Kurasa menjadi teman tak perlu terlalu dekat, cukup menghargai, tak menyakiti, apalagi membully. Jika terluka parah dan terlalu sakit, kata maaf akan menjadi tak bermakna, sebab terlalu mahal. Di dunia ini tak semua manusia murah hatinya, yang dengan mudah dan dengan senang hati memaafkan. ~Vanya~
"Teman-teman, liat ini!'' ucap Jovan sambil menunjukkan kertas lupuk dan setangkai bunga matahari yang ditemukan di bangkunya.
Teman-temannya langsung memerhatikan apa yang ditunjukkan oleh Jovan dan membacanya. Selamat datang di permainan 29 memburu hadiah atau yang sering disebut permainan terkutuk yang akan tergelar malam ini!
Tak lama dari itu terdengar suara ratusan burung gagak dengan seiring Aldov menyelesaikan susunan warna di rubik dengan sempurna, mereka pun beranjak ke arah jendela. Dilihatnya ratusan gagak mengitari gedung sekolah dan hal tersebut sama persis seperti dalam buku tanpa pengarang serta judul itu, saat permainan nyawa hendak digelar.
Untuk memastikannya, Jovan pergi ke kelas XI bahasa-4 dan bertanya kepada beberapa siswa kelas tersebut, apakah mereka melihat ratusan gagak juga atau tidak? Mereka menjawab tidak dan mengatakan bahwa Jovan sedang berhalusinasi.
"Tanda permainan sudah datang,'' gumam Arius sambil menatap ratusan gagak tersebut dengan mata yang berkaca-kaca.
"Jam 12 malam, setelah memasuki tanggal 29 permainan akan dimulai,'' gumam Nadila semakin erat memeluk boneka replika Ray.
"Nggak, nggak, aku gak mau masuk ke dalam permainan itu, aku gak mau mati! '' isak salah satu dari mereka.
Sementara itu terlihat Direktur tengah berdiri di depan jendela ruangannya sambil menatap langit. "Tanda permainan sudah didatangkan,'' katanya yang kemudian menghela napas panjang, lalu keluar dan melihat siswa kelas Bahasa-5 yang kini tengah menatap langit pula dengan sendu. Terlihat di matanya yang nampak lelah itu memancarkan ketakutan, kekhawatiran dan keresahan.
Di sudut lain, terlihat pula Bu Hanindia tengah berdiri di depan pusara Mega sambil mendongakkan kepala ke arah langit, menyampaikan harapan kepada Tuhan agar Arius tak masuk ke dalam permainan terkutuk itu .
"Haha." Prisilla tertawa terbahak-bahak. "Semoga aja yang pertama terbunuh adalah kamu Audri sama Lisi,'' seru Prisilla yang belum menghentikan tawanya yang entah kenapa terdengar menyeramkan.
"Diam kamu! Dasar gila,'' teriak Lisi geram dengan seiring Prisilla menatapnya tajam-tajam serta penuh kedengkian dan kebencian.
"Apa kamu bilang?'' Audri beranjak lalu menarik kerah seragam Prisilla dengan nanar, terlihat pipinya merah padam, giginya bergemertak. "Berani-beraninya kamu bilang gitu!'' geramnya sambil menampar-nampar wajah Prisilla dengan keras. Sungguh itu sangat menyakitkan, Prisilla pun menangkap tangannya, lalu mencengkeramnya dengan kencang.
"Bakal aku pastiin, kamu sama Lisi terbunuh di permainan terkutuk itu,'' bisik Prisilla tepat di telinga kanan Audri, dan entah dari mana hawa dingin menyergap? Hingga rasanya Audri semakin takut dan resah.
"Berisik!'' Audri semakin mencak-mencak sampai menarik dan membanting tubuh Prisilla ke tembok.