Aku telah lari sejauh-jauhnya, namun tetap yang kutemukan adalah tempat kematian. Lembah yang teramat gelap dan menakutkan.
Awan masih saja menangis, tak reda-reda dari tadi membuat dingin semakin menyergap tubuh, memeluk dan menyelimuti. Rasa kantuk tak kunjung datang, sedangkan malam semakin larut, sudah menunjukkan pukul 00:29.
Sungguh rasa penyesalan tak mengizinkan Elva untuk terlelap, bayang-bayang perundungan yang telah dilakukan bersama sahabatnya kepada Prisilla terus menghantui. Entah harus bagaimana agar kantuk datang menyerang? Sementara rasa sepi semakin merasuk, begitu pula rasa takut. Takut secara tiba-tiba hantu Prisilla tiba untuk sekedar menakuti atau bahkan lebih parah, menuntut balas.
Duar ... suara petir mendegam-degam, seakan-akan tengah membelah semesta dengan seiring mati lampu membuat Elva ketakutan setengah mati dan angin berhembus kencang. Terlihat jendela Elva terbuka dan menutup, gordennya beterbangan tak karuan. Ia lupa belum menutup dan menguncinya.
Dengan keberanian yang teramat kecil ia pun mengambil ponselnya dan menyalakan senter, lalu bergegas dari ranjang untuk menutup jendela. Ketika itulah petir kembali mendegam dan ia melihat sesosok orang mengenakan jubah berwarna merah dengan sebagian wajah tertutup.
Ya, Elva dapat melihatnya dengan jelas, berdiri tegap menghadap jendela kamarnya, seperti tengah mengamati dan menanti sesuatu.
"Siapa?'' gumamnya dengan mata yang membeliak.
Napasnya terengah-engah dan jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Rasa takut semakin menyelinap masuk dan memenuhi setiap pembuluh darah. Ia pun dengan segera menutup jendela, membalikkan badan seraya menelan saliva.
Apakah salah lihat? Atau mungkin itu hantu Prisilla? Pikirnya merasa sangat penasaran, maka untuk memastikannya ia kembali membuka gorden untuk melihatnya lagi. Terlihat sesosok itu masih saja berdiri menghadap jendela.
Sekali lagi Elva menelan saliva dengan seiring sesosok itu beranjak. Pergikah? Semoga saja pergi, harap Elva yang tubuhnya semakin berkeringat dan bergemetar hebat.
Tunggu! Dia tidak pergi, melainkan beranjak ke pintu masuk. Elva mulai panik, karena mungkin saja sesosok itu memiliki niat yang jahat, apalagi dia membawa pisau di tangan kanannya.
"Shit,'' dengkus Elva seraya menjambak rambutnya frustrasi. "Pintu aman, kan? Di kunci, kan?''
Ia berjalan ke sana- sini tak karuan dan sesekali ia menggigit jari telunjuknya. Bagaimana ini? Ia kemudian berpikir untuk membangunkan ayah dan asisten rumah tangganya untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan.
Elva keluar dari kamar, mengendap-endap menuju pintu masuk untuk memastikan bahwa pintunya terkunci dengan baik dan memastikan bahwa sesosok itu tidak masuk, namun sayang saat ia sampai di ruang tamu, ia melihat pintunya telah terbuka lebar.
Sesosok yang entah perempuan atau laki-laki itu pun menyemburatkan senyuman yang cenderung asimetris dan langkahnya mulai mendekat.
Refleks Elva melangkah mundur untuk kembali masuk ke dalam kamar sambil berteriak, "Papa!''
Bersamaan dengan itu sesosok tersebut dengan sigap menarik tangannya dan mencengkeram dengan kuat.
"Lepasin!'' teriak Elva seraya berontak, mencoba untuk lolos dari cengkeramannya.