29 (Dua Puluh Sembilan)

Sri Winarti
Chapter #3

Episode 1




Kukira semuanya akan tetap sama seperti hari biasanya, aku dengan duniaku, mereka dengan dunia yang diciptakannya masing-masing seperti: keeksistensiannya, kesepian, kesakitan, luka dan kebahagiaannya. Lalu... pada akhirnya hari yang mengubah segalanya tiba.

~Ailin Wajdi~

Ke mana pun berlari, aku hanya akan menemukan tempat yang dipenuhi oleh warna kematian, begitu hitam pekat yang bersanding dengan darah berpaluh. Menelusuk, mengubrak-abrik roma hidung sehingga membuat perut terasa begitu mual. Seolah-olah dipaksa untuk mengeluarkan seluruh isinya. Menjadikan kepala berpendar. Tak ada jalan untuk pulang dan waktu berjalan amat lambat, seolah-olah berkonspirasi untuk membuatku terus dipalu ketakutan, dibui keresahan.

Tuhan, jangan biarkan hamba bebal ini mati sekarang seperti teman-teman yang telah dahulu terbunuh secara brutal. Sungguh aku masih ingin hidup untuk melewati masa-masa bersama orang tua, teman-teman dari kelas lain dan tentunya untuk memperbaiki serta mengubah banyak hal. Meraih impian. Memperbaiki hubungan.

Tak ada lagi bunga matahari yang bersyair dan bernyanyi bersama kelembutan serta kehangatannya, selain daun yang berembun. Seketika aku berhenti, membulatkan mata dengan sempurna, nyaris keluar.

Jantungku semakin bergemuruh, bertambah riuh. Kengerian yang sedari tadi memenuhi darah mendesak-desak, mengalir deras dan lebih cepat ke kepala hingga mendidih di sana. Kutelan saliva seiring menelusuri setiap sudut bangunan sekolah, mencari keberadaan roh kesepian yang tengah bersenandung lagu menyedihkan itu.

Tak ada lagi angin yang berbisik melalui daun jendela, selain tangisan gagak. Tak ada lagi warna jingga, selain hitam. Suaranya di lorong perpustakaan dan mulai mendekat, maka melanjutkan langkah adalah hal tepat. Ah tidak, suaranya sekarang berpindah dari arah yang akan kutuju. Tak ada lagi rembulan dan bintang yang mendengarkan kisah tak berjudul, selain kunang-kunang yang terbang semakin jauh dan malam yang merana. Tiba-tiba suaranya terdengar dari arah koperasi, maka refleks kuhadap kiri.

Tak ada lagi jemari-jemari yang menari dengan bebas, selain jemari kaku yang dingin. Sayup-sayup, semakin jauh, tenggelam. Pergikah dia? Ah semoga saja pergi lalu fajar datang, dengan begitu kegilaan ini akan berakhir dan aku akan dikembalikan pulang.

Tak ada lagi langkah yang berirama, selain langkah yang tak pasti dan kehilangan rasi untuk menemukan suatu arti. Keringat begitu deras keluar dari dahi, menetesi setiap inci wajah, membasahi. Lidahku tercekat, napas pun tersenggal dan dada begitu sesak. Dingin merayap memasuki setiap pori-pori kulit, membuat tubuh terasa beku. Sebab, roh kesepian bernyanyi dengan nada berbisik di sebelah telinga kanan. Terasa napasnya yang dingin menusuk, menambah kengerian.

Hmm...hmm...na...na...na...la..la...la..., kini dia berada di hadapanku, tersenyum lebar dan mulutnya tak ayal mengeluarkan darah, membasahi dress vintage warna hitam yang dikenakannya. Terlihat topi bundar besar miliknya robek, begitu pula dengan kepalanya sehingga otaknya yang tak henti mengeluarkan darah tampak. Kesan anggun dan elegan raib seratus persen, terganti menjadi mengerikan, menakutkan dan menjijikan.

Kulitnya biru kehitam-hitaman, becek, berlendir, bernanah serta berdarah. Busuk. Dan ... sedikit-sedikit mengelupas, berjatuhan bersama darah serta belatung hingga berceceran di lantai bercampur dengan darah segar dari tubuh teman-temanku. Terlihat pula rambutnya dipenuhi belatung dan darah.

Lidahku semakin kelu walau sebetulnya batin menjerit-jerit serta tak ayal menangis. Sontak aku melangkah mundur dan tanpa sengaja menginjak sesuatu, maka kualihkan pandangan untuk mengetahui apa yang terinjak. Ternyata mayat salah satu temanku yang entah siapa? Aku tak bisa mengenalinya. Sebab, wajahnya dipenuhi oleh darah, matanya raib entah ke mana? Lehernya, arrghh sangat mengerikan, hampir putus dan menganga setakat tulang tenggorokannya nampak ke permukaan.

"Mau mati seperti apa?'' Roh kesepian bernegosiasi sambil memiringkan kepala dan tersenyum.

Arrghhh, aku benci semesta karena fajar tak kunjung menyongsong. Sungguh aku ingin pulang. Kupejamkan mata sambil memelas kepada Tuhan agar diselamatkan, semoga saja Ia iba lalu berempati. Selanjutnya aku mencoba memohon pada roh kesepian, walau sebetulnya ingin memaki, mengeluarkan semua kata-kata sampah yang amoral atas kejahanamannya. 

"Aku mohon jangan! Jangan! Dulu kita teman kan, dan selamanya akan tetap menjadi teman?''

Aku tahu ini adalah suatu kesia-siaan, sebuah basa-basi yang tak perlu dan terkesan bodoh. Akan tetapi, tak ada salahnya mencoba karena kita tak akan pernah tahu jika tidak pernah mencobanya, bukan? Harapan akan selalu ada, meski kita di dalam lorong tergelap pun, sebab selalu ada celah untuk dimasuki cahaya.

Mendengarku memelas, dia menyunggingkan senyuman sambil berkata, "Ah, semakin menarik dan hasratku untuk membuat kau semakin tersiksa oleh kematian bertambah besar." Ia tertawa terbahak-bahak yang membuatku semakin merinding.

Kutarik napas dalam-dalam seraya menatap roh jahanam itu lekat, lalu balik kanan tanpa memedulikan apa-apa dan berlari sekuat tenaga, mengabaikan luka di perut yang sakitnya luar biasa. Begitupun yang di kaki, kuseret-seret bersama darah yang terus berceceran.

"Ohh ... hoho ... kau pikir bisa lari dari kematian?'' ujar roh kesepian itu yang kini tengah terbang di atas kepalaku sambil tertawa begitu kencang dengan nada yang mengerikan, membuat telinga terasa sakit. Lalu ... secara tiba-tiba, ia kembali berada di hadapanku dan tawanya belum berhenti, malah semakin mendegam-degam.

"Hentikan!'' teriakku seraya menutup kedua telinga, agar tak lagi terdengar. Namun sial, ini adalah hal yang sangat percuma.

Oh tidak, telingaku semakin sakit, terasa ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum dan kepalaku rasanya mau pecah.

"Kumohon hentikan! Ini sangat sakit.''

Ah, aku baru sadar bahwa temanku yang sangat baik itu sudah menjadi iblis dan seberapa sungguh pun memelas kepadanya, ia tak akan pernah berbelas kasihan karena iblis tetaplah iblis dengan segala kejahanamannya.

Aku sudah sangat-sangat tak sanggup dengan semua kegilaan ini, maka dari itu kuteriakan hal yang gila pula, "Bunuh aku sekarang!''

 Ya, mati adalah jalan terakhir untuk mengakhirinya, bukan? "Kubilang bunuh aku sekarang!''

Lihat selengkapnya