enam pagi. Tidak biasa Zulkarnain bangun sepagi itu ketika mimpi buruk selalu menghantuinya tengah malam yang membuatnya terjaga sampai hari esok menjelang subuh. Ini semua karena dokter itu.
Syifa setiap jam tujuh sudah memasuki ruangan Zulkarnain tidak lupa dengan salam. Dan suara salam Syifa membuat Zulkarnain terusik dari tidurnya, padahal volume suara Syifa bisa dibilang normal. Tidak sampai berteriak.
Namun kali ini, ketika ia telah berusaha untuk meraih nurse call bel, yang datang cuman perawat bernama Kana. Si teman dokter Syifa.
Dan semangat Zulkarnain pagi itu langsung menghilang, matanya menyenduh tanpa Kana sadari ketika perawat berjilbab itu menyeletuk.
"Ah, Pak. Maaf ya. Kata dokter Syifa, hari ini dia tidak bisa mengecek bapak. Dia pergi ke luar kota sebentar. Nanti dokter Linda yang gantiin dokter Syifa hari ini sama lusa."
Zulkarnain berusaha terlihat biasa saja, walaupun jauh dalam hatinya ia sudah retak. "Kalau boleh tahu ngapain ya, sus?"
"Ngisi seminar Pak."
"Jadi mentoring maksud kamu?"
Syifa mengangguk sambil mencatat data pasien seperti biasanya. "Iya, Pak. Tiap bulan emang dokter Syifa sering diundang ke seminar-seminar gitu loh, bareng dokter Fahri," jelas Syifa, seperti biasa selalu bersemangat menceritakan temannya itu.
"Oh ya?"
"Iya, Pak! Terus Pak, dokter Fahri selalu nemani dokter Syifa. Padahal dokter ganteng itu ada jadwal padat, tapi dia selalu menyisihkan waktu untuk dokter Syifa. Uuuuh romantis banget, satu rumah sakit udah tahu dokter Fahri suka sama dokter Syifa. Beruntung ya jadi dokter Syifa, Pak? Aku kapan digituin huh," ucap Kana berakhir dramatis. Sedangkan Zulkarnain hanya meringis melihat kelakuan absurd dari teman Syifa ini.
Padahal, hatinya sudah lebih patah dari sebelumnya.