Jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul setengah empat lewat lima menit saat mata Syifa telah terbuka sepenuhnya.
"Astaghfirullah," ucapnya dan langsung melompat turun dari kasur dan melangkah ke toilet.
Hampir saja ia melewatkan sholat malam.
Setelah mencuci wajah dan menggosok gigi, ia pergi menggulung piyama berlengan panjang itu sampai ke atas siku untuk segera mengambil wudhu.
Namun sebelum ia mengambil wudhu, ia mengecek daerah yang dekat dengan lipatan lengan. Lalu menekan beberapa kali di daerah situ. Ah ternyata sudah sembuh. Meskipun garis-garis itu telah berubah menjadi hitam yang samar, tapi teksturnya sedikit timbul di atas permukaan kulit tersebut.
Ya, itu adalah coretan-coretan luka lamanya yang masih membekas.
Syifa sudah banyak kali memberi salep untuk menghilangkan bekasnya, namun coretan itu cukup kuat. Seakan tak ingin hilang. Seakan itu sudah menjadi tanda bahwa ia pernah terpuruk di masa lalu sebelum akhirnya Allah tahu bahwa dia sudah tak sanggup lagi. Karena tak semua masalah yang datang benar-benar sanggup dijalani oleh manusia.
Bukankah begitu? Tuhan memberikan masalah ke setiap hidup manusia karena tahu seberapa mampunya manusia itu. Tapi seringkali kita mengeluh bahwa penderitaan yang kita dapatkan sudah sangat berat. Padahal, Tuhan tidak menguji hamba-Nya di luar batas kemampuan.
Syifa pun mengambil wudhu karena ingat sebentar lagi waktu untuk sholat malam segera habis. Ia biarkan tetesan-tetesan air yang mengalir dari keran membasahi anggota tubuh yang wajib kena wudhu termasuk coretan luka lamanya.
Mungkin kalau luka itu masih berumur seminggu terasa perih. Kini tidak. Syifa hanya merasakan dinginnya air karena luka itu telah lama. Lama sekali.
Ia pun melangkah menuju kamarnya. Mengambil sajadah lalu membentangnya menghadap kiblat. Kemudian ia mengambil mukena yang tergantung di belakang pintu kamar, ia pun memakainya.
Sebenarnya sholat malam ini hukumnya hanyalah sunnah. Syifa mungkin bisa meninggalkan sholat ini, dan terbangun saja ketika adzan subuh telah berkumandang. Namun, mengingat keutamaan-keutamaan sholat malam itu lebih banyak daripada sholat lainnya, bahkan sholat lima waktu sekalipun membuat Syifa tidak bisa untuk meninggalkan sholat malam begitu saja.
Ketika semua orang tertidur di malam hari, Allah turun sendiri untuk melihat siapa hamba yang ingin mencari cinta dari-Nya melalui sholat tahajjud ini. Namun sayang sekali, hanya sedikit yang sanggup untuk melakukannya.
Dalam sujud terakhirnya, air mata yang sedari tadi menetes sedikit demi sedikit kini tumpah ruah membasahi sajadahnya. Syifa mengeluarkan segala lelahnya pada dunia. Mencurahkan segala keluhannya bahwa ia belum benar-benar pulih. Seakan bahwa sujudnya itu adalah bentuk sandaran kepada Allah.
Syifa pun menyelesaikan sholat tahajud. Namun tangis itu berlanjut tumpah bersamaan saat ia menengadah sembari mengangkat kedua tangannya.
"Ya Allah ... makasih ...."
***
"Oh nama kamu Kana." Erik yang di duduk samping Zulkarnain mengangguk-ngangguk kecil saat mendengar nama yang disebutkan gadis berseragam putih-putih dengan jilbab itu. "Cantik banget deh namanya Kana, kayak orangnya."
"Eh?" Kana mengerjap-ngerjap polos.
Zulkarnain yang melihat adegan itu langsung mendengus.
Dasar, udah tua, jelek, masih aja ngegombal kayak remaja. Dikira dia masih tampang anak sekolah kali ya?
Zulkarnain tidak tahu apa maksud dan tujuan temannya itu datang ke rumah sakit sepagi ini. Padahal ia tidak menelpon dan tidak juga membutuhkan orang itu. Tapi Erik datang-datang dengan memasang wajah ceria berseri. Ketika ditanya alasannya datang ke sini, ia malah menjawab.
"Lah, apa salahnya gue jenguk teman gue yang lagi sakit?"
PRET!
Sejak kapan si bule menyebalkan itu merelakan waktunya cuman demi kegiatan yang pernah ia bilang hanya membuang-buang waktu? Re: menjenguk Zulkarnain.
Ah Zulkarnain lupa. Sejak kemarin. Ya, sejak ia bilang kepada Erik kalau dia menyukai Syifa.
Zulkarnain lalu menatap Kana. Wajah perawat itu malah memerah karena ucapan sampah dari si bule.
Karena mulutnya gatal, Zulkarnain menyahut, "Jangan mau sama dia. Udah tua. Umurnya sama kayak saya udah tiga puluh lima," katanya pada Kana sambil menunjuk Erik dan memasang tampang seperti jijik dengan bule itu.
Sedang Erik melotot. Masih untung dia menggoda Kana, bukan dokter yang temannya sok ganteng ini sukai.
Tapi ucapan Kana membuat Erik menoleh. Tatapannya merekah begitu saja.