Erik menatap kesal si pria sombong yang sialnya lebih ganteng dari dia. Siapa lagi kalau bukan Zulkarnain?
"Ayo lah Zul, lo harus makan dulu!"
Pria itu mulai jengah dengan temannya. Padahal hari ini ia ada jadwal meeting dengan klien perusahaannya--sebenarnya itu perusahaan Zulkarnain yang sedang ia tangani, tapi Erik membatalkan beberapa jadwal itu hanya demi sebuah panggilan telepon tiba-tiba dari Zulkarnain.
Zulkarnain masih belum menjawab. Pemuda itu memilih untuk tetap menatap pemandangan taman dari jendela. Walaupun jujur saja lehernya sudah sakit, namun ia enggan mengalihkan tatapannya itu untuk menatap Erik.
"Oh ayolah Zul! Gue udah bela-belain datang ke sini cuman buat nonton lo jadi patung gitu?"
Tidak takut dengan amarah Erik yang akan meledak, Zulkarnain tetap diam saja.
Akhirnya Erik hanya bisa meletakkan kembali mangkuk berisi bubur di atas medis tray table. Menyerah karena sahabat sekaligus bossnya itu tetap diam tak merespon. Lalu meninggalkan ruangan Mawar-B7 untuk sekedar pergi ke kantin membeli kopi sekaligus mencari angin segar, Erik bahkan pergi tanpa pamit pada Zulkarnain.
Ketika pintu telah ditutup, baru saat itu lah Zulkarnain meluruskan kepalanya menatap ke depan. Sesaat ia menghela napas dengan lemas.
Kenapa ia merasa risau hari ini? Ada apa dengannya? Bukannya ini adalah hari yang ia tunggu-tunggu, hari untuk bebas tidak membaca ayat-ayat sialan itu?
Zulkarnain kembali menghela napas. Pada kenyataannya, ia tidak bisa berbohong bahwa ia merindukan dan mencemaskan dokter bermata hazel itu. Padahal hari ini baru berjalan tiga belas jam dari saat Kana memberitahukan padanya bahwa Syifa hari ini absen. Belum sampai satu hari, baru setengah hari tapi ia sudah segelisah ini?
Bibirnya menggerutu, Zulkarnain pun memilih menutup kelopak matanya. Merasa bahwa dirinya hanya membuang-buang waktu menunggu seseorang yang seseorang itu sendiri jelas tidak pernah peduli padanya. Jangankan peduli, mengingat Zulkarnain sebentar saja mungkin tidak.
Tapi baru semenit matanya terpejam, tiba-tiba terdengar sebuah suara pintu terbuka. Zulkarnain pikir itu hanya Erik yang baru saja kembali dari kantin. Jadi ia tidak begitu mempedulikannya. Malah memilih untuk lanjut terlelap
"Assalamu'alaikum."
Salam yang terdengar lembut itu membuatnya kembali terjaga. Cepat-cepat Zulkarnain melihat ke arah pintu. Zulkarnain langsung meneguk salivanya ketika melihat sosok yang ia rindukan berjalan ke arah Zulkarnain.
Hei, bukannya kata perawat itu Syifa akan masuk kembali saat lusa? Zulkarnain menggeleng. Pasti ini efek memikirkan dokter itu terus-menerus sehingga sampai ia bisa halusinasi seperti ini.
Zulkarnain pun memejamkan matanya lagi. Karena ia tahu ini cuman sekedar halusinasinya.
"Ah, Pak Zulkarnain mau tidur ya? Yaudah kalau begitu saya keluar, maaf mengganggu waktunya, Pak," ucap Syifa tak enak hati saat melihat lebih dekat ternyata pasiennya itu berniat untuk tidur.
Syifa pun berbalik, namun baru selangkah saja tangannya sudah dipegang oleh sebuah tangan besar. Syifa tersenyum tipis tanpa ia dan Zulkarnain sadari.
Lalu Syifa berbalik. Zulkarnain terlihat sedang mengerjap-ngerjap. "Ah, bapak tidak jadi tidur?"
Bukannya menjawab, Zulkarnain malah melontarkan sebuah pertanyaan. "Kamu ... sudah kembali?" Gue nggak lagi halu kan ini? sambungnya dalam hati.