Setelah bel pulang dibunyikan, semua siswa berhambur keluar kelas dan terlihat Jovan tertegun diam sambil memerhatikan Ailin. Ia ragu untuk mengajaknya kembali menuju alamat seorang perempuan yang diberikan oleh direktur untuk lebih meyakinkan dirinya bahwa kutukan kabisat yang berkaitan erat dengan iblis itu memang benar-benar terjadi.
Selain itu untuk mencari jalan keluar karena mungkin perempuan dalam foto itu bisa membantu untuk menyelesaikannya, sebab ia pernah terlibat. Akan tetapi, bagaimana caranya mengajak Ailin? Haruskah main seret saja sama halnya seperti Arius? Ya, tak ada cara lagi, pikirnya yang kemudian memegang erat tangan mulus Ailin dengan kencang dan menyeretnya.
"Kita harus ke alamat itu!''
"Gak usah diseret, tolol! Aku udah putusin ikut kamu.''
Seketika Jovan melepaskan genggamannya seraya menganga. Rasanya ia tak percaya, seorang Ailin yang keras kepala sedia ikut dengannya tanpa harus dipaksa.
Ailin masih perlu suatu hal untuk percaya bahwa dirinya dan yang lain betul telah masuk ke dalam permainan iblis itu sebagai sebuah kutukan. Ya, harus ada banyak hal yang mendukung pendapat-pendapat yang sudah diluncurkan dan itu semua ada hal yang wajar bagi seorang Ailin Wajdi yang memiliki tabiat keras kepala dan tak mudah percaya.
Lalu, Jovan memberikan helm kepadanya dan dengan segera mereka bergegas ke rumah Mega yang jaraknya cukup jauh dari sekolah. Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan Arius yang sama sekali tak memakai helm dan itu jelas melanggar. Ternyata dia cepat juga pulangnya, sudah tahu-tahu ganti baju dan sekarang entah akan ke mana lagi? Benar-benar tak mau diam di rumah.
"Mau ke mana kalian woy? Jangan bilang mau mojok!'' teriak Arius ketika jarak mereka yang sama-sama menunggangi motor agak dekat.
Terlihat Ailin menatap Arius dengan tajam, lalu memicingkan mata sebal dan malas. Sementara itu Jovan hanya tersenyum untuk menanggapinya dengan seiring motor mereka saling melewati satu sama lain.
Ailin tertegun diam, apa benar itu Arius? Pikirnya yang kemudian membalikkan badan dan menatap pundak Arius yang tengah menggerutu karena tak dianggap oleh mereka, yang kini semakin jauh. Ya, Ailin merasa was-was, takut itu bukan Arius tetapi semacam makhluk tak kasat mata atau apalah itu. Akan tetapi kalau diingat-ingat, tengil begitu memang Arius sih, pikirnya lagi merasa lega.
Tak lama dari itu mereka sampai di sebuah rumah yang lumayan cukup besar dengan bergaya Eropa klasik yang begitu khas dengan halaman yang begitu luas, di tanami rerumputan nan hijau dengan berbagai bunga yang begitu cantik. Halaman yang bersih dan begitu nyaman sehingga Jovan dan Ailin yakin di dalam rumah jauh lebih bersih dan nyaman.
"Benar kan, ini alamatnya, Lin?''
"Kalau bukan, kita nggak akan ke sini,'' tutur Ailin seraya menyipitkan mata kesal karena bisa-bisanya Jovan bertanya, sedangkan alamatnya sangat-sangat jelas tertulis dan mustahil salah.
"Baiklah,'' desah Jovan agak kesal pula, padahal ia hanya ingin memastikan saja. Beruntung ia sudah terbiasa dengan sikap dan nada bicara Ailin yang selalu tak bersahabat.
Lalu ia menekan bel dan tak lama dari itu datang seorang laki-laki paruh baya, membuka pagarnya. Jovan merengkuhkan kepala sambil tersenyum ramah dan hangat, sedangkan Ailin hanya merengkuhkan kepala saja tanpa memberikan senyuman.
"Mau ketemu siapa ya, De? Mau ketemu-''
"Kami mau ketemu Kak Mega," potong Ailin tak mau berlama-lama dan berbasa-basi karena semuanya hanya membuang-buang waktu saja.
"Nona Mega?'' tanya laki-laki itu memastikan. Terlihat wajahnya yang ramah menjadi sendu dan matanya berkaca-kaca.
"Ya,'' jawab Jovan heran, kenapa laki-laki paruh baya tersebut nampak sedih ketika mengatakan nama nyonyanya? Begitu pun dengan Ailin.
Laki-laki paruh baya itu mengira bahwa mereka ingin bertemu dengan adiknya Mega yang masih kelas XI, karena batik yang mereka kenakan sama.
"Mohon maaf De, Nona Mega sudah meninggal enam tahun yang lalu.''
"Sungguh?'' tanya Ailin dan Jovan serempak.