"Gak La, jangan terus ngelakuin kesalahan!'' tutur Ailin mencoba mengingatkan. "Jangan libatin dendam terlalu jauh, nanti kamu nyesel.''
"Bacot, anjing!'' geram Nadila seraya mendorong Ailin dan menghampiri Helen yang lantas di dorong ke arah kaca jendela yang kini berserekan, lantas ia menggesek-gesekkan wajahnya ke sisa-sisa kaca yang masih tertanggal di kusen seraya mengingat betapa menyakitkannya ketika ia mengatakan bahwa boneka buatan ayahnya jelek sehingga tak mau diterima. Ia juga ingat bagaimana Helen tertawa ketika dirinya dirundung oleh Audri, Lisi, dan Elva sehingga terdengar sangat menyakitkan.
Terdengar suara gesekkan wajah Helen dan kaca berdecit-decit, saling bersahutan dengan tangisan kesakitan dan tawa Nadila. Lantas ia mendorong tubuh Helen ke bawah dan terlihat perutnya tertusuk tiang bendera sehingga darah tak henti mengucur ke tanah, membasahi seperti rintik hujan.
Nadila benar-benar tak bisa dibiarkan, Arius dan Misbah pun dengan segera mengunci pergerakannya dan mengikatnya, agar ia tak lagi membunuh siapa-siapa lagi. Dan kini harapan semuanya ditaruh di tangan Jovan.
Waktu terus berjalan dengan menegangkan, sedangkan Jovan dan Ray belum juga menyelesaikan permainan caturnya. Mereka sudah sangat resah, takut kehilangan Lisa yang kondisinya mulai melemah sama halnya dengan Aldov.
"Tetap waspada!'' ucap Arius pada teman-temannya sambil mengawasi mereka, karena bisa saja setelah ada catur keluar dari papan mereka menjadi boneka iblis dan membunuh salah satu, sedangkan teman-temannya yang lain tak hentinya berdoa agar permainannya segera selesai dan kembali.
Deg ... deg ... deg ... suara jantung mereka bergemuruh riuh tak hentinya, menabuh-nabuh, mengundang ketakutan, kekhawatiran, dan kegelisahan. Terlihat Rendi membeliakkan mata, dan mata kirinya bermata iblis. Lalu, ia mengambil golok dan menghampiri Misbah dan dengan sigap Aldi serta yang lainnya berusaha memeganginya. Namun mereka tak bisa, karena Rendi terlalu kuat dan brutal hingga mereka terpental dan bahkan dari mereka ada yang terluka, karena pelipisnya tersikut.
"Jangan!'' Misbah memelas sambil terus melangkah mundur dengan seiring Lisa menutup mata.
"Bangun Sa!'' ucap Ailin sambil memeriksa napas dan denyut nadinya.
Terlihat mereka kembali berusaha memegangi Rendi, namun mereka gagal lagi. Rendi terus meronta dan mendorong siapapun yang memeganginya.
"Lari!'' teriak salah satu dari mereka dengan seiring muncul lagi boneka iblis secara beruntun dan siap membantai.
Keadaan pun menjadi kacau dan penuh kepanikan serta ketakutan, sementara itu Jovan frustrasi karena tak bisa mengendalikan keadaan. "Ayo pikirkan!'' katanya sambil memegang kepala yang terasa akan pecah saat ini juga. "Balikin keadaan!'' Lalu ia berbalik ke arah CCTV dan terlihat teman-temannya sudah banyak yang terluka, bahkan mereka ada yang sampai menutup mata. Entah mereka telah mati atau masih hidup?
"Skak Jovan," tukas Ray sambil tertawa terbahak-bahak.
"Berpikir jalan strategi, ayolah Jo!'' ucap Jovan yang tak kuat lagi karena kepalanya terasa begitu sakit, lalu ia mencoba menjalankan strategi untuk mengalahkan Ray sambil memegang erat-erat patih.
Napas Ailin terengah-engah dan rasanya ia tak kuat lagi untuk berlari menghindari Vanya yang kini menjadi boneka iblis dan siap membantainya, terlebih kaki, tangan, dan perutnya terluka, berdarah-darah hingga terasa sangat perih dan ngilu. Ia juga tak tahu nasib teman-temannya seperti apa sekarang?
Brak ... Ailin terjatuh karena kakinya benar-benar tak bisa lagi dibawa berlari. Sedangkan Vanya yang berjalan sambil membawa gergaji dan bersenandung lagu Ray, semakin mendekat. Jo, cepatlah selesaiin! Batinnya sambil ngesot ke belakang, karena kakinya benar-benar tak bisa digunakan lagi.
"Mau mati sekarang?'' tanya Vanya sambil tersenyum.
"Aku mohon Van, jangan! Sadar Van, aku sahabat kamu,'' isak Ailin memelas.
"Betulkah?''
"Ya, ayo sadar! Kamu pasti bisa. Van, sadar!"
Ailin terus berteriak berusaha menyadarkannya, lalu seakan-akan ada yang berteriak dan membangunkan dirinya dari tidur, Vanya tersadar.
"Apa aku mau ngebunuh kamu, Lin?'' tanya Vanya sambil terisak dan lekas-lekas melepaskan gergaji di tangannya.
Ailin bernapas lega sambil berkata, "Ya.''
"Maaf!''
"Gak masalah.''
Namun seketika Vanya kembali menjadi boneka iblis, lalu ia kembali sadar, selanjutnya ia kembali menjadi boneka iblis. Sebisa mungkin ia melawan agar tak jadi boneka iblis kembali, sebab bagaimana pun ia tak mau membunuh sahabatnya. Sekuat-kuatnya ia berlari menjauh dari Ailin hingga mengundang kekhawatiran di hati Ailin.
Sebisa mungkin Ailin pun bangun dan menyusulnya, tertatih-tatih. Sebab ia tak mau ada hal tak baik terjadi pada sahabatnya.
"Ngapain ke sini bodoh?'' isak Vanya ketika Ailin berhasil menyusulnya ke atap.
"Van ...."
"Mau mati sekarang?'' tanya Vanya sambil tersenyum dan terlihat mata iblisnya menyala kembali.
"Van ....''
"Pergi!" Vanya terus melangkah mundur ke ujung atap.
"Van, ayo ke sini!'' Ailin menyodorkan tangannya dengan perasaan was-was.
"Maaf Lin!'' Tangisan Vanya semakin deras dan ketika dirinya tak bisa lagi melawan ia melompat dari lantai ketiga tersebut ke bawah.