29 (Dua Puluh Sembilan)

Sri Winarti
Chapter #6

Episode 4

Manusia adalah makhluk yang paling layak untuk dikutuk!

~Ailin~

Kring ... bel istirahat berbunyi, sebagian siswa-siswi kelas XI Bahasa-5 beranjak dari kelas. Ada yang ke perpustakaan, lapangan, atap, dan kantin, termasuk Ailin yang kini tengah melihat Lisi, Audri, dan Elva sedang merusak boneka pemberian Nadila dengan cara mematahkan tangan, kaki, dan leher boneka tersebut. Lantas, mereka membuangnya ke tong sampah secara gamblang di hadapannya langsung hingga Nadila menangis terisak-isak. Bagaimana tidak sakit? Karya ayahnya sama sekali tak dihargai, padahal ia membuatnya penuh cinta dan kasih sayang serta syukur yang luar biasa. Sedih dan marah pastinya.

"Kenapa? Kenapa kalian rusak? Padahal bonekanya dibikin dengan penuh syukur dan kebahagiaan,'' isak Nadila dengan suara tersenggal-senggal.

"Kenapa?" tanya Audri sambil menyeringai.

"Ya, kenapa?''

"Kamu mau tahu kenapa?'' Terlihat Audri tersenyum sarkastis. "Biar aku jelasin! Aku nggak butuh boneka jelek kayak gitu. Aku nggak sudi nyimpennya. Aku jijik sama sampah itu.'' Tunjuknya seraya membeliakkan mata.

Nadila tertunduk seraya mengepal tangan, rasanya ia ingin menghajar Audri dan kedua sahabatnya. Lalu, Lisi melepaskan kupluknya sehingga kepalanya yang botak nampak, sedangkan Elva mencoret-coret kepalanya.

"Wow, indah banget rambut yang udah aku buat,'' seloroh Elva sambil tersenyum, lalu tertawa ngakak. "Tunggu! Aku rasa ada yang kurang,'' ujarnya seraya berpangku dagu.

Sementara, Ailin merasa muak dan geram. Sebab, Nadila sama sekali tak mau melawan. Tak adakah motivasi dalam dirinya agar tak diinjak-injak seperti itu?

"Ah, bener,'' seloroh Audri sambil mengambil spidol dari tangan Elva lalu mencoret-coret wajah Nadila.

"Nah sekarang kan, keliatan cantik banget,'' pungkas Elva sambil cekikikan.

"Hah.'' Ailin mendengkus kesal lalu mengutuk Nadila dalam hatinya, benar-benar bodoh dan terlalu pengecut.

Tangisan Nadila semakin deras, ia pun semakin tertunduk dengan seiring Audri beranjak. Kemudian ia mengambil boneka buatan ayahnya itu.

"Ah ... mau diambil, ya?'' tandas Audri yang dikira Nadila benar-benar telah pergi. "Ayo ambil! Ambil sama mulut kamu, biar ayah kamu bangga kalau anaknya bener-bener menghargai boneka buatannya.'' Ia memasukkan kepala Nadila ke dalam tong sampah sehingga sesak dibuatnya.

Hah, rasanya Ailin bertambah muak terhadap perilaku mereka yang semena-mena merundung orang lain demi menunjukkan eksistensi.

Perlakuan buruk tersebut tak hanya dilakukan pada satu orang saja, melainkan pada siapapun yang menurut mereka lemah dan memiliki kekurangan. Seperti pada Prisilla dan Aldov. Selain itu Ailin juga muak terhadap mereka yang dirundung, karena tak pernah mau melawan atau melaporkan. Ah, tak ada yang tahu ketidakberdayaan macam apa yang membuat mereka tak berani melawan. Namun, semoga saja tak ada yang dirundung dan merundung lagi.

Ailin menatap mereka datar-datar saja, lalu berjalan dan melewati mereka sambil mengumpat, "Dasar sampah!''

"Apa kamu bilang Ailin?'' geram Audri, menghentikan langkah kakinya sambil menghampiri dan terlihat Nadila hampir mati tersebab sesak, belum lagi ia harus mencium bau tak sedap dari tempat sampah tersebut.

"Kalian sampah, apa diksi yang aku sebutin kurang indah?'' tanya Ailin masih dengan suara yang datar. "Kalau begitu, kalian bertiga binatang,'' umpatnya lagi sekali lalu beranjak.

"Apa kamu bilang?'' Mata Audri nyaris keluar mendengar pernyataan Ailin.

"Bi-na-tang.'' Ailin mengejanya dengan penuh penekanan, lalu tersenyum sarkastis. "Anjing!'' Tunjuk Ailin tepat di depan wajah Audri, lantas ia menunjuk wajah Lisi dan Elva seraya mengatakan hal yang sama. "Anjing yang layak mati dan dikutuk.''

"Bangsat!'' hardik Audri sambil menjambak rambutnya.

Dengan geram Ailin mencengkeram tangan Audri dan memelintirkannya, lantas beranjak tanpa memedulikannya yang meringis kesakitan. Terlihat dengan santai ia melepaskan ikatan rambut karena rambutnya menjadi berantakan, lalu ia mengikatnya kembali.

Sesampainya di kantin, Ailin langsung memesan bakso dan menanti di salah satu meja yang kosong dengan bosan. Tak lama dari itu Vanya datang bersama senyumannya yang indah serta rekah, seperti biasa Ailin hanya menganggukkan kepala. Lalu, Vanya duduk di sampingnya dan memesan bakso pula.

Tak lama dari itu, Audri bersama teman-temannya memasuki kantin dan duduk di bangku yang sudah menjadi tempatnya yang paten sambil menatap Ailin dengan tajam serta penuh kebencian.

Sementara, terlihat Misbah dan Aldi tengah merundung Aldov dengan cara memasukan jus jeruk ke dalam nasi dan lauk pauknya, lantas mereka berdua menyuruhnya untuk dimakan. Aldov pun menggelengkan kepala.

"Sia bonge, heuh? Burukeun hakan!'' teriak Misbah tepat di telinga Aldov, di depan alat pendengarannya sehingga Aldov meringis karena suaranya terlalu kencang.

"Misbah, dia kan mang tuli sama gak bisa ngomong!'' ujar Aldi sambil tertawa cekikikan.

Ailin mengerlingkan mata kesal, sungguh menjijikkan dan menyebalkan perilaku mereka,

pikirnya sambil mendengkus.

Lantas, Misbah menekan kepala Aldov ke piringnya agar ia memakannya seperti anjing atau

Kucing. Aldov pun terpaksa memakannya dengan cara seperti itu karena merasa tak berdaya.

Jika dilawan, pasti perilaku mereka akan bertambah parah.

"Prisilla!'' panggil Audri berteriak.

Prisilla yang sedang makan siang itu menghela napas, sungguh Audri menjengkelkan.

"Woi, anak orang cacat denger gak Audri manggil?'' teriak Elva yang diikuti oleh gelengan kepala dari beberapa siswa di sana.

"Prisilla, anjing!'' teriak Lisi. "Cepet!''

Lihat selengkapnya