Kukira yang gelap hanyalah kematian dan kesepian saja, tetapi ada selainnya. Ketika kita menutup mata dan hanya mengikuti aturan sendiri. Tak mau bersimpati, apalagi berempati pada mereka yang terluka. Berpura-pura tak tahu, lalu memasang senyuman palsu tanpa mengutip tanda tanya.
~Jovan~
Malam yang merana akan segera berlalu dan bunga matahari akan berhenti berguguran ... la ... la ... la ... la....
Alia bersenandung sambil menyeret kapak besar hingga terdengar memilukan, sret ... sret ... sret ... membuat Caca yang bersembunyi di bawah meja paling sudut ruangan kelas XII Bahasa-3 ketakutan dan resah karena kematian kini sudah berpendar dan membelenggu, ia tak bisa lari.
"Ma, Pa, aku mau pulang,'' isaknya yang kemudian menutup mulut dan menghentikan tangisan.
Trag ... Alia menghempaskan kapak besarnya ke meja sehingga terbelah dua, membuat Caca semakin gemetar ketakutan dan menangis dengan deras.
"Jadi begitu?'' ujar Alia sambil tersenyum dan menatap bangku paling sudut, lalu ia berjalan sambil menyeret-nyeret kapaknya kembali. "Mau mati sekarang?'' tanyanya sambil memiringkan kepala dan tersenyum dengan rekah serta penuh hasrat membuat Caca menangis lebih deras dan takut bukan main.
Alia pun menarik rambut Caca dan menyeret paksa untuk keluar dari bawah bangku.
"Lepasin aku, Al!'' isak Caca seraya berontak dan memukul-mukul tangannya yang kini semakin kuat menjambak rambut indahnya.
Kemudian Alia membenturkan kepala Caca ke tembok berkali-kali sehingga terasa pusing dan sakit. Penglihatannya menjadi tak jelas dengan seiring ia memegang kepalanya yang terus mengeluarkan darah. Tubuhnya terasa lemas dan seketika ambruk. Sehabis itu Alia kembali menyeretnya yang mulai kehilangan kesadaran, lantas ia kembali diseret dan dibaringkan dengan posisi terlentang.
"Sudah siap?'' tanya Alia seraya mengangkat kapak dan membelah tubuhnya seperti membelah kayu.
Darahnya pun memenuhi seluruh tubuh Alia yang kini menyemburatkan senyuman penuh kepuasan seraya melihat tubuh Caca yang telah terbelah dengan lekat. Ia pun tertawa terbahak-bahak.
Sementara, terlihat Hilman di atas tangga lantai keempat tengah menangis sambil memegang kepalanya dengan amat frustrasi.
"Aku ngebunuh? Aku ngebunuh?'' ujar Hilman sambil memandang mayat Dandi yang tergeletak di bawah tangga penuh rasa bersalah, takut, resah, dan entah apa lagi? Hanya ia yang tahu perasaan macam apa yang tengah berkecamuk. Sungguh ia tak sengaja mendorongnya ke bawah saat berusaha menyelamatkan diri dari bantaiannya. "Gimana ini? Maaf Dandi, aku nggak sengaja,'' sesalnya.
Tentu, bukan hanya Hilman yang tak sengaja membunuh boneka iblis, melainkan juga sebagian teman-temannya.
Di sudut lain terlihat Danista berlarian dengan napas terengah-engah karena Misbah hendak membunuhnya. Sungguh ia sudah sangat letih dan tak kuat lagi berjalan. Terlihat tubuh tinggi kecilnya itu penuh dengan darah teman-temannya yang telah terbunuh dan mengenainya sehingga terasa sangat tak nyaman. Lengket dan bau anyir yang begitu menyengat.
Lalu, tiba-tiba tangannya ada yang menarik hingga jantungnya terasa lepas dengan seiring senja yang indah berawan darah berakhir.
"Arrghhh ....'' Ia menjerit ketakutan seraya mencoba melepaskan cengkeram di tangan lembutnya itu.
"Sstt .... ini aku, Ailin!'' bisik Ailin membuat Danista bernapas lega.
"Kamu nggak apa-apa?'' tanya Vanya.
Danista menggelengkan kepala, lalu mereka beranjak menuruni anak tangga untuk menyelamatkan diri dengan mencari tempat bersembunyi kembali. Ya, hanya bisa bersembunyi dengan harapan bahwa akan ada keajaiban yang bisa menyelamatkan mereka dari kematian.
"Mau sembunyi lagi, ya?'' terka Alsa sambil menatap mereka bertiga lekat-lekat yang berlarian secara cepat menuju gudang sekolah. Ia pun melempar novel horror yang ada di genggamannya begitu saja, namun tidak dengan pisau yang ada di tangan kirinya lalu berjalan mengikuti mereka bertiga.
Ya, jadi barang yang ada digenggaman mereka atau yang melekat dari tubuh mereka tetap terbawa ke dunia yang Ray ciptakan, sebab bukan hanya jiwa mereka yang berada di sini melainkan pula bersama jasadnya. Lalu, siapa yang berada di tempat tidur mereka saat ini yang dilihat oleh orang tua mereka untuk memastikan, bahwa anak-anaknya baik-baik saja? Ya, boneka kepunyaan Ray yang dimanipulasi oleh ilusi sehingga nampak seperti mereka sampai permainan usai, dan jasad mereka akan nampak baik-baik saja meski mati secara mengenaskan.
Meski mereka membawa anak-anaknya pergi keluar kota, tetap saja mereka sangat khawatir, resah, dan takut karena hal yang terkutuk tetap terjadi pada puluhan remaja.
"Jika aja Ray nggak mati dalam kesepian, nggak dibenci, nggak ditinggalin temen-temennya. Senggaknya satu orang aja, maka mungkin Ray nggak bakal pernah nyari makna perteman dengan cara yang gila dan ngorbanin banyak nyawa orang lain yang bahkan nggak punya hubungan apa-apa,'' lirih Ailin sambil memeluk lulutnya dan tertunduk sedalam-dalamnya, sungguh ia ingin segera permainan terkutuk ini berakhir.
Ya, seperti yang kalian tebak bahwa Ray tengah mencari makna pertemanan. Tentu saja, seperti yang kalian pikirkan kenapa meski dengan cara semengenaskan ini.
"Kenapa Ray? Kenapa?'' isak Vanya sambil tertunduk.
"Aku benci ini,'' isak Danista sambil memeluk lututnya pula.
Dorrr ... dorrr ... dorr ... terdengar suara pintu gudang digedor-gedor dengan keras dan tak sabaran sehingga rasanya jantung mereka terlepas. Tangisan Vanya dan Danista semakin deras karena mereka benar-benar ketakutan. Ailin menaruh jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan kepada Vanya dan Danista untuk tak menangis dan lebih tenang.
"Ini Alsa, buka Lin!''
Vanya dan Danista menatap Ailin dengan tatapan ragu karena mereka takut jikalau Alsa adalah benar-benar roh kesepian.
"Buka Lin, Van, Ta!''
Mereka bimbang, kalau dibuka dan membiarkan Alsa masuk takutnya sungguhan roh kesepian. Kalau tidak dibuka takutnya memang Alsa manusia. Ailin pun memutuskan untuk membukanya dan membiarkan Alsa masuk.
"Kenapa lama? Aku takut,'' tutur Alsa dengan wajah yang ketakutan dengan seiring suara jeritan melengking di telinga mereka.
Dengan segera Ailin menutup pintu dan menguncinya kembali, apakah dengan bersembunyi di sini akan aman? Hah, rasanya tidak. Ailin bangkit dari duduknya dan mencari sesuatu di sana, mungkin akan ada hal yang sangat berguna dan ia menemukan tali tambang, lalu merentang-rentangkannya. Talinya cukup kuat, kemudian ia kembali ke tempat semula.
Tak lama dari itu Helen datang dan mencoba mendobrak pintu. Sekuat-kuatnya Ailin, Vanya, Alsa, dan Danista menahan pintu hingga detak jantung mereka rasanya tak henti bergemuruh riuh sepuluh kali lipat dari biasanya. Darah mengalir dengan cepat ke ubun-ubun hingga rasanya kepala mendidih. Keringat dingin terus bercucuran membasahi. Sungguh mereka tak mau mati mengenaskan.
"Mau mati sekarang?'' teriak Helen sambil terus mencoba mendobrak pintu, hingga akhirnya ia berhenti dan nampaknya pergi, mungkin memburu teman-temannya yang lain. Hal itu membuat Ailin, Alsa, Vanya, dan Danista merasa lega.
Alsa, Vanya, dan Danista beranjak dari depan pintu dan membersihkan darah teman-temannya di wajah mereka karena sangat tak nyaman, sedangkan Ailin masih di depan pintu dan kini terduduk dengan lemas. Lalu tiba-tiba kapak menancap di samping kepala Ailin sehingga ia membeliakkan mata dengan napas terengah-engah. Hah, jika saja kapak itu tepat mengenai kepala Ailin maka sudah dipastikan Ailin akan tewas. Betapa kagetnya mereka dan rasanya itu kaki tak menapak lagi, terutama Ailin.
Dari luar Helen berusaha melepaskan kapaknya, tetapi nampaknya sangat susah dan ini dimanfaatkan oleh Ailin setelah mengomandokan Danista, Vanya, dan Alsa untuk mendekat pintu dan berdiri di belakangnya. Ailin menganggukkan kepala kepada Vanya, lalu mereka berdua membuka pintu sekuat-kuatnya hingga Helen terbawa dan terjatuh.
Dengan sigap Ailin, Alsa, Danista, dan Vanya menangkap tubuhnya dan mengikatnya dengan tambang. "Maaf Helen,'' lirih Vanya.
Kemudian Helen dimasukkan ke dalam gudang dan terlihat ia mengerang-erang, mata iblisnya menyala-nyala. Ailin menutup pintunya, lalu pergi bersama Danista, Vanya, dan Alsa. Namun tak sampai satu meter dari pintu, Ailin tertegun diam, berbalik dan menatap pintu. Apakah Helen akan aman-aman saja di dalam? Bagaimana kalau ia dibunuh oleh boneka iblis lain? Semoga saja tidak.
Mereka bingung harus bersembunyi di mana karena semuanya tak akan pernah aman. Lihat saja! Lagi-lagi ada yang terbunuh secara mengenaskan dan mereka hanya bisa berteriak ketakutan, sebab mungkin sebentar lagi bagian mereka yang akan mati. Keadaan tambah kacau, semuanya semakin mengerikan dan rasanya mereka yang masih hidup tak tahan lagi berada dipermainan nyawa seperti ini. Bagaimana pula mereka menyelamatkan orang lain, sedangkan keselamatan dirinya saja terancam?
"Apanya yang nyari makna pertemanan Ray? Apanya?'' geram Audri sambil menangis dan mencak-mencak.
Rasanya ia ingin sekali mencekik Ray dan menyiksanya jika ia adalah manusia seperti dirinya.
"Hentiin sekarang juga Ray sialan!'' umpat Andri geram, segeram-geramnya.
"Mungkin satu-satunya cara buat ngehentiin permainan ini adalah dengan ngebunuh boneka iblis roh kesepian, ya mati atau lawan!'' ucap Abun.
"Itu salah!'' bantah Jovan, karena bagaimana pun mereka tak boleh saling membunuh, mereka harus saling melindungi dan bekerja sama agar permainan selesai dan tak pernah lagi tergelar. Sebab, Jovan tak mau di tanggal 29 Febuari selanjutnya harus ada yang mengalami hal mengerikan seperti ini, terutama dengan adiknya Jovanka. Begitu pula dengan Ailin, ia tak mau Arsil akan mengalami hal serupa karena tak menutup kemungkinan mereka juga akan masuk ke dalam permainan jahanam ini jika belum selesai.
"Ya, ini salah bagaimana pun kita gak boleh saling bunuh hanya demi nyelamatin diri sendiri. Kita gak boleh egois!'' tutur Ailin.
Terlihat Danista tertunduk sedalam-dalamnya sambil terisak. "Harusnya nggak seperti ini,'' lirihnya.
"Terus sama cara apa buat ngehentiin semuanya, Ailin Wajdi?'' teriak Lisa geram, segeram-geramnya sambil menangis terisak penuh ketakutan dan kekhawatiran.
"Ini salah, kita nggak boleh ngebunuh siapa pun, terlebih mereka teman kita,'' isak Ailin.
"Teman?'' tanya Vanya pada Ailin sambil menyeringai.
"Ya,'' jawab Ailin.