Fahri langsung masuk ke rumahnya dengan tergesa-gesa.
"Umi? Umi di mana?" panggilnya dengan terburu-buru.
"Piye, Nang? Ono opo?" (Kenapa Nak? Ada apa?) tanya wanita seperempat abad yang muncul dari arah dapur. Wanita itu--Khadijah, namun sering dipanggil Nyai oleh banyak orang.
Fahri terlihat gelisah sebelum akhirnya ia berani untuk bertanya, "Kata Putra kemarin Umi sama Abah bawa santriwati kemari?"
Nyai Khadijah mengernyit sebentar, seperti sedang mengingat lagi perkataan Fahri. Detik berikutnya matanya sedikit melebar, mulutnya membulat. "Oh maksud Lanang, si Nurah kah?" tanya Nyai Khadijah.
Melihat Fahri yang terdiam membuat Nyai Khadijah tersenyum tipis. Dalam hati ia senang melihat Putranya ini merasa penasaran dengan orang lain. Nyai tahu kalau peraturan yang sudah dibuat suaminya akan batas perempuan dan laki-laki, hanya saja Fahri adalah orang yang tertutup. Bukan hanya kepada santriwati tapi juga pada guru-guru. Karena Nyai sering mendapat keluhan dari sang guru bahwasanya Fahri selalu menjadi pendiam di kelas. Bukan, bukan! Lebih tepatnya mengalahkan kriteria santriawan pendiam. Tangannya pun bergerak menyentuh kepala Fahri, lalu membelainya.
"Nanti jangan sakitin dia ya, anggap dia seperti Yana," dengan lembut Nyai memberikan pengertian kepada Fahri.
Fahri jadi mendongak karena mendengar itu. "Emang kenapa, Mi?
Rasanya aneh bagi Fahri. Nyai Khadijah tidak pernah menyuruhnya seperti ini untuk seorang santriwati. Padahal tanpa dibilang pun, Fahri tidak akan menyakiti siapa saja, bahkan Fahri enggan mendekati mereka. Namun, untuk pertama kalinya Nyai berkata seperti itu. Dan itu semua hanya karena santriwati bernama Nurah.
Memang siapa dia? Kenapa dia sepenting itu? Kenapa dia harus dijaga seperti Yana yang baru berumur sepuluh tahun padahal gadis itu sudah setara dengannya? Pikiran itu terus menghantui Fahri.
Fahri tetap menunggu jawaban Nyai Khadijah. Terlihat Nyai seperti menghela napas. Sebelum akhirnya beliau memberanikan diri untuk menyahut.
Dan jawaban Nyai Khadijah membuat Fahri membelalak, mulutnya menganga kecil, dan detak jantungnya berpacu lebih cepat.
***
Setelah mendapat penjelasan dari Nyai Khadijah, Fahri pergi untuk mencari gadis itu esoknya saat bersamaan dengan Putra yang datang menghampirinya untuk mengatakan bahwa gadis itu sedang dihukum oleh Bude Fatimah di lapangan.
Bude Fatimah adalah pembina ekskul Penegak Kedisiplinan Santriwati atau disingkat PKSI. Sedangkan untuk para santriawan atau PKS pembinanya adalah Pak Harjoko.
Sesampainya di pinggir lapangan, Fahri berdiri di samping Haidar yang kemudian disusul oleh Putra. Matanya langsung menangkap sosok gadis berseragam batik hijau bercampur sedikit dongker dengan hijab syar'i putihnya sedang berdiri di tengah lapangan sambil mendongak dan memberi hormat ke arah tiang bendera. Gadis itu berteriak lantang.
"Saya berjanji tidak akan melakukan pelanggaran lagi! Saya berjanji tidak akan melakukan pelanggaran lagi!"
Begitu terus dia mengulangi kalimat itu.
Fahri berbisik pada Putra dan Haidar, "Dia kok bisa dihukum? Kan kemarin Bude Fatimah nggak ada di lapangan?"
"Kata yang lain, dia sendiri yang melapor ke ruang kedisiplinan," sahut Haidar yang diangguki oleh Putra.
"Hah?" Fahri mengerjap-ngerjap bingung.
Demi apapun Fahri kaget sekaligus ada sedikit kekaguman dalam hatinya pada gadis itu. Dan Ini pertama kali ia melihat ada santriwati yang berani untuk mengakui kesalahnnya. Karena biasa tidak ada yang berani. Ketahuan oleh Bude Fatimah atau Pak Harjoko saja nanti setelah ada seorang saksi yang melapor diam-diam.
Melihat reaksi kecil dari Fahri membuat Haidar dan Putra saling melirik dan menyenggol kecil. Memberi kode bahwa santriwati baru itu telah berhasil mencuri perhatian kecil dari pangeran es yang selama ini tidak tertarik dengan perempuan manapun.
Fahri pun kembali menoleh pada gadis itu bersamaan dengan bel pertanda dimulainya KBM pun berbunyi nyaring di seluruh koridor. Orang-orang yang tadinya melihat gadis itu dihukum mulai berbalik pergi menuju kelas masing-masing, namun kaki Fahri rasanya enggan untuk beranjak dari sana.