Ketakutan dan luka adalah kesepian sejati. ~Sebelas Bahasa-5~
Pukul 00: 29 tepat dan terlihat Ailin tengah menatap lekat-lekat buku tanpa pengarang dan judul itu sambil memikirkan sesuatu. Entah apa yang ia pikirkan, mungkinkah ia berpikir tentang tadi di pusara semisal apa mungkin tadi adalah rohnya si aku? Mungkinkah dia yang menulis buku ini dan sengaja memberikan kepada salah satu siswa yang akan terlibat dalam permainan terkutuk itu, agar bisa menyelesaikannya? Lalu, hal apa yang ingin dicapai oleh roh kesepian dalam permainan itu, jika bukan hanya sekedar nyawa? Dan apa permainannya bisa dibatalkan? Jika bisa, dengan cara apa? Diusir dengan sebuah ritual atau semacamnya?
Ailin menghela napas kasar sambil menempelkan kepala di atas meja belajar dan tak lama dari itu kupu-kupu cantik berwarna merah hinggap di atas punggungnya, lantas menghilang begitu saja. Setelah itu keluar sepasang tangan yang berlumur darah dan busuk, mencekik lehernya dengan kencang. Refleks Ailin memegang tangan tersebut yang terasa dingin, becek dan berlendir. Ia berusaha melepaskan, namun sangat sulit sekali.
Terlihat wajahnya menjadi pucat pasi, matanya membeliak. Urat-urat menegang mengantarkan kesakitan-kesakitan, dan ia sudah tak kuat lagi. Treett ... lehernya diputarkan dengan kencang. Ia menjerit kesakitan, kemudian menutup mata.
Tik ... tik ... tik ... tik ... tik... lima detik kemudian ia membuka mata sebelah kanan dengan napas terengah-engah, menghirup udara sebanyak-banyaknya. Ya, mata kirinya tak dapat dibuka karena pisau yang tajam menancap dengan sempurna sehingga terasa begitu sakit, perih, dan ngilu. Begitupun dengan seluruh tubuhnya sampai-sampai tak bisa digerakkan sama sekali tersebab dipenuhi dengan luka cakaran dan sayatan. Darah tak henti mengalir dan Ailin benar-benar panik serta takut setengah mati. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta pertolongan kepada ibu dan ayahnya, tetapi tak bisa. Sesaat kemudian pisau di mata kirinya menghilang. Namun, tidak dengan rasa sakit dan darahnya.
Tiba-tiba tubuh Ailin melayang, lalu terhempas menerobos kaca jendela sehingga pecah berserakan. Ia terjerembab jatuh ke bawah, keadaannya semakin parah dan mengerikan. Sekuat-kuatnya ia berusaha bangkit untuk kembali masuk ke dalam rumah dan meminta pertolongan. Sekoyong-koyong ia berusaha berdiri dan berjalan, namun tak mampu dan kembali jatuh. Ia pun merangkak dan sesampainya di depan pintu, pintunya terbuka begitu saja. Lalu Ailin terangkat dengan sendirinya dan berjalan menuju kamar ibunya, seolah-olah ada yang mengendalikan.
Setelah sampai di depan kamar ibunya, tubuh Ailin kembali terjerembab. Terlihat sang ibu dan ayah begitu mengerikan, penuh luka cakaran dan sayatan. Selain itu leher mereka hampir putus. Begitu pun dengan adik perempuannya, menggantung di atas atap dengan keadaan begitu mengerikan sambil memegang boneka. Ailin menangis terisak-isak, berharap ini adalah mimpi, lalu ia terbangun dan mendapati keluarganya baik-baik saja. Rasanya lidah tercekat, dada sesak dan jantung terasa ditusuk-tusuk belati tanpa ampun.