Tak ada satu orang pun yang bisa lari dari ketakutan sehingga terbunuh secara perlahan.
~Arius~
Arius baru saja sampai di rumahnya dan kini ia tengah melepas seragamnya yang sedikit basah karena jas hujan yang dikenakannya agak tembus, lantas ia bercermin untuk melihat tanda yang telah dibakarnya yang kini terasa sangat sakit. Dilihatnya kulitnya melepuh dengan warna kehitam-hitaman.
Ia bertanya-tanya, apakah hanya dirinya saja yang dikutuk? Bukankah jika semua siswa kelas XI Bahasa-5 yang dikutuk, maka semuanya akan memiliki tanda di waktu yang bersamaan? Ah, tetapi bukankah tanda itu tidak dijelaskan secara rinci dan hanya diberi keterangan bahwa itu adalah tanda seseorang telah dikutuk dan terseret ke dalam permainan yang telah iblis ciptakan.
"Jadi tak indah!''
Arius mendengar seorang perempuan berbisik di telinga kirinya dengan suara yang begitu lembut, namun cukup mengerikan bersamaan dengan petir menyambar dan dingin menusuk.
Arius pun berbalik ke arah sumber suara, tetapi tak ada siapapun. Lantas ia berbalik ke belakang dengan degup jantung yang tak karuan serta dengan napas terengah-engah. Tak ada siapa-siapa pula, mungkin hanya salah dengar saja, pikirnya yang kemudian berbalik badan kembali seraya memegang luka bakar di atas dada kirinya itu.
"Aku harap ini nggak nyata,'' gumam Arius seraya melepaskan tangannya dan hendak beranjak untuk mengambil handuk.
Akan tetapi, secara tiba-tiba terasa ada yang meraba luka bakarnya yang terasa sangat dingin, Arius pun mengalihkan pandangan dan terlihat tangan yang amat cantik mengusapnya dengan lembut.
Arius menelan saliva seraya mengalihkan pandangan ke arah cermin dengan napas yang terengah-engah.
Rasa dingin semakin menyelimuti setiap inci tubuhnya, namun darahnya terasa mendidih, mengalir dengan cepat dan jantung riuh bergemuruh tiada henti. Yang tengah menyentuh lukanya adalah seorang perempuan cantik yang tadi ia lihat, yang memberikannya setangkai bunga matahari.
"Bagaimana sekarang? Indah bukan?'' tanya perempuan itu seraya tersenyum dan terlihat luka Arius sembuh dan tanda lingkaran itu kembali tersemat sempurna di atas dada kirinya. "Jangan dibakar lagi ... boneka kesayanganku!''
Mata Arius membulat sempurna dan kepalanya terasa sangat pusing, ia kelimpungan dengan seiring cerminnya pecah berantakan.
Serpihannya pun mengenai wajahnya dan menanggalkan luka gores yang cukup perih.
Sontak ia melangkah mundur dan berbalik, mencari keberadaan perempuan tadi yang entah siapa? Dan lagi-lagi tak ada.
Lantas ia melihat ada sedikit rambut di pintu masuk kamarnya dan secara perlahan turun ke bawah, begitu pelan sekali dan rasanya seluruh tubuh Arius kaku, tak bisa digerakkan.
Terlihat rambutnya yang berwarna cokelat keemas-emasan itu bertambah panjang ke bawah dan nampaklah wajah perempuan tadi, namun dengan keadaan yang berbeda.
Jika tadi dia sangat cantik, maka sekarang dia terlihat sangat pucat dan tak hentinya menatap mata Arius yang cukup memabukkan itu.
Tubuhnya dengan keadaan terbalik terus turun ke bawah dengan pergeseran yang sangat-sangat lambat. Lebih lambat daripada seekor kroco.
Sedetik kemudian ia pun menyemburatkan senyuman yang cukup membuat buluk kuduk meremang.