29 (Dua Puluh Sembilan)

Sri Winarti
Chapter #15

Episode 13

Terlihat di ruangan khususnya Bu Helmi tengah menaruh setangkai bunga matahari di atas meja marmer, di samping keranjang buah yang berisi anggur french mosaic1 dan apel red delicious. Kemudian ia menyalakan lilin-lilin berwarna merah dan sesudahnya merafalkan doa seraya tertunduk serta memejamkan mata, sangat khidmat.

Wahai jiwa-jiwa yang resah beristirahatlah dengan damai

Menghilanglah segala kebencian , bebaskan amarah dan dendam

Temukanlah surga itu secepatnya

Sehabis itu ia mendongakkan kepala ke arah dinding yang terdapat puluhan foto siswa-siswi yang salah satunya adalah foto Prisilla, mengenakan seragam khas sekolah miliknya. Dan ... ada yang sangat menarik, di atas foto-foto tersebut ada lukisan perempuan yang sangat-sangat cantik berpakaian khas Eropa seraya memegang setangkai bunga matahari dan tersenyum sangat bahagia.

Tunggu! Bukankah perempuan dalam lukisan tersebut mirip dengan perempuan cantik yang mendatangi kelas XI Bahasa-5 untuk memberikan bunga matahari? Ada apa sebetulnya? Mengapa dipajang begitu spesial di atas foto para siswa yang telah mati di setiap tahun kabisat itu? Apakah beliau memiliki hubungan yang begitu erat dengan apa yang telah terjadi dari tahun kabisat ke tahun kabisat berikutnya? Apakah yang dilakukan beliau barusan adalah sebuah persembahan? Atau hal lain? Ah , entahlah.

"Selamat beristirahat!'' ucapnya dengan seiring pintu ruangan diketuk-ketuk.

Direktur pun dengan segera keluar dari ruangan bergaya Eropa klasik itu dengan nuansa cat merah darah, menutup pintunya rapat-rapat dan menguncinya. Ketika ia sudah keluar dan membuka pintu yang menghubungkan ke koridor, semua lilin yang terdiri dari 29 mati padahal tidak ada celah angin masuk atau apapun untuk memadamkannya dan secara tiba-tiba foto Elva sudah terpajang.

"Ada apa?'' tanya Bu Helmi kepada Jovan yang kini napasnya tersenggal-senggal dengan wajah ketakutan, ngeri, dan sedih.

"Elva, salah satu siswa dari kelas XI Bahasa-5 menggantung di dalam kelas dengan keadaan yang mengerikan,'' tutur Jovan dengan suara terputus-putus karena napasnya tidak teratur.

"Jangan bercanda, Jovan!''

"Saya tidak bercanda Bu, dia benar-benar telah meninggal dengan keadaan yang mengerikan silakan Ibu lihat!''

"Baik,'' ujar Bu Helmi seraya beranjak dengan begitu cepat.

Sesampainya perempuan yang tidak pernah mengenakan baju warna lain selain hitam itu tiba di kelas XI Bahasa-5 terkejut bukan main melihat mayat Elva. Kepala beliau terasa pusing dan perutnya terasa mual, seperti tengah dikocok-kocok dan diperas karena begitu ngeri dan merasa jijik.

Tubuh tinggi kecil itu seketika ambruk, ia tak tahu harus bagaimana nanti menghadapi orang tua Elva dan wartawan yang akan mempertanyakan banyak hal? Kenapa Elva bisa mati dengan keadaan yang begitu mengerikan? Ini adalah pembunuhan, lalu siapa pembunuhnya? Kenapa ia bisa dibunuh dengan cara sekeji itu? Lalu bermacam teori dan terkaan akan menyeruak ke permukaan, memenuhi telinga banyak orang. Cerita-cerita mistis akan dilahirkan untuk dijual karena bertepatan di tahun kutukan. Reputasi sekolah elitnya akan buruk.

Ia akan digonjang-ganjing ke sana kemari, diseret sana sini, disalahkan banyak orang, dan mungkin berbagai tuduhan pun akan ditembakkan. Belum lagi, kasus Prisilla belum tuntas. Bagaimana ini? Pikir Bu Helmi frustasi seraya memegang dahi. Beliau benar-benar merasa buntu dan tak bisa berpikir apa pun.

Ia bangkit dari ketersungkurannya dengan dibantu oleh Jovan serta Arius yang baru saja kembali dari UKS setelah mengantarkan Vanya.

"Jovan, tolong panggilkan Mang Didi ke sini dan katakan pada dia untuk memastikan tak ada siswa yang masuk atau melihat mayat Elva. Untuk Arius kamu bisa, kan tutup semua gordennya? Ibu mau menghubungi polisi dan orang tuanya serta ada hal yang mesti diurus.''

"Baik, Bu.'' Jovan dan Arius menganggukkan kepala.

Jovan beranjak dan terlihat Arius tertegun memikirkan apa perlu melapisi tangannya agar tak meninggalkan sidik jari? Karena jika meninggalkan sidik jari bisa saja dirinya menjadi sorotan pertama oleh pihak polisi, sebab jelas pembunuhnya tidak akan meninggalkan jejak apapun.

Semuanya pasti sudah disiapkan secara matang dan sempurna, makanya sampai digantung di dalam kelas dengan tujuan tertentu. Namun, di sini ada CCTV. Kalau misalnya sudah disiasati semisal dengan cara tak difungsikan atau dimasukkan rekaman yang sebelumnya dengan keadaan gedung yang sama, maka sekarang pastinya sudah normal. Ah, kalau melakukannya secara gegabah juga tak akan mengundang curiga, pikirnya yang kemudian beranjak masuk. Toh, di sana juga sudah ada sidik jari Vanya dan tentunya sidik jari yang lain.

Lihat selengkapnya