29 (Dua Puluh Sembilan)

Sri Winarti
Chapter #19

Episode 17

Ibu Prisilla pergi ke suatu daerah terpencil yang cukup jauh dari tempat tinggalnya dengan penduduk yang masih dikatakan memiliki banyak ketertinggalan. Hanya sekitar lima sampai sepuluh orang yang mengenal teknologi selain televisi, yaitu ponsel dengan tingkat kepintaran serta kecanggihannya masih sangat jauh. Untuk mendapatkan signal pun perlu pergi ke dataran tinggi.

Beberapa jalanan yang dilalui merupakan jalan setapak dengan keadaan cukup curam, di kelilingi pohon-pohon tinggi serta lebat. Suara kicau burung dan jangkrik sesekali terdengar mengiringi langkah kaki yang harus menapak setiap turunan atau sebaliknya dengan hati-hati, agar seketika tak tergelincir dan jatuh, terlebih jalanannya masih sedikit becek sisa hujan semalam. Dan terlihat kebun-kebun garapan warga seperti kebun cabai, sawi, kol, dan sebagainya nampak sangat subur bermandikan cahaya mentari yang masuk melalui celah-celah dedaunan dan ranting-ranting yang selalu sendu.

Lalu, pada akhirnya setelah beberapa jam perjalanan mereka sampai di depan sebuah rumah yang materialnya terbuat dari kayu dan bilik-bilik bambu. Rani pun lekas-lekas membuka pintu dan terlihat dua polisi itu mengintip secara diam-diam di sela-sela.

Perempuan bermata lelah itu kembali meneteskan air mata, tatkala melihat seorang remaja berambut pendek tengah memainkan pisau yang ia tusuk-tusukkan ke papan, membentuk lingkaran sehingga bunyinya terasa memilukan. Wajah juwitanya terhalang oleh rambut berwarna hitam kecoklat-coklatan yang begitu halus dan indah. 

Kemudian terlihat ia meneteskan air mata dengan begitu deras. Ada hasrat yang amat besar yang ingin diluapkannya supaya mendapatkan sebuah kepuasan. Sebuah balasan dendam yang harus dibayar tuntas.

"Prisilla!''

Mendengar suara yang teramat lembut namun tegas serta tak asing, Prisilla mengangkat kepala dan menatap sesosok perempuan yang hampir setengah abad sedang tersenyum bahagia dengan tatapan yang kosong, lantas ia menyeka air matanya dan menyuguhkan senyuman.

"Syukur, kamu masih hidup,'' tutur Rani sambil memeluk Prisilla dengan erat.

"Ya, Bu.''

"Kamu benar lompat ke dalam bendungan, sayang?''

"Hmm.'' Prisilla mengamini sambil kembali menderaikan air mata.

Ya, Prisilla memang melompat ke dalam bendungan dan membiarkan tubuhnya untuk tenggelam secara perlahan. Akan tetapi, bayang-bayang sang ayah datang bertandang, begitu pula dengan sang ibunda dan adiknya sehingga ia mengurungkan niat untuk melanjutkan aksi bunuh diri dan berenang kembali ke atas permukaan sebisa-bisanya meski tak kuat lagi, namun jika dirinya mati maka janji yang telah dibuat tak akan bisa dipenuhi untuk membelikan sang ayah tangan palsu dari hasil kerja serabutannya sepulang sekolah. 

Janji untuk menyekolahkan Pram setinggi-tingginya. Membelikan ibunya nanti peralatan-peralatan dapur lebih lengkap dan bagus seperti yang diinginkan untuk memasak makanan jauh lebih enak serta variatif karena beliau sangat suka dengan kegiatan tersebut.

Kalau dirinya mati, maka tak akan lagi yang mendengarkan cerita Pram walau terkadang tak penting sama sekali. Siapa yang akan membantu anak cerewet itu belajar dan memeluknya saat menangis karena pedih dan kejamnya dunia ini?

Bukankah perilaku semua orang yang begitu tak adil serta menyakitkan tak akan sebanding dengan luka yang akan tertanggal di hati sang bunda, sang ayah, serta sang adik yang menjengkelkan tetapi membuat bahagia dan semangat menjalani hari? Pikir Prisilla waktu itu yang kemudian mendapati seorang mayat remaja dari sekolah lain, mengenakan seragam putih abu.

Sebisa-bisa ia mencoba membawanya ke atas permukaan, tetapi tak bisa dan air mulai pasang karena hujan mulai bertambah deras, maka ia akan terseret gelombang air. Ia pun mengikat jasad seorang perempuan yang sama sekali tak dikenal itu oleh akar tumbuhan. 

Sesampainya di permukaan ia melihat para TIM SAR tengah berdiskusi di seberang sehingga ia merasa lega, karena akhirnya jasad perempuan malang itu akan segera dievakuasi dan diantar ke orang tuanya untuk disemayamkan dengan layak.

Ia membaringkan tubuh di atas rerumputan nan hijau seraya menghirup udara sebanyak-banyaknya. Rinai-rinai hujan berjatuhan bersamaan dengan air matanya yang tak kalah deras karena ia akan menghadapi hari-hari yang sangat menyakitkan serta menyiksa kembali. Kenapa Tuhan aku harus bernasib seperti ini?

Kemudian ia naik dan mengatakan kepada salah satu tim SAR, bahwa mayat yang dicarinya diikat oleh akar tumbuhan tepat di bawah jembatan agar memudahkan. Ya, ia mengira bahwa para tim SAR sedang mencari mayat itu, bukan dirinya.

"Tolong jangan lakukan hal yang nekat lagi, Ibu nggak sanggup harus hidup tanpa kamu.''

"Maaf!'' isak Prisilla.

"Dia bunuh diri?'' tanya seorang perempuan berusia 65 tahun yang tak lain neneknya dengan kaget.

Iya, Prisilla tak langsung pulang ke rumah, melainkan ke rumah neneknya tanpa mengabari karena sulitnya jaringan dan jika pergi ke dataran tinggi tak memungkinkan, sudah malam dan cuaca sedang sangat buruk. Ia juga terlalu lejar dan ingin segera beristirahat dipangkuan sang nenek yang selalu menenangkan dikala dirinya benar-benar kacau. 

Sejak kecil neneknya selalu menjadi tempat untuk Prisilla pulang, istirahat dari berbagai hal-hal yang menyakitkan jika ia tak kuat lagi menanggung semuanya.

"Cu!'' ujar sang nenek heran setelah membuka pintu dan menatap cucu paling besarnya itu yang basah kuyup dan penuh lumpur karena beberapa kali jatuh di jalanan menuju ke sini. "Wengi-wengi siga kieu ka dieu bari hujan, naha teu enjing?1" tanyanya seraya mengalihkan pandangan ke jam dinding tua yang menempel di atas televisi berukuran kecil, yang menunjukkan pukul 20:34. " Atanapi aya naon?2''

Prisilla mencoba mengatur napasnya yang memburu dan terlihat kakinya bergemetar, sudah tak kuat lagi berdiri, terlebih sekujur tubuhnya terasa sakit begitu pula dengan luka-luka kecil di kedua tangannya akibat bergesekkan dengan ranting-ranting serta tumbuh-tumbuhan yang berduri.

Melihat cucunya kelelahan perempuan bermata teduh dan penuh kasih sayang serta ketulusan itu memapahnya masuk, menyiapkan pakaian yang disimpan di sini beberapa setel untuk ganti ketika berkunjung seperti ini. Selain itu beliau menyalakan api di tungku untuk menghangatkan tubuh Prisilla dan minuman hangat yang kemudian diteguk sampai habis.

"Ibumu tahu kamu ke sini?'' tanya perempuan bernama Edeh itu seraya mengusap-usap rambut Prisilla yang berada di pangkuannya.

Tak ada jawaban, lalu ia periksa ternyata Prisilla sudah tertidur lelap.

Apa ada masalah dengan orang tuanya sampai malam-malam seperti ini ia kemari dengan keadaan hujan-hujanan? Pikirnya.

"Teh Prisilla!'' panggil perempuan berusia 10 tahunan dengan penuh antusias dan gembira.

"Sstttt, dia sedang tidur.''

"Ya, sayang banget padahal kangen,'' ujar Farida dengan kecewa seraya duduk di sampingnya, berharap nanti Prisilla terbangun.

Farida pun memilih bercerita kepada nenek Edeh, bagaimana ia menjalani hari dari pergi ke sekolah sampai sehabis pulang mengaji. 

"Katakan yang jujur, Cu!'' desak Nek Edeh khawatir dan kecewa kepada Prisilla.

Lihat selengkapnya