29 (Dua Puluh Sembilan)

Sri Winarti
Chapter #50

Episode 48

Tik ... tik ... tik ... denting jam terdengar sangat nyaring sama halnya dengan detak jantung Vanya, Orion, Jovan, Arius, Prisilla, Nadila, dan Alsa yang begitu memburu. Perlahan mereka pun membuka mata dengan seiring mendengar suara yang teramat lembut menyapa.

"Selamat datang di rumah Ray!''

Mereka bertujuh pun yang telah duduk di atas kursi empuk berwarna merah berukiran emas, menghadap meja marmer warna cokelat tua memedarkan penglihatan. Ya, kini mereka tengah berada di ruangan makan yang sangat luas. Dinding berwarna merah darah yang dipadupadankan dengan warna putih, berukiran bunga-bunga cantik dan dedaunan berwarna emas serta silver.

Lukisan-lukisan yang bernilai seni tinggi pun bertengger dengan angkuh dan anggunnya di sepanjang dinding. Barang-barang antik dari berbagai belahan dunia yang dijadikan pajangan seakan tak mau kalah pamor. Cahaya dari chandelier putih berkilauan, membias tubuh dan berbagai makanan serta buah-buahan yang diwadahi oleh peralatan makan dari merek-merek ternama yang sangat mahal. Terlihat api dari perapian yang terbuat dari batu bata begitu membara seperti halnya hasrat Ray. Karpetnya berwarna merah bermotif daun maple, sangat empuk. Terkesan sangat mewah dan elegan.

"Dan diperjamuan terakhir,'' imbuh Ray seraya menyemburatkan senyuman yang teramat indah, namun penuh kelicikan.

Vanya, Arius, Alsa, Jovan, Prisilla, dan Orion pun mengalihkan pandangan padanya dengan teramat tajam dan penuh arti.

Apa maksudnya dengan perjamuan terakhir? Apakah Ray juga mau membunuh Dila sama halnya dengan yang lain? Batin Nadila seraya menatap Ray penuh tanya dan kecewa.

"Ray, apa Dila juga bakal dibunuh?'' isak Nadila kecewa, merasa dibodohi dan dikhianati. Ia kira dirinya yang telah mengagung-agungkan dan tetap mengaguminya tak akan dibunuh pula, melainkan dibiarkan tetap hidup.

"Tentu saja, karena Dila sudah tak lagi berguna.''

"Kenapa Ray? Padahal Dila sangat menyayangi dan mengagumi Ray."

"Hah,'' dengkus Ray seraya membuang muka, merasa sangat muak mendengar kalimatnya yang terkesan nonsens.

"Kenapa Ray? Harusnya Ray biarin Dila tetap hidup.''

"Berisik!'' teriak Ray seraya mengacungkan tangan ke arah mulutnya, seketika Nadila pun muntah darah dan tenggorokannya terasa sakit.

Terlihat Alsa memejamkan mata dan menyatukan kedua tangannya, kembali merafalkan mantra dengan penuh pengharapan dan sangat khidmat. Kini Ray mengerti kenapa fajarnya datang lebih cepat, karena Alsa merafalkan mantra. Ia pun kembali mengacungkan tangan ke arahnya dan seketika Alsa muntah darah dengan seiring tangannya ia lentangkan dengan benang.

"Alsa!'' teriak Prisilla, Vanya, Orion, Jovan, dan Arius. Sementara Nadila kesakitan sambil memegang tenggorokkannya.

"Baiklah, sebelum perjamuan dimulai, Ray mau menunjukkan sesuatu terlebih dahulu,'' tuturnya dengan seiring hadir sebuah layar yang menayangkan sekelompok remaja dengan segala keegoisan, keangkuhan, dan kesombongan yang berakhir dipermainan terkutuk. Ray menayangkan permainan terkutuknya dari awal pertama dibuat hingga paling yang terbaru empat tahun lalu.

Mereka dibantai secara brutal dan sama-sama sangat mengerikannya seperti yang dialami Vanya beserta yang lain dari awal sampai akhir. Di tengah tayangan tersebut Arius melihat Mega tengah dibaringkan di atas meja dan wajahnya yang penuh luka goresan ditaburi garam sehingga ia menjerit-jerit karena sangat perih seraya menangis terisak. Tersebab ia tak mau diam dan terus berontak, boneka iblis yang tengah menyiksanya itu pun memaku tangan kirinya sehingga jeritan Mega kembali melengking.

"Ray, bajingan!'' teriak Arius sambil mengepal tangan dan beranjak dari duduknya, hendak menyerang Ray.

Namun dengan sigap Ray mengangkat bonekanya dan membantingnya dengan begitu keras, tubuh Arius pun terpelanting dan jatuh sehingga terasa remuk. Ray pun kembali mendudukkan Arius di kursi.

"Ada apa dengan Arius, begitu marahnya kepada Ray? Santailah dan nikmati filmnya.''

"Anjing, dasar iblis gila, jahanam,'' umpat Arius semakin dendam dan penuh amarah.

Jika bisa Arius benar-benar ingin membakarnya dan membuat dirinya merasakan kesakitan-kesakitan yang pernah dirasakan banyak orang yang terlibat, terutama yang pernah dirasakan Mega. Namun ia tak berdaya, tak tahu caranya, dan mustahil bisa.

Ray yang semakin mencak-mencak itu pun membenturkan kepala Arius ke meja sehingga berdarah. Arius meraung kesakitan seraya memegang dahinya, lalu seperkian detik disembuhkan kembali. 

Lihat selengkapnya