Suara dentingan kecil dari sendok yang diakibatkan bergesekan dengan permukaan piring menarik atensi Fahri pada perempuan berhijab cantik di depannya. Dan itu membuatnya sadar bahwa pikiran perempuan itu tak berada pada tempatnya sekarang.
"Ada apa Jani?" tanya Fahri dengan nada lembut membuat Syifa menoleh padanya.
Syifa menegakkan bahunya, lalu meneguk ludah. "A-apa? Apanya yang ada apa?" tanya Syifa pura-pura tak tahu padahal malah semakin membuatnya terlihat bahwa ia sedang salting.
Fahri menatapnya tak percaya. Laki-laki berumur dua puluh enam tahun itu hanya bisa menarik napas dengan pelan, lalu membuangnya dengan kasar. Tangannya bergerak melepas kacamata yang bertengkar di hidung walau hanya sebentar.
Entahlah. Apa ini hanya perasaannya saja atau memang Syifa yang berubah.
Apa ini hanya ketakutannya untuk kehilangan perempuan itu atau memang ia sudah kehilangan sejak dulu.
Padahal hari ini Fahri hanya ingin ada kejadian di mana dia dan Syifa makan berdua di kantin rumah sakit seperti saat ini. Hanya sesederhana itu keinginannya.
Namun sayangnya, itu tak pernah jadi sederhana jika pikiran Syifa saja tak bisa ia miliki. Baik sejak pertemuan pertama mereka maupun saat ini.
"Apa ini tentang pasien bernama Zulkarnain Gibran?" tebak Fahri dengan mudah. Semudah laki-laki itu mencari tahu data orang yang menjadi saingannya diam-diam. Tentu saja ia bisa mengakses data rumah sakit Wijaya karena rumah sakit itu miliknya.
Mata Syifa membelalak kaget. "Ah ... emang kenapa dengan beliau?"
"Jani, kita sudah berapa lama kenal sih? Kamu tidak bisa membohongiku, kapanpun itu," kata Fahri membuat Syifa mengatup bibirnya. "Katanya kita ini seperti keluarga? Tapi kenapa? Kenapa Jani yang kukenal begitu asing?" lanjutnya menyindir dan itu sukses menohok Syifa.
Syifa hanya mengalihkan tatapannya sambil menggigit bibir. Ia bukan tak mau berbagi masalahnya dengan sahabat dari satu pondok pesantren itu, namun ... Syifa rasa masalah ini tak perlu ada orang lain tahu. Ini menyangkut privasi seseorang. Dan bukankah tidak sopan jika kita mengumbar privasi orang kepada orang lain?
"Ya sudah lah kalau kamu tak ingin cerita kepadaku," kata Fahri mengerti tentang diamnya perempuan itu. Biarkan saja sang waktu membuatnya mengerti, tapi tak ada satupun yang mengerti dirinya. Ia lalu berdiri saat Syifa menoleh kembali. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana sambil menatap Syifa dengan tatapan tak terbaca. "Aku harus pergi. Sebentar lagi ada jadwalku di ruang operasi. Makananmu aku bayar, jadi makanlah dengan tenang. Fokuslah pada dirimu dulu Jani, baru itu orang lain. Oke?"
Tanpa menunggu jawaban dari Syifa, Fahri melangkah pergi menuju penjual kantin untuk membayar pesanan mereka, lalu setelah itu Fahri keluar dari kantin dengan tidak menoleh lagi padanya.
Yang Syifa tahu, Fahri kecewa karena ia tak mau lagi berbagi cerita sebagaimana seorang sahabat.
Padahal, perasaan Fahri lebih dari sekedar kecewa.