254

Hujan Luka
Chapter #10

Sepuluh

Zulkarnain mengernyit saat kursi rodanya didorong menuju ke arah taman rumah sakit.

"Kita mau ke mana sih, dok?" tanya Zulkarnain untuk kedua kalinya pada dokter cantik itu.

"Sudah saya bilang kan, bahwa kita akan bertemu dunia kecil. Bapak diam aja, tidak perlu takut, lagi pula saya sudah meminta izin pihak rumah sakit," ucap Syifa menenangkan sambil terus mendorong kursi roda itu.

Zulkarnain mengernyit lagi. "Tapi kan kita udah di dunia? Maksudnya dunia alam ghaib gitu?"

Syifa jadi tertawa mendengar hal itu. "Memang saya kelihatan berasal dari alam ghaib, Pak? Semacam dedemit?" tanya Syifa dengan nada terluka yang dibuat-buat.

"Kelihatannya sih," sahut Zulkarnain sambil manggut-manggut membuat Syifa mendelik. "Tapi bukan dedemit, nenek sihir."

Syifa ingin menabok kepala Zulkarnain, namun tangannya berhenti di udara begitu saja ketika Zulkarnain kembali berucap.

"Canda elah, jangan baper, hehe." Lalu Zulkarnain mengangkat kedua jarinya membentuk huruf v sebagai tanda damai.

Mata Syifa mengerjap, ia jadi termenung dengan ucapan laki-laki itu. "Bapak ... bisa bahasa informal juga?" tanyanya dengan hati-hati yang membuat Zulkarnain terdiam.

Namun tak lama Zulkarnain menoleh ke belakang walaupun tak sepenuhnya, ia memberanikan diri menatap Syifa dengan poker face andalannya yaitu ekspresi datar.

"Kenapa? Kamu merasa aneh ya orang yang sudah kepala tiga seperti saya bicara pakai bahasa gaul?" tanya Zulkarnain ketus membuat Syifa kaget, lalu menggeleng cepat.

"Eh? E-enggak kok." Syifa meringis, jadi merasa bersalah telah bertanya seperti tadi. "Cuman kaget aja, kirain bapak udah terbiasa pakai bahasa formal gitu," ucapnya menjelaskan.

"Saya sering pakai bahasa santai dengan Erik. Kamu tahu kan Erik?" Syifa mengangguk. "Nah, kami bahkan sering pakai lo-gue."

"Serius, Pak?" tanya Stifa dengan nada takjub.

"Ya serius lah. Lagian, kami bertemu juga dulu masih sangat muda, jadi sudah dari sananya kita pakai gaya bicara elo-gue itu."

"Oh, begitu ...." Syifa mengangguk paham.

Namun karena penjelasan Zulkarnain, Syifa diam-diam jadi memikirkan perkataan laki-laki bernama Erik waktu minggu lalu ketika berada di ruangannya.

"Saya punya cerita tentang dia. Cerita tentang masa lalunya. Bahkan alasan kenapa dia membenci Tuhan. Namun sayang sekali dok, saya minta maaf karena saya tidak bisa mengatakan hal ini kepada dokter walaupun Zul tidak pernah bilang bahwa ceritanya harus dijaga dengan baik, tapi sebagai seseorang yang dikasih kepercayaan begitu besar, saya harus menjaga kepercayaan itu. Kalau dokter ingin tahu, coba cari tahu sendiri, sekali lagi saya minta maaf bukan karena saya pelit berbagi cerita. Dan saya percaya kepada dokter. Saya percaya teman saya akan sembuh dengan bantuan dokter Syifa."

Syifa jadi menghela napas mengingat ucapan itu. Andaikan saja bisa dengan mudah ia mengetahui tentang masa lalu orang yang ada di depannya ini, mungkin saat ini Syifa pasti sudah tahu banyak. Namun ini tidak seperti yang diharapkan.

"Tinkerbell? Tinkerbell datang teman-teman!"

Teriakan itu sukses menarik atensi Syifa dari alam bawah sadar. Matanya langsung menangkap beberapa sosok anak kecil yang tak jauh dari mereka. Bibir Syifa tertarik ke atas membentuk senyuman. Ia mendorong kursi roda Zulkarnain mendekat ke arah anak-anak itu.

Sedangkan Zulkarnain tertegun melihat anak-anak itu. Mereka bukan sekedar anak-anak biasa. Ketika mereka berdua sudah dekat dengan kumpulan anak-anak itu, Zulkarnain dapat melihat jelas kalau anak-anak itu merupakan pasien rumah sakit juga karena pakaian rumah sakit bercorak ilustrasi mobil-mobilan, bunga, atau hewan yang mereka pakai.

Syifa menyadari Zulkarnain jadi terdiam. Syifa pun tersenyum melihat hal itu. Entahlah. Hatinya bergetar hanya dengan melihat wajah laki-laki itu dari atas. Walaupun sudah berumur, tidak bisa dipungkiri bahwa Zulkarnain adalah sosok tampan. Alisnya yang tertata rapi, bulu matanya yang panjang dan lentik, hidungnya yang seperti perosotan, atau rahangnya yang kokoh mempertegas ketampanannya.

Seketika Syifa tersadar dari keterpanaannya pada Zulkarnain saat ia merasakan ujung jasnya di tarik dan membuatnya menoleh.

"Kakak Tinker, kakak Tinker bawa siapa?" tanya seorang bocah laki-laki pasien kanker otak yang tadi menarik ujung jas Syifa.

Kemudian seorang gadis kecil yang sudah berdiri di depan Zulkarnain menatap pria itu dengan alis mengernyit mulai berceletuk, "Ah Nino, sepertinya paman ini Peter Pan!" Lalu ia menoleh ke belakang di mana anak-anak lain menuju ke arah gadis berumur enam tahun itu. "Teman-teman liat sini, Peter Pan telah datang!" teriaknya memberitahu.

"Benarkah Lala?"

Gadis bernama Lala itu mengangguk kuat. "Iya! Ini Peter Pan-nya ganteng loh!"teriaknya lagi yang membuat anak-anak yang masih tertinggal jadi berlari menyusul, menghampiri Zulkarnain. Mereka tak takut untuk lebih mendekat, bahkan ada yang lengannya sampai bertumpu pada paha Zulkarnain.

Lihat selengkapnya