Terlihat Ailin berbaring di atas kasur sambil menatap foto seorang perempuan yang diberikan oleh direktur. Ia masih belum bisa tidur, padahal ini sudah sangat larut sekali, pukul 00: 29.
Pikirannya dipenuhi oleh banyak pertanyaan yang mungkin salah satunya adalah benarkah semua yang dikatakan oleh direktur? Rasanya mustahil dan terdengar seperti fiksi, tetapi hal-hal semacam itu memang tak pernah bisa dijelaskan oleh logika. Jika betul, maka itu artinya sebentar lagi hal yang sangat mengerikan akan terjadi. Hah, haruskah percaya?
Lalu ia mendengar beberapa anak kecil tertawa nyaring yang saling bersahutan dengan suara tangisan. Ia pun beranjak dari keterbaringan dan membuka gorden jendela warna putihnya untuk melihat anak siapa yang bermain di malam-malam seperti ini. Dilihatnya ada tujuh anak kecil yang terdiri dari tiga anak laki-laki dan empat anak perempuan yang salah satunya adalah Arsil, nampaknya. Perawakan dan rambutnya mirip, terlebih dia membawa boneka pemberian Ailin.
Terlihat ia berdiri agak jauh dari keenam anak yang lainnya sambil tertunduk dan terisak-isak, seperti tengah diasingkan.
Ailin beranjak keluar kamar, menuruni anak tangga, membuka knop pintu, lalu pagar dan menghampirinya dengan seiring Ara, Vanya, Misbah, dan Gusti keluar dari rumahnya masing-masing.
"Ailin, adik kamu sama temen-temennya .... '' ucap Misbah terpotong sambil mengerutkan dahi, sebab ia tak mengenal keenam anak berwajah pucat tetapi tetap manis itu, yang kemudian pergi dengan seiring lampu meredup lantas mati secara keseluruhan.
"Arsil, ayo masuk! Ngapain jam segini di luar, heuh?''
Anak perempuan itu mengangkat kepala sambil menyeka air mata dan menatap Ailin lekat-lekat serta Ara, Vanya, Misbah, dan Gusti secara bergantian. Ternyata bukan Arsil, jadi anak siapa dia? Begitu pun dengan keenam anak tadi, karena Ailin bersama teman-temannya belum pernah melihat mereka semua. Masa iya anak-anak dari komplek lain? Memangnya orang tua mereka tak khawatir anak-anaknya bermain malam-malam seperti ini? Namun jika dipikir-pikir dengan logika, mana mungkin pula.
"Jangan-jangan -'' gumam Ara, namun kalimatnya terpotong oleh anak tersebut.
"Yang gelap itu kematian dan kesepian, karena kita sendirian, selalu saja sendirian.'' Suaranya terdengar parau, menyedihkan, dan menakutkan.
Seketika mereka tertegun diam dengan jantung bergemuruh riuh, hawa yang sangat dingin menyergap, keringat dingin keluar dengan deras. Sebab rasa takut menyelinap masuk, membuat seluruh roma meremang.
"Apa kalian mau membantuku untuk pulang?"
"Nggak!'' Ailin menggelengkan kepala dengan kuat, begitu pun dengan teman-temannya. Lantas anak perempuan itu menangis dengan keras dan tiba-tiba hilang.
Sesaat kemudian, ada kelopak-kelopak bunga matahari yang entah berasal dari mana menghujani bersama puluhan kupu-kupu berwarna hitam yang terus mengitari tubuh mereka. Lalu kelopak-kelopak bunga matahari itu berubah menjadi tetesan-tetesan darah yang bau anyirnya sangat menyengat, memandikan tubuh mereka yang tak hentinya bergemetar. Puluhan kupu-kupu hitam itu pun menyerang mereka semua, mengigit setiap kulit.
Gigitannya, Arghh sakit dan menimbulkan gatal serta panas. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, selain menjerit ketakutan dan kesakitan. Ah, hewan-hewan lucu, cantik, dan menggemaskan itu jika disukai iblis jadi mengerikan ternyata dengan diberi warna kematian.
"Aku mohon!'' Terdengar ada yang memelas dengan lirih.
Dilihatnya oleh mereka yang kini terkujur lemah seorang perempuan remaja mengenakan jubah berwarna merah, berjalan mendekati dengan seiring puluhan kupu-kupu itu hilang.
Tunggu, perempuan berjubah merah bukankah dia yang membunuh Elva? Betul kan, dia memakai jubah warna merah? Masih ingat? Jadi, Elva dibunuh oleh iblis sebagai tumbal pertama untuk memenuhi hasratnya?
Bisa jadi, bisa tidak. Jika dilihat caranya mati dan dibunuh, sangat besar kemungkinannya dilakukan oleh manusia. Pembunuhan berencana yang begitu sempurna dan dipikirkan dengan amat matang. Oleh seseorang yang memiliki dendam amat besar, tetapi oleh siapa? Prisilla? Orion? Aldov? Nadila? Ah, entahlah.
Wajah perempuan itu tak terlihat kecuali bibirnya yang indah dan ranum. Pastinya dia sangat cantik dan manis. Ia pun membuka tudungnya dan betapa kagetnya Ailin, Ara, Misbah, Vanya, dan Gusti. Sebab wajah bagian atasnya tinggal tengkorak bermata boneka berwarna merah darah. Terlihat ia tersenyum dengan seiring darah keluar dengan deras dari separuh wajahnya itu.
Sungguh mereka ingin lari dan masuk kembali ke dalam rumah, akan tetapi tak bisa. Tubuh mereka tak dapat digerakkan sama sekali, sebab sakit, panas, dan lemas.
"Aku mohon, karena aku sudah lelah." Sosok itu memelas, lantas menghilang secara perlahan dan lampu-lampu kembali menyala. Rasa sakit dan panas mereka pun hilang begitu saja.
~*~
Tentu saja bukan hanya Ailin, Vanya, Ara, Misbah, dan Gusti yang diteror kembali. Akan tetapi seluruh siswa kelas XI Bahasa-5 yang sepagi ini sudah disuguhi hal yang mengerikan, sampai-sampai mereka semakin takut, ngeri, syok, bingung, dan penuh tanya. Bagaimana tidak? Di papan tulis terdapat kalimat yang ditulis oleh darah., "Di pagiyang damai kelopak bunga matahari jatuh V. Di siang yang resah jatuh VII. Disenja yang indah berawan darah jatuh IX. Di malam yang merana jatuh XIII, laluberhenti berguguran." Apa maksud dari kalimat tersebut? Siapa yang menulisnya? Pikir mereka semakin resah dan takut.
"Secara berturut-turut ngalamin hal mistis yang mengerikan dan sekarang apa?'' isak Helen sambil memegang kepalanya yang terasa mau pecah.