254

Hujan Luka
Chapter #11

Sebelas

Kejadian barusan membuat Fahri mengacak rambutnya frustasi. Niatnya hanya untuk sekedar melihat Syifa dari atas balkon karena tahu bahwa hari ini adalah jadwal Syifa bercerita dengan anak-anak yang merupakan pasien dari ruang PICU, tapi hari ini sepertinya semesta sedang bercanda.

Fahri jadi teringat lagi bagaimana ekspresi Syifa dan orang itu. Siapapun yang melihatnya jelas akan mengira dua orang itu saling mencintai. Jadi dia ya yang namanya Zulkarnain? batin Fahri resah.

Pandangannya yang semula menatap kosong ke depan jadi jatuh pada sosok di dalam pigura kecil yang terletak di atas mejanya. Melihat senyuman manis dari sosok kecil itu berhasil membuat kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk lekukan yang manis.

Dan segala kenangannya di masa lalu bersama sosok itu menghampiri Fahri.

***

Yogyakarta, sepuluh tahun yang lalu.

Saat itu Fahri sedang mengaji di kamarnya. Lalu Putra masuk dengan tergesa-gesa, menghampiri Fahri. Pemuda enam belas tahun itu menggoyang-goyang lengan Fahri.

"Ri dengerin gue."

"Nggak, jangan ganggu," tolak Fahri dingin sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Putra di lengannya. Lalu ia kembali fokus untuk melanjutkan bacaan Al-Qur'annya.

Putra berdecak kesal, namun ia tetap memberitahu, "Ada santriwati baru loh!" Ia juga melanjutkan menggoyang-goyangkan lengan Fahri.

Biar saja Fahri kesal pada Putra. Bagi Putra yang penting Fahri harus tahu info ini.

Dan berhasil.

Fahri menggerem kesal, sampai kesalnya ia istighfar beberapa kali. Matanya yang semula tetap pada ayat-ayat suci kini berpindah, membalas tatapan Putra dengan datar. Fahri menghela napas sebentar dan beralih menatap Al- Qur'annya, tangannya pun bergerak untuk menutup benda itu.

"Terus apa hubungannya dengan gue?" tanya Fahri setelah menyimpan Al-Qur'annya di atas meja belajar.

"Santriwatinya cantik Ri!"

Jawaban itu membuat Fahri jadi memutar bola matanya dengan malas. Sungguh, cuman demi ini? Cuman karena santri yang katanya cantik jadi Fahri terpaksa harus berhenti mengaji dan memilih mendengarkan omong kosong sahabatnya ini?????

"Buang-buang waktu aja lo," sahut Fahri dengan dingin sambil menggeleng kecil tak percaya dengan kelakuan sahabatnya itu.

Fahri pun pergi tanpa mendengarkan lagi ucapan Putra yang terus menjelaskan kepadanya. Lagian, Fahri tidak tertarik dengan topik tentang santriwati. Mau itu santriwatinya lama atau santriwati baru, mau itu santriwatinya cantik atau biasa-biasa saja tetap Fahri tak peduli.

Sebagai seorang anak Pak Kiai, dan rumahnya yang berdekatan dengan pondok pesantren membuat Fahri dididik untuk tahu batasan antara wanita dan laki-laki.

Fahri juga takut nanti ketika ia memilih menjatuhkan perasaannya pada sesama makhluk, Allah cemburu melihat itu. Fahri takut dengan kecemburuan Allah.

Langkah Fahri berhenti di depan rumahnya. Ia menghirup udara sejenak sebelum akhirnya ia menoleh ke arah gedung pesantren. Di sana cukup ramai, apalagi di lapangan. Terdapat anak laki-laki seumurannya dan lebih di atasnya sedang bermain futsal.

Ya saat sore-sore seperti ini, tepatnya sehabis ashar memang waktu free untuk para santriawan dan santriwati melakukan hal apapun. Tapi masih sesuai dengan batas aturan. Seperti misalnya memasak, atau nyuci pakaian mereka atau mengaji, atau memilih mengerjakan tugas dan yang terakhir ialah bermain futsal dan basket.

Fahri cukup lama memperhatikan permainan futsal para teman-teman sekelasnya. Di sana juga ada Haidar yang sedang menjadi gawangnya. Fahri berpikir sejenak, lalu akhirnya ia melangkah menuju ke arah lapangan.

Saat di perjalanan, Fahri merasa risih sebab ia menjadi pusat perhatian banyak santriwati. Apa mereka tidak ingat bahwa sang guru pernah mengingatkan mereka untuk saling menundukkan pandangan pada lawan jenis?

Ya, walaupun para santriwati cuman berdiri di koridor pesantren yang jauh dari lapangan, tapi tetap saja Fahri merasa risih.

Karena melihat secara bebas bisa menjadi faktor timbulnya keinginan dalam hati, maka syariat yang mulia ini telah memerintahkan kepada kita untuk menundukkan pandangan kita terhadap sesuatu yang dikhawatirkan menimbulkan akibat yang buruk.

Lihat selengkapnya