254

Hujan Luka
Chapter #8

Delapan

"Eh Syifa, udah mau pulang?" tanya Kana basa-basi ketika bertemu dengan sahabatnya itu di koridor.

Syifa mengangguk, memperbaiki tali selempangnya. "Kamu shift malam ya, Na?"

"Ho'oh." Kana menghela napas sesaat. "Aku titip kunci rumah ke kamu boleh ya? Satya belum pulang soalnya," kata perempuan itu menjelaskan dengan nada mengeluh.

Syifa mengernyit. "Emang Satya ke mana?"

"Katanya buat tugas kelompok, buat tugas kelompok apa dari siang sampai sekarang belum pulang?" Kana jadi mencak-mencak sendiri.

Melihat itu Syifa meringis. Kasihan juga jadi Kana. Dia dan adiknya tinggal terpisah dengan orang tua. Orang tuanya berada di Bandung sedangkan Kana memilih bekerja di rumah sakit Wijaya dan Satya malah terpilih kuliah di salah satu kampus terbaik di Jakarta sehingga pemuda yang sekarang umurnya dua puluh tahun itu tinggal bersama dengan Kana.

Walaupun Jakarta ke Bandung tidak terlalu jauh. Perjalanan yang hanya menempuh waktu 2 sampai 3 jam, tapi tetap saja mereka berdua tidak punya waktu untuk pulang ke rumah orang tua. Sebab waktu kuliah atau kerja yang semakin padat. Alhasil mereka hanya bisa mudik saat mendekati lebaran atau akhir tahun saja.

"Yaudah sini." Syifa menjulurkan tangannya membuat mata Kana jadi berbinar. Kana pun langsung mengambil kunci di dalam tasnya, lalu memberikan benda itu pada Syifa.

"Makasih ya Syif, maaf jadi ngerepotin," ucap Kana sambil meringis kecil.

"Santai, kaya kita baru kenal aja," sahut Syifa sambil mengibas tangannya, kemudian ia jadi tertawa. Kana ikut tertawa.

"Yaudah, aku pulang dulu ya, assalamu'alaikum."

Kana mengangguk, membiarkan Syifa pergi. "Wa'alaikumsalam."

Syifa pun berbelok dan langsung masuk ke dalam lift karena pintu lift juga di saat bersamaan hampir tertutup. Untung keadaan lift tidak penuh. Hanya ada beberapa orang yang datang sebagai pengunjung pasien. Syifa tak terlalu peduli dengan hal itu.

Setelah sampai di lantai dasar dan pintu lift terbuka, Syifa pun langsung keluar bersama orang-orang yang berada di dalam lift itu. Syifa tersenyum ramah saat beberapa petugas rumah sakit menyapanya.

Syifa merogoh tas, mengambil kunci mobil saat langkahnya tiba di parkiran rumah sakit. Namun saat ia sudah mendekati mobil Jazz merah miliknya, tangan Syifa malah terhenti di udara.

Ia teringat sesuatu. Syifa harus mampir ke supermarket dulu, isi kulkasnya sudah habis. Kan bahaya kalau sudah habis dan dia belum sempat mengisinya.

Syifa pun mengambil ponsel pintarnya terlebih dahulu untuk menghubungi seseorang.

"Halo, assalamu'alaikum?"

"Iya, Wa'alaikumsalam Teh. Naha?" (Kenapa)

"Sat, kamu pulang jam berapa? Soalnya kunci rumah ada sama aku."

"Oh, Teteh Kana udah pergi ya, Teh?" Terdengar ringisan di seberang sana.

"He'em," sahut Syifa singkat. "Jadi kamu pulang jam berapa?"

"Eeee... sugan tos magrib mereun, Teh. Soalnya masih mau buat ppt-nya," kata Satya agak ragu. (Eeee ... mungkin abis maghrib kali)

"Oh gitu ... yaudah, berarti teh Syifa mau belanja dulu nggak papa kan?"

"Sok atuh, Teh," sahut Satya sambil terkekeh. "Eh tapi Teh, beliin susu pisang boleh ya, ya, ya?"

Syifa mendengus. Ia membuka pintu mobilnya. "Iya deeeeh bocah," ejeknya

"Dih apaan! Satya mah udah gede, Teh. Udah punya pacar!" balas Satya tak terima. Syifa mendengar itu jadi tertawa.

Rasanya bahagia sekali. Syifa dan Satya sudah seperti Satya ke Kana. Awalnya Syifa takut dengan Satya karena dia laki-laki, apalagi tampangnya seperti cowok nakal pada umumnya. Namun ada pepatah yang mengatakan, jangan lihat dari covernya. Dan memang betul. Tampang doang yang nakal, aslinya Satya tuh manja seperti bocah dan dia juga kalau ngomong dengan orang yang lebih dewasa atau ke orang asing menggunakan bahasa sopan.

"Bodoh ah, teteh udah mau ke supermarket nih. Assalamu'alaikum."

"Dih, wa'alaikumsalam."

Lihat selengkapnya