Tanda-tanda kematian itu selalu tiba di setiap saat, hanya saja banyak orang tak menyadarinya.
"Ailin, Mama sama Papa belum pulang,'' ujar Vanya yang yang baru saja turun dari angkot bersama AIlin karena tak dijemput tersebab ibu Vanya dan ayah AIlin sibuk dengen pekerjaan.
Seorang satpam pun menyambut mereka dengan ramah yang kini memasuki perkomplekan. Vanya membalas senyumannya dengan ramah pula dan Ailin hanya merengkuhkan kepala saja tanpa tersenyum.
"Terus?'' tanya Ailin dengan dingin tanpa mengalihkan pandangan dan sibuk membalas pesan dari Arius dengan kesal.
"Aku takut ganti baju sendirian.''
"Kamu udah gede, Vanya!''
"Aku mohon Ailin, setelah nemuin buku itu aku ngerasa selalu diawasin dan selalu mimpi buruk, aku jadi takut tiap saat, apalagi ditambah sama kejadian tadi di kantin."
"Ok,'' kata Ailin seraya berjalan menuju rumah Vanya yang bersebrangan dengan rumahnya.
"Ailin kamu ngerasa hal yang aku rasain juga?''
Ailin menghentikan langkah kakinya dan tertegun diam.
"Buruan ganti bajunya, aku harus beli hadiah buat Arsil terus harus belajar!'' tukas Ailin yang rasanya tak mau percakapan mengenai hal itu berlanjut, karena akan membuat Vanya semakin takut dan ia tak mau itu.
"Ok!''
Vanya kemudian menaiki tangga menuju kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian, lalu seusainya mereka ke rumah AIlin.
Sesampainya di rumah, Vanya dan Ailin melihat Bu Alisa tengah melingkari tanggal 29 Februari tahun 2020 yang akan datang beberapa hari lagi. Rencananya ia dan suaminya akan pergi membawa Ailin dan adiknya yang berusia tujuh tahun ke luar kota untuk menghindari kutukan tahun kabisat yang terjadi di kota ini selama 64 tahun terakhir. Ya, mereka memercayai bahwa tanggal 29 Febuari itu sudah dikutuk, sebab disetiap tanggal tersebut akan ada puluhan remaja berusia kisaran antara 15-17 tahun meninggal dunia tanpa sebab yang jelas, seperti yang dibicarakan sebagian kelas XI bahasa-5 tadi pagi.
Para warga selalu mengaitkannya dengan hal-hal mistis, mereka memercayai bahwa ini adalah ulah iblis. Untuk menghindari kutukan, mendekati tanggal 29 Febuari para orang tua yang memiliki anak remaja sibuk membuat penangkal pada orang pintar. Apa hasilnya? Tetap sama. Begitu pun, meski mereka membawa anak-anaknya pergi dari kota ini.
"Kak, bantuin Arsil dong ngerjain PR, susah nih,'' pinta Arsil dengan manja kepada Ailin yang kini tengah mencium tangan ibunya bergiliran dengan Vanya.
"Udah diajarin kan, sama guru kamu?''
"Ya.''
"Kerjain aja sendiri, kalau kamu nggak bisa itu salah kamu nggak merhatiin dengan baik!''
"Kak Ailin jahat.''
"Ailin, apa susahnya bantu adik kamu ngerjain PR?'' tanya ibunya geram karena anak pertamanya itu benar-benar tak acuh dan egois, selain itu juga keras kepala.
"Salah siapa dia bodoh?'' ungkap Ailin sambil beranjak menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Sama aku aja ya Tan, boleh kan Sil?'' tawar Vanya sambil tersenyum.
"Hmm." Arsil menganggukkan kepala dengan imutnya.
"Duh, Tante sampai lupa belum buatin minum. Mau minum apa, Van?''
"Bebas Tan, apa aja!"
"Baik,'' ucap Bu Alisa sambil beranjak ke dapur.
Setelah lima menit berlalu, Bu Alisa kembali dengan membawa secangkir teh dan menyuguhkannya kepada Vanya.
"Terima kasih banyak Tante.'' Vanya mengambilnya, lalu meminumnya.
"Ibu dan ayahmu masih sangat sibuk?''
Seketika Vanya tertegun diam, ia merasa sedih karena ibu dan ayahnya lebih mementingkan pekerjaan daripada dirinya yang sangat-sangat kesepian. "Iya,'' jawab Vanya seraya tersenyum masam dan terlihat matanya berkaca-kaca.
"Jika kamu kesepian, kamu boleh menghabiskan waktu di sini bersama Ailin. Toh, rumahmu bersebrangan.''
"Iya Tan, terima kasih.''
"Baik, jangan sungkan ya!''
"Baik.'' Vanya menganggukan kepala seraya tersenyum haru. Ia sangat senang, karena ibunya Ailin begitu sangat baik kepadanya.
Sementara itu, terlihat Ailin melepaskan tas dan melemparnya di atas kasur secara sembarangan, kemudian ia berbaring dan kembali memikirkan buku tanpa pengarang dan judul itu. Lalu ia meraih tasnya, berniat mengeluarkan buku itu. Namun buku itu tak ada, ke mana? Pikirnya heran, sebab seingatnya ia memasukkannya. Ah, apa mungkin ketinggalan di kelas dan lupa memasukkannya? Mungkin.
Tok...tok...tok... terdengar seseorang mengetuk pintu dan terdengarlah suara Vanya bertanya, "Lin, udah selesai? Keburu sore, nih."
Ailin sampai lupa, bahwa ia dan Vanya harus segera pergi. "Belum Van, bentar lagi. Sini masuk aja, nggak dikunci kok."
"Aku tunggu di bawah aja, deh.''
"Ok."
Tak lama dari itu, pintu kembali diketuk dan kali ini terdengarlah suara cempreng Arsil memenuhi telinga. "Mana hadiah ulang tahunku? Katanya mau hari ini.''
Ailin menghela napas, lalu beranjak dan membuka pintu, kemudian menatap Arsil dengan tajam.
"Lupa lagi? Katanya mau hari ini,'' eluh Arsil jengkel karena kakaknya selalu saja melupakan hadiah untuknya. Mana ingat hadiah untuk Arsil, tanggal ulang tahun saja ia tidak tahu.
"Mau apa?'' tanya Ailin malas.
"Bukan hadiah namanya kalau aku bilang. Kakak harus menebaknya!''
Ailin menghela napas kasar untuk kesekian kalinya, apa susahnya bicara hal yang diinginkan, ribet banget, pikirnya yang kemudian membentuk bulan sabit dengan terpaksa. "Ok.''
"Harus hari ini karena Kakak udah telat seminggu.''