"Sayang, bangun! Bangun! Kamu nggak apa-apa kan?'' Ibunya Ailin mengguncang-guncangkan tubuhnya yang tergeletak bersama genangan darah, setangkai bunga matahari dan pecahan guci.
Rasanya itu seperti tersambar petir di tengah gurun gersang, diporak-porandakan badai lautan dan rasanya separuh jiwa hilang entah ke mana? "Bangun!''
Ibunya memeriksa tubuh Ailin untuk memastikan bahwa ia tidak terluka. Selagi itu sang ayah memeriksa nadi dan pernapasannya, syukur masih ada.
"Bun, kita bawa saja ke rumah sakit! Takutnya kenapa-kenapa.''
"Jangan buat Bunda takut!''
Ailin mendengar jelas semua kalimat ibu dan ayahnya, lalu perlahan-lahan ia membuka mata yang cukup sulit. Hah, betapa bahagianya ia melihat ibu dan ayahnya baik-baik saja. Kemudian ia memeluk kedua orang tuanya sambil mengucapkan syukur membuat kedua orang tuanya merasa sedikit lega sekaligus agak terheran-heran.
"Kamu nggak apa-apa, kan?'' isak ibunya sambil memeluknya lebih erat.
Ailin melepaskan pelukan ibu dan ayahnya, kemudian meraba mata kirinya, dada, dan seluruh anggota tubuh. Semuanya normal, tak ada luka atau apapun. Jika semalam nyata, kenapa semuanya normal-normal saja? Jika mimpi, kenapa ada sisa-sisa genangan darah, setangkai bunga matahari, dan pecahan guci?
"Mana Arsil?''
"Dia masih tidur, sayang.''
"Kamu nggak apa-apa, kan? Kamu nggak terluka, kan? Ada apa? Darah siapa ini?'' tanya ayahnya khawatir sekali.
"Bun, Yah, aku baik-baik aja.''
Ailin beranjak ke kamar Arsil dan memeluknya erat-erat sambil menangis bahagia hingga Arsil terbangun dan menggerutu karena merasa terganggu. Namun seketika perasaannya luruh, ia merasa bahagia dipeluk seperti ini oleh kakak satu-satunya itu.
Sungguh, Ailin tak tahu akan seperti apa jadinya jika semalam itu nyata, keluarganya meninggal secara mengenaskan. Ia benar-benar tak sanggup jika itu terjadi. Bagaimana pun Ailin sangat mencintai dan menyayangi Arsil, terutama kedua orang tuanya, hanya saja ia tak tahu cara mengekspresikan hingga nampak begitu tak acuh.
"Terima kasih karena kamu baik-baik aja,'' ucapnya sambil melepas pelukan, lalu menyeka air mata. "Terima kasih, terima kasih Tuhan."
Lantas ia beranjak meninggalkan Arsil yang masih melongo karena terheran-heran dengan sikapnya itu.
"Bun, Ayah, aku kembali ke kamar,'' pamit Ailin lirih sambil mengambil bunga matahari yang tergeletak bersama genangan darah, lalu menaiki anak tangga dan memasuki kamarnya yang berantakan.
Ya, jika mimpi maka kamarnya tidak akan berantakan dan kaca jendela tak akan pecah, tetapi kenapa rasa sakit yang dirasakannya sekarang hilang? Matanya juga baik-baik saja. Ya, ini juga persis yang dialami si aku dan teman-temannya dalam buku tanpa pengarang dan judul itu. Hmmm ... ilusi, ya?
"Lin, bener kamu nggak apa-apa?'' tanya ibunya tambah khawatir ketika melihat kamarnya begitu berantakan, terutama setelah melihat jendela kamar pecah. "Apa ada orang jahat? Tolong beritahu Bunda, biar Bunda lapor ke polisi.''